Ads

Rabu, 13 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 155

Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan dan dengan menyamar sebagai pengemis, mereka dapat menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.

Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai pengemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke manapun mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah.

Memang demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri, namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau saling mengalah.

Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mujijat dan jahat sekali, yang menambah persaingan diantara mereka karena dengan mengandalkan pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.

Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para perajurit, mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian, mereka berhasil menyambar dua orang perajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian perajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam kemudian berhasil lolos keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga.

Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang diantara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apalagi malam yang gelap menelan bayangan mereka.

Setelah berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian perajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi perajurit.

Melihat rambut sumoinya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.

"Ihhh....! Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!"

Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia berkata,

"Kita telah bebas. Sungguh berbahaya sekali!"

"Malu kita melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!" Yan Hwa mencela.

"Aihh, bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis."

"Ihh, jijik!"

"Kita terpaksa lari keluar, karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti itu, dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biarpun kita berada di sana juga tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?"

"Habis, sekarang kita mau apa?" Yan Hwa bertanya.

Ji Kun tertawa,
"Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau apalagi, Sumoi yang manis?"






Dia memeluk lagi dan sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suhengnya. Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah dengan telinga menempel tanah, tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.

"Ada barisan datang....!"

Ji Kun terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu berhenti.

"Apakah itu?" Yan Hwa bertanya.

"Menurut suaranya tentu derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi tentu lampu kendaraan kereta. Mereka berhenti disana, hayo kita menyelidiki!"

Dengan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang.

Ketika tenda-tenda kereta yang berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula yang menangis terisak. Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap diantara pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk mengelilingl api unggun, mendengarkan percakapan mereka.

"Dalam keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja." Seorang perwira mengeluh.

"Hati-hati dengan mulutmu!" Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, "Bukan tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?"

"Akan tetapi, mengapa kita bermalam disini, tidak langsung terus ke Siang-tan?" tanya seorang perwira lain.

"Hemm, orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat besar, lebih aman melewatkan malam di sini, besok pagi baru melewatkan perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan menghukum kita!"

Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik,

"Kesempatan baik untuk kita!"

Ia lalu berbisik-bisik mengatur rencana. Sumoinya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun tadi.

Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang diantara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu dimana terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap.

Para perwira cepat menghunus golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoinya yang berkelebat dan ternyata sumoinya yang memang seperti direncanakan semula, telah berhasil menculik seorang di antara gadis siuli dari kereta terdepan.

Terdengar jerit para siuli lainnya dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main. Panglima pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya,

"Hayo cari dia! Kalau tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!"

Akan tetapi para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula, mereka berada di hutan yang gelap, kemana harus mencari? Betapapun juga karena takut kepada komandan mereka, takut pula kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.

Namun, Yan Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,

"Terima kasih atas pertolongan Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang membebaskan saya dari malapetaka ini."

Cuaca pagi kemerahan membuat Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis. Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil tersenyum.

"Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!"

Berkata demikian, dia memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan menangis.

"Suheng! Engkau.... engkau....!" Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.

"Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?"

"Tentu saja! Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya dan sekarang.... katakan, siapa yang kau cinta? Gadis ini?"

"Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak mernbolehkan suhengmu bersenang-senang sedikit?"

"Hemmm.... laki-laki ceriwis mata keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh, bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah disini. Jangan pergi kemana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!"

Yan Hwa dan Ji Kun meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi ketakutan sekali dan menangis diantara semak-semak belukar dimana dia ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biarpun dia kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu, tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu kemana harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.

Ketika beberapa orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.

"Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari kemana?" Seorang diantara mereka berkata.

"Ehhh....! Ini bukan dia!" Perwica pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. "Dia hanya seorang gadis dusun, akan tetapi.... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak kalah cantik menarik daripada siuli yang lenyap tadi!"

"Benar, dia jelita sekali!" Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.

Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak,
"Kalian siapakah? Mengapa aku ditangkap?"

"Anak baik, engkau tinggal dimana?" Perwira itu bertanya.

"Aku tinggal di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di jual...." Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.

"Apakah engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?"

Yan Hwa menggeleng kepala.

"Hemmm...." Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya, "Bawa dia kepada Ciangkun, kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar