Ads

Rabu, 13 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 154

Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani mengganggunya. Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat berkata,

"Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki."

Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun!

Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.

"Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk kau ketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!"

Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apapun juga, dan dari seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban apapun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!

"Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han...."

"Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tentaranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, dimana ditempatkannya barisan panah."

Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!

"Aku akan berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum gelap."

Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil.
"Tunggu dulu!"






Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan betapa akan jadinya kalau kembali cintanya berantakan!

"Ada pesan apakah, Nona?"

"Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta kau jawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?"

Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. Suma Hoat merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur.

"Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apapun juga, melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu, karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!"

Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andaikata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu sehingga ketika tiba di luar rumah, hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!

Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun, mana mungkin dia memperhatikan, apalagi membalas cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suhengnya, Kam Han Ki?

Hampir Maya menitikkan air mata ketika ia teringat akan suhengnya, teringat betapa pertemuannya dengan suhengnya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta, sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suhengnya di Pulau Es, memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suhengnya tidak membagi kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee.

Akan tetapi, suhengnya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang begitu mesra dan menggairahkan, yang terpancar dari mata Suma Hoat!

"Aiihh, Suheng...., Suheng....!"

Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang menitikkan air mata dan ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang saja pekerjaannya akan berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal!

Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan! Tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!

**** 154 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar