Ads

Kamis, 14 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 156

Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama mereka menuju ke rombongan kereta dan disitu dia menjadi tontonan semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan perwira dan mengangguk-angguk.

"Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?"

"Nama saya Yan Hwa, she Ok,"

Jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aslinya karena namanya memang tidak terkenal.

"Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?" Suara panglima itu terdengar keren dan penuh ancaman.

Dengan sin-kangnya yang sudah tinggi tingkatnya Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat.

"Saya.... saya ingin hidup, Tai-ongya...."

"Hushh! Aku bukan kepala perampok!" bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa dipergunakan orang terhadap kepala perampok. "Sebut aku Tai-ciangkun, mengerti?"

"Baik, Tai-ciangkun...."

"Kalau engkau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus menjadi seorang diantara gadis-gadis cantik di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini kepada siapapun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang diantara mereka yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang juga kusembelih lehermu sampai putus!"

"Iihhh.... ampun.... ampun, Tai-ciangkun.... hamba tidak berani menolak, hanya.... hamba harus memberi tahu ayah ibu dulu di dusun...."

"Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?"

Yan Hwa menangis akan tetapi mengangguk-angguk.
"Baik, Tai-ciangkun.... hamba.... hamba menurut...."

Yan Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan rombongan kereta itu.

Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan ketika rombongan itu baru saja berangkat, tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta terdepan, meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu, bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!

Dua ekor kuda penarik kereta yang kabur itu, melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik, menarik-narik kendali kuda namun tetap tidak berhasil menghentikan kaburnya dua ekor kuda itu.

Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda, meloncat ke atas punggung kuda dan diam-diam dia mencabut dan membuang dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia menarik kembali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan sin-kangnya, kakinya menjepit perut kuda.

Semua ini dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun, dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata,

"Wah, bahaya sekali....! Dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!"

Panglima dan para perwira sudah tiba disitu dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima itu bertanya,

"Engkau siapa?"






"Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan hamba sebagai ahli kuda. Dahulu diutara hamba pernah bekerja kepada seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian hamba. Kebetulan hamba melihat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kelancangan hamba."

Hilanglah kecurigaan panglima itu dan dia mengangguk-angguk.
"Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan mengusiri kereta ini. He kau turun!"

Bentak Sang Panglima kepada kusir yang masih pucat wajahnya. Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki,

"Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!"

Cambuk itu menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata,

"Kau harus jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di kota!"

Rombongan itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, msmegang cambuk dan mengendalikan kuda menarik kereta dimana duduk pula Ok Yan Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan lancar dan berhasil baik.

Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur!

Tak lama kemudian, rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba komandan ini berteriak,

"Awas, di depan ada orang!"

Ji Kun yang berada di depan kereta pertama, sudah melihat orang-orang itu dan dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang di depan, berjajar memenuhi jalan.

Komandan dan para perwira memberi aba-aba menghentikan kereta, kemudian memerintahkan pasukan mengurung kereta-kereta itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu melarikan kuda menghampiri orang-orang yang menghadang itu.

Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, dengan sebatang golok besar di punggung, berjenggot panjang dan bersikap gagah perkasa, memimpin para penghadang itu, berdiri bertolak pinggang dan sinar matanya tajam menatap Sang Panglima yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda sambil membentak,

"Kalian mau apakah menghadang disini? Minggirlah! Apakah tidak melihat bahwa kami pasukan pengawal dari kerajaan? Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak atau pengkhianat-pengkhianat yang hendak melawan pasukan kerajaan?"

Laki-laki berjenggot panjang itu mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian menjawab,

"Ciangkun, kami adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak berjiwa pengkhianat atau pemberontak. Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot negara yang menjadi pelindung rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan perang. Mengapa para pembesar hanya mementingkan kesenangan diri pribadi dan menambah beban rakyat dengan menculik dan memaksa gadis-gadis orang untuk dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar? Kami tidak akan melawan pasukan kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para gadis yang ditawan dalam kereta itu dibebaskan!"

"Hemm, enak saja kau bicara! Para gadis ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran, nasib mereka sudah pasti akan jauh lebih baik daripada kalau mereka berada di rumah. Mereka akan menjadi orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan keluarga mereka akan ikut pula menjadi orang terhormat. Kalian bilang bukan pemberontak, akan tetapi hendak menentang kehendak pangeran dan hendak melawan pasukan pemerintah. Pergilah sebelum kami basmi kalian kaum petualang pemberontak!"

"Ciangkun, alasan kuno yang kau kemukakan itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa gadis-gadis itu pergi dengan paksaan. Dengar mereka terisak-isak, menangis. Kalau mereka pergi dengan sukarela, kami pun bukan orang-orang yang lancang mencampuri urusan orang. Akan tetapi karena melihat gadis-gadis itu dipaksa yang berarti penindasan kejam, kami tak mungkin berpeluk tangan saja. Kalau kau tidak mau membebaskan mereka sekarang juga, terpaksa kami menggunakan kekerasan."

"Si pemberontak keparat! Serbu!"

Panglima itu mengeluarkan aba-aba dan para pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak sambil maju menyerbu tujuh orang itu. Mereka ini pun sudah mencabut senjata masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru antara tujuh orang gagah itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal, sedangkan yang lain bertugas menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa merasa serba salah. Orang-orang kang-ouw itu ternyata cukup lihai sehingga banyak anak buah pengawal yang roboh, sedangkan panglima dan para perwira juga terdesak. Terutama sekali Si Jenggot Panjang amat lihai mainkan goloknya.

Dua orang murid Mutiara Hitam menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka berpihak kepada tujuh orang itu dan andaikata mereka tidak sedang bertugas, tentu mereka membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan tetapi, dalam keadaan mereka sekarang, andaikata mereka turun tangan mereka seharusnya membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang itu agar mereka dapat cepat masuk kota dan dapat memulai dengan tugas mereka!

Karena serba salah, baik Ji Kun maupun Yan Hwa hanya duduk menonton saja dan dari permainan golok dan pedang para orang gagah itu, mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak-anak murid Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.

Agaknya, pihak pasukan pengawal takkan kuat menghadapi tujuh orang gagah itu kalau pertandingan dilanjutkan seperti itu tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun dan Yan Hwa saling lirik ketika Ji Kun menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri dari selosin perajurit berkuda, dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka panjang seperti kuda!

Ketika melihat pertempuran itu, laki-laki bermuka kuda itu yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, cepat membawa pasukannya menyerbu dan terkejutlah tujuh orang itu karena orang bermuka kuda ini benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Dengan sebuah golok melengkung Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya dan mengamuk.

Orang gagah berjenggot panjang yang menandinginya, dirobohkannya dalam waktu belasan jurus saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu melakukan perlawanan mati-matian, namun akhirnya mereka semua roboh dan tewas jadi sasaran hujan senjata para pasukan pengawal!

Pertempuran berhenti dan berakhir dengan matinya tujuh orang gagah itu dan belasan orang perajurit pengawal. Siangkoan Lee segera berkata kepada panglima pengawal yang terluka pundaknya dalam pertempuran tadi.

"Atas perintah Goanswe, seluruh siuli supaya langsung dibawa ke istana pangeran dan harap bergerak cepat karena Pangeran sudah tidak sabar menanti. Mengapa baru sekarang tiba disini?"

"Maaf, Siangkoan-taihiap, kami terpaksa bermalam di luar hutan besar karena kami khawatir akan penyergapan di tengah malam dalam hutan itu."

"Hemm, disergap di pagi hari pun kau tak mampu melindungi kereta-kereta itu!" kata Si Muka Kuda dengan suara menghina. "Kalian sudah terlambat, hayo cepat berangkat!"

Karena takut kalau murid dan orang kepercayaan Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu akan menjadi marah dan menyalahkan mereka, maka para pengawal tidak berani bercerita tentang hilangnya seorang gadis yang diganti gadis lain dan seorang kusir baru yang mereka terima untuk jasanya menolong mereka terlepas dari bencana ketika kereta kabur. Hal ini menguntungkan dua orang murid Mutiara Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan Lee, tentu orang yang lihai dan cerdik ini akan menjadi curiga dan menyelidiki mereka.

Demikianlah, tanpa menimbulkan kecurigaan, Yan Hwa bersama para gadis lain ditempatkan di dalam istana pangeran dan berkat kepandaiannya mengurangi riasan muka dan membuat mukanya pucat seperti orang berpenyakitan kalau dihadapkan Pangeran sehingga Pangeran kehilangan seleranya, akan tetapi amat rajin dan pandai melayani, Yan Hwa tidak diambil selir melainkan diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan, sedangkan Ji Kun menjadi seorang tukang mengurus kuda.

Tentu saja dua orang muda yang lihai ini mendapatkan kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama sekali Yan Hwa, yang selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apabila ada tamu-tamu penting yang datang bertemu dengan Pangeran.

**** 156 ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar