Setelah mereka terbebas dari kejaran para pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya dan berkata,
"Eh, Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat menggerakkan para pengemis itu?"
"Mereka itu sebagian besar adalah pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari Yucen dan mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami berdua untuk meloloskan diri dari dalam kota."
"Hemm, bagus sekali siasatmu, Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!" Ji Kun memuji.
Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia menarik napas panjang.
"Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju kekuil tua dimana tentu Li-ciangkun telah menanti kita."
Benar saja dugaan pembantu utama Maya ini, ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang sudah tidak digunakan, diluar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada disitu. Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula dan berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.
Empat orang itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis, telah berhasil menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya. Hasil penyelidikan mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.
"Kami berdua berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong,"
Yan Hwa berkata dan dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya pengalaman mereka itu.
"Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?" tanyanya setelah dia memuji.
"Hasil-hasil lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan kau anggap hebat sekali," kata Yan Hwa.
Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak.
"Lekas katakan, berita apa itu?"
"Pertama, dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan, diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan kita diantara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih besar daripada pasukan kita,"
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya mengangguk dan menjawab,
"Memang hebat berita itu, dan amat penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan rencana siasat mereka itu. Berita kedua apa lagi?"
"Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!"
"Apa....? Siapa....?" Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.
Yan Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suhengnya berada di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh.
"Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan celaka."
Maya termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah suhengnya sendiri, Kam Han Ki!
Yang membuat dia terheran-heran adalah kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen, sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya?
"Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang juga!"
Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan dengan suhengnya yang dicintanya itu sebagai musuh?
Lima orang itu berjalan menuju ke depan kuil tua akan tetapi baru saja mereka melalui ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.
"Mundur!"
Maya berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi dan Maya berkata perlahan,
"Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan bergerak sebelum aku melihat keadaan."
Biarpun keadaan mereka terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya, namun sikap Maya tetap tenang.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar,
"Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!"
Maya sudah menyelinap dan tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata,
"Banyak sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk menerjang keluar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang diantara kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus berpencar agar seorang diantara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai ke Sian-yang.
Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan selamat. Mengertikah semua?"
Mereka mengangguk. Memang, diantara mereka berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya, sungguhpun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh menyerbu bersama.
"Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan, sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang."
Setelah para pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah keluar dengan sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian preman, tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak lagi membutuhkan senjata.
Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada belasan anak panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang di dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh dia!"
Teriakan-teriakan ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang pedang lawan.
Mulailah pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang ketika pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak pengeroyok.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh pengeroyokan puluhan orang tentara musuh.
Keadaan menjadi ramai dan kacau, apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.
Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau diantara para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari lowongan untuk melarikan diri.
Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa dalam keadaan seperti itu dimana terdapat rahasia besar yang harus disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang agar pasukan Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia atau seorang diantara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu banyak, bahkan diantara para perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai. Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan berhasil merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.
Di lain bagian dari pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata lawan dan merobohkan banyak orang.
Sudah ada dua puluh orang roboh dan tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya, keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada sumoinya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!
Tiba-tiba para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat.
Sekali ini, Ji Kun benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat Pedang Iblis yang amat ampuh itu.
"Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup dan rampas pedangnya!"
Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah punggung Ji Kun.
"Eh, Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat menggerakkan para pengemis itu?"
"Mereka itu sebagian besar adalah pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari Yucen dan mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami berdua untuk meloloskan diri dari dalam kota."
"Hemm, bagus sekali siasatmu, Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!" Ji Kun memuji.
Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia menarik napas panjang.
"Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju kekuil tua dimana tentu Li-ciangkun telah menanti kita."
Benar saja dugaan pembantu utama Maya ini, ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang sudah tidak digunakan, diluar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada disitu. Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula dan berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.
Empat orang itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis, telah berhasil menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya. Hasil penyelidikan mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.
"Kami berdua berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong,"
Yan Hwa berkata dan dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya pengalaman mereka itu.
"Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?" tanyanya setelah dia memuji.
"Hasil-hasil lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan kau anggap hebat sekali," kata Yan Hwa.
Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak.
"Lekas katakan, berita apa itu?"
"Pertama, dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan, diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan kita diantara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih besar daripada pasukan kita,"
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya mengangguk dan menjawab,
"Memang hebat berita itu, dan amat penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan rencana siasat mereka itu. Berita kedua apa lagi?"
"Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!"
"Apa....? Siapa....?" Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.
Yan Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suhengnya berada di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh.
"Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan celaka."
Maya termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah suhengnya sendiri, Kam Han Ki!
Yang membuat dia terheran-heran adalah kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen, sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya?
"Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang juga!"
Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan dengan suhengnya yang dicintanya itu sebagai musuh?
Lima orang itu berjalan menuju ke depan kuil tua akan tetapi baru saja mereka melalui ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.
"Mundur!"
Maya berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi dan Maya berkata perlahan,
"Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan bergerak sebelum aku melihat keadaan."
Biarpun keadaan mereka terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya, namun sikap Maya tetap tenang.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar,
"Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!"
Maya sudah menyelinap dan tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata,
"Banyak sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk menerjang keluar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang diantara kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus berpencar agar seorang diantara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai ke Sian-yang.
Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan selamat. Mengertikah semua?"
Mereka mengangguk. Memang, diantara mereka berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya, sungguhpun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh menyerbu bersama.
"Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan, sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang."
Setelah para pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah keluar dengan sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian preman, tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak lagi membutuhkan senjata.
Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada belasan anak panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang di dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh dia!"
Teriakan-teriakan ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang pedang lawan.
Mulailah pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang ketika pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak pengeroyok.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh pengeroyokan puluhan orang tentara musuh.
Keadaan menjadi ramai dan kacau, apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.
Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau diantara para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari lowongan untuk melarikan diri.
Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa dalam keadaan seperti itu dimana terdapat rahasia besar yang harus disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang agar pasukan Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia atau seorang diantara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu banyak, bahkan diantara para perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai. Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan berhasil merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.
Di lain bagian dari pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata lawan dan merobohkan banyak orang.
Sudah ada dua puluh orang roboh dan tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya, keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada sumoinya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!
Tiba-tiba para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat.
Sekali ini, Ji Kun benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat Pedang Iblis yang amat ampuh itu.
"Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup dan rampas pedangnya!"
Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah punggung Ji Kun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar