Ads

Kamis, 14 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 160

Ji Kun maklum bahwa lawan ini amat lihai, terbukti dari gerakan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Dia memutar tubuh, mengelebatkan pedang Lam-mo-kiam untuk merusak pedang lawan. Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan kelihaian pedang itu ketika tadi datang dan menonton, cepat menarik pedangnya dan dia bersuit nyaring.

Suitan ini merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan yang sudah ia persiapkan lebih dulu dan dua belas orang anggauta pasukan ini serentak melemparkan sebuah jaring ke arah tubuh Ji Kun! Pemuda ini terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap dan dia tak dapat melihat jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya itu. Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang lebar itu. Karena tidak tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya, dia hanya memutar pedangnya.

Teriakan-teriakan mengerikan terdengar ketika pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring itu, terus membabat lengan dan tubuh para pemegangnya. Biarpun jaring-jaring itu terbuat dari kawat-kawat baja yang kuat, namun sekali terkena babatan Lam-mo-kiam, menjadi putus semua, bahkan pedang mujijat itu masih terus membabat orang orang yang memegang jaring.

Sekali putaran saja lima orang diantara selosin anggauta regu ini roboh. Akan tetapi, Ji Kun terkejut sekali karena pedangnya terlibat jaring dan selagi dia berusaha melepaskan jaring-jaring yang melibat pedang dengan tangannya, tujuh orang pengeroyoknya melepas pula jaring-jaringnya dengan berbareng!

"Keparat!"

Ji Kun berteriak marah dan biarpun tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu, pedangnya masih mampu merobek jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan terbabat buntung di bagian pinggangnya!

"Hebat....!"

Suma Hoat berseru lalu menubruk dari belakang, tangannya bergerak dan tiga buah totokan kilat membuat Ji Kun mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan pingsan! Suma Hoat cepat merampas pedang yang mujijat itu, bergidik memandang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk mengeroyok Yan Hwa.

Gadis itu pun mengamuk dengan hebat, pedangnya membuat para pengeroyok menjadi gentar karena pedang-pedang pusaka yang terkenal ampuh di tangan beberapa orang perwira menjadi patah semua ketika bertemu dengan pedang di tangan gadis itu.

Ketika Suma Hoat menyaksikan kehebatan gadis itu, juga menyaksikan kecantikannya di bawah sinar obor yang dipegangi oleh beberapa orang tentara, dia kagum bukan main. Semenjak dia terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya karena penolakan Maya, timbul pula penyakit lamanya dan tadi dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya dengan mempermainkan seorang gadis kemudian membunuhnya.

Namun ia masih merasa berduka, menyesal dan kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu tidak mampu memuaskan hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar lagi. Ketika lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah tewas di atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke arah utara. Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin pasukan itu, dan mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua, pasukan-pasukan penjaga sedang berusaha menangkap lima orang mata-mata yang lihai.

Suma Hoat terkejut, lalu dia ikut pula berlari ke luar kota di sebelah utara. Dia menyangka bahwa tentu Maya dan kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat, akan tetapi, melihat Maya mengamuk dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan mampu menandingi wanita penghuni Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak tega untuk mengeroyok Maya yang dicintanya.

Diam-diam dia merasa heran sekali kepada diri sendiri. Mengapa dia tidak dapat membenci Maya yang terang-terangan telah menolak cintanya? Mengapa dia tidak pernah pula dapat melupakan Khu Siauw Bwee yang juga tidak dapat membalas cinta kasihnya? Benar-benar dia telah menjadi gila!

Dia, Jai-hwa-sian yang dapat memperoleh gadis-gadis cantik yang mana saja, baik dengan rayuan maupun dengan kekerasan, kini tergila-gila kepada dua orang gadis yang tidak mungkin didapatkannya! Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua orang gadis yang jelas menolaknya, sedangkan banyak gadis-gadis cantik hanya ingin ia dapatkan untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai balas dendam belaka?

Karena tidak sampai hati menyaksikan Maya dikeroyok, pula dia juga tidak berdaya menolongnya karena hal ini selain akan membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan kedudukan ayahnya dan membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu memusuhi Kerajaan Sung Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak mau mendekati Maya, sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk menangkap pemuda yang lihai itu.






Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah di hatinya. Dia tertarik dan ingin mendapatkan gadis ini. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis cantik yang lemah, yang hanya menangis kalau diperkosanya tanpa mampu melawan, yang tersenyum-senyum malu dan penuh pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka kepadanya.

Kini, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan gadis itu, apalagi gadis itu memiliki sebatang pedang yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya serupa benar dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus mendapatkan gadis ini pikirnya, maka dia lalu melompat maju sambil menghunus pedang Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.

"Tranggg....!"

Semua orang yang berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu, menjadi silau matanya dan banyak yang terhuyung mundur karena sepasang pedang yang bertemu dengan dahsyatnya itu mengandung getaran yang mujijat.

"Aihhhh...., Lam-mo-kiam....!" Yan Hwa menjerit kaget ketika pedangnya bertemu dengan pedang pegangan suhengnya itu. Dia memandang wajah pemuda tampan yang memegang pedang itu, kemudian bertanya dengan suara membentak, "Bagaimana pedang Lam-mo-kiam bisa berada di tanganmu? Siapa engkau dan dimana suhengku?"

Suma Hoat memandang dengan senyum lebar,
"Ah, kiranya dia itu suhengmu, Nona? Dia sudah tertawan...."

"Bohong! Tak mungkin suheng tertawan oleh kalian!"

"Hemm, kalau belum tertawan, mana mungkin pedangnya dapat kurampas? Dan semua temanmu sudah kalah, tinggal engkau seorang. Kalau engkau suka menyerah, aku menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu, bahkan soal suhengmu.... hemmm, marilah kita bicarakan. Melawan pun takkan ada gunanya, Nona."

Yan Hwa terkejut dan memandang ke sekeliling. Benar saja dia tidak melihat lagi Maya yang tadi mengamuk, dan tidak melihat lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua pasukan sudah mengurungnya sehingga kalau dia melawan, biarpun dia akan dapat membunuh banyak lawan, akhirnya dia tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia memandang tajam. Pemuda ini amat tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat kejam.

"Aku minta bukti lebih dulu bahwa suhengku benar-benar telah kau tawan!" katanya sambil melintangkan pedangnya.

Suma Hoat tertawa dan memanggil Siangkoan Lee.
"Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat melihatnya!"

Siangkoan Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak setuju dengan sikap putera gurunya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Dia mengangguk lalu pergi lagi, tak lama kemudian dia mengawal empat orang anak buahnya yang menggotong tubuh Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu kuat-kuat.

"Suheng....!" Yang Hwa berseru dan pedangnya bergerak, hendak mengamuk.

"Tranggg!"

Pedang Suma Hoat menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata,
"Nona, lebih baik menyerah. Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan suhengmu dibebaskan."

Yan Hwa memandang dan melihat sinar mata pemuda tampan itu memandangnya penuh gairah, jantungnya berdebar. Kalau disana ada jalan keluar untuk membebaskan diri bersama suhengnya, agaknya jalan satu-satunya hanyalah menuruti kehendak pemuda tampan ini.

"Dimana teman-temanku yang lain?" Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah begitu saja.

"Dua orang temanmu yang menyerbu dari belakang kuil telah tewas, sedangkan yang seorang lagi.... eh, wanita sakti itu, telah melarikan diri,"

Kata Suma Hoat, di dalam hatinya girang sekali, ketika tadi mendapat kenyataan bahwa Maya telah berhasil melarikan diri.

Tidak ada jalan lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya telah berhasil melarikan diri membawa berita rahasia itu untuk disampaikan ke Sian-yang, sedangkan kedua orang perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan diri sendiri dan suhengnya.

"Engkau siapakah?" tanyanya.

Suma Hoat menjura.
"Aku Suma Hoat...."

"Suma Hoat....?" Yan Hwa terkejut karena tentu saja dia telah mendengar akan nama Jenderal Suma Kiat.

Suma Hoat maklum akan isi hati gadis itu, maka dia melanjutkan,
"Benar, aku adalah putera Suma-goanswe yang terkenal. Kau lihat, aku bukan orang sembarangan, Nona dan kata-kataku boleh engkau percaya sepenuhnya." Kemudian dengan berbisik ia menyambung, "Berikan pedangmu dan menyerahlah, engkau dan suhengmu akan selamat."

Mendengar bisikan ini dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa memutar pikirannya cepat sekali. Kalau dia melawan dan sampai tertawan seperti suhengnya, tidak ada harapan lagi bagi mereka berdua. Sebaliknya kalau dia menyerah, dia masih dapat melihat keadaan dan mungkin dapat menyelamatkan diri bersama suhengnya. Semua harapan sudah buntu, kenapa tidak berpegang kepada satu harapan ini, betapapun tipisnya? Ia mengangguk dan tanpa berkata sesuatu dia menyerahkan pedangnya.

Suma Hoat girang sekali, menerima pedang mujijat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee dan para perwira,

"Aku yang telah menawan pemuda itu, dan gadis ini menyerah kepadaku. Mereka adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee, bawa pemuda itu ke rumah dan masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga yang kuat."

Siangkoan Lee mengangguk dan kini dia mentaati perintah putera majikan atau gurunya karena dia menyangka bahwa tentu "ada apa-apanya" dengan kedua orang mata-mata itu sehingga putera gurunya sengaja menawan mereka. Agaknya ada hubungannya dengan persekutuan antara majikannya dengan Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu mata-mata Yucen? Maka dia lalu menggunakan pengaruhnya untuk menekan para pengawal dan menyuruh mereka melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah terbunuh, seorang berhasil melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang tertawan oleh putera Jenderal Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua orang itu masih disangsikan apakah mereka benar-benar mata-mata ataukah hanya terlibat saja dalam keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak itu.

"Usul yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya bahwa engkau akan memegang janji?"

Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali bangkit dari ternpat duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar tidur pemuda itu sendiri.

Suma Hoat tersenyum dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu.
"Tenanglah, Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh kecantikan seperti yang kau miliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan suhengmu."

"Hemm, hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?"

"Pertama, engkau dan suhengmu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa aku mencelakakan kalian? Ke dua, kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ke tiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau diantara kita terikat persahabatan baik, bukankah hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apalagi buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang pun diantara mereka yang menarik hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar