Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja. Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang dia sandarkan di meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu menerkam dari kanan kiri.
Agaknya dengan tubrukan dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama sekali hanya menerkam angin belaka. Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya, dan dengan geseran kakinya sudah berada di belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya.
Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu.
Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.
“Prattt....!”
Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu.
Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sudah berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya bisa menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan.
Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya yang mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biarpun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.
Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak tinggal diam. Dia mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin.
Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental.
Pada saat itu, dayung di tangan Lo-mo sudah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja ia menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga ia menjadi lemas dan tak mampu bergerak lagi.
Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.
“Mari kita pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi.
Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.
“Hei, tunggu dulu!” kata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau menawannya?”
“Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!”
“Bodoh. Apakah kau tidak lihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya!” kata Lo-kwi.
Mendengar ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.
“Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa?” kata Lo-mo dengan marah.
“Nanti dulu. Aku pernah diperhina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walaupun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.”
“Kalau ia marah dan menyerangmu?”
“Ha-ha-ha, sudah kukatakan bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Kalau ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan mudah!”
“Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah.
“Eh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?”
Lo-mo menarik napas panjang.
“Baiklah, mari kita pergi.”
Agaknya dengan tubrukan dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama sekali hanya menerkam angin belaka. Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya, dan dengan geseran kakinya sudah berada di belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya.
Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu.
Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.
“Prattt....!”
Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu.
Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sudah berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya bisa menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan.
Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya yang mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biarpun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.
Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak tinggal diam. Dia mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin.
Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental.
Pada saat itu, dayung di tangan Lo-mo sudah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja ia menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga ia menjadi lemas dan tak mampu bergerak lagi.
Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.
“Mari kita pergi dari sini!” katanya kepada Lo-kwi.
Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.
“Hei, tunggu dulu!” kata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. “Untuk apa engkau menawannya?”
“Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!”
“Bodoh. Apakah kau tidak lihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya!” kata Lo-kwi.
Mendengar ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.
“Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa?” kata Lo-mo dengan marah.
“Nanti dulu. Aku pernah diperhina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walaupun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.”
“Kalau ia marah dan menyerangmu?”
“Ha-ha-ha, sudah kukatakan bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Kalau ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan mudah!”
“Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya?” Lo-mo membantah.
“Eh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?”
Lo-mo menarik napas panjang.
“Baiklah, mari kita pergi.”
Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, tidak lagi lembut dan mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.
Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka telah diintai oleh Keng Han yang kemudian membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah gua dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung gua itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.
Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat gua, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut gua. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya.
Gadis ini terkejut dan juga girang. Ia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, membebaskan totokannya dengan sambitan batu kerikil. Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, ia pura-pura tidak bergerak. Diam-diam ia mengerahkan sinkangnya dan perlahan-lahan ia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah itu, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya.
Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula. Lo-rno sudah menyambar dayung bajanya. Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan berada di depan gua. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.
“Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini mencari jalan terang dengan perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah memupuk kejahatan!” kata Keng Han.
Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Ketika mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan kini pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh sucinya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan sucinya saja kalah, bahkan diakui murid oleh sucinya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi? Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru,
“Sobat, kau cepat lari dari sini!”
Akan tetapi Keng Han tidak lari bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin.
Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sin-kang.
“Wuuuttttt.... desssss....!”
Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.
Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya. Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia sudah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya!
Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.
Keng Han juga tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat-im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jerih dan berteriak kepada kawannya.
“Lo-mo, mari kita pergi!”
Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tidak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat, dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.
Cu In yang marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata,
“Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apalagi mereka berdua!”
Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya dan ia berdiri memandang pemuda itu dengan sinar mata yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.
“Kenapa engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut.
Keng Han menjadi bingung.
“Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali melihat seorang wanita ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika akan dibunuh oleh Bi-kiam Nio-cu.”
“Aku tidak menyelamatkanmu, melainkan menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.
“Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.”
“Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?”
“Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapapun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?”
Souw Cu In menghela napas panjang.
“Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.”
“Tentu saja. Pula, andaikata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.”
“Tidak! Jangan lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?”
Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Nio-cu. Guru kedua orang gadis itu nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu! Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!
“Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!”
Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.
“Siapakah namamu?”
“Namaku Si Keng Han.
“Jadi engkau telah menjadi murid suciku?”
“Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.”
“Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.”
“Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!”
“Keng Han, engkau murid suciku, bukan? Apakah suciku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?”
Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata,
“Baiklah, Su-i!”
“Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?”
“Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat dua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.”
“Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?”
“Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.”
“Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.”
“Aku.... aku tidak beran....!” kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio-cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
“Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han.” kata Souw Cu In.
“Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?”
“Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!”
“Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?”
Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut.
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?”
Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali.
“Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?”
“Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya “
“Aku masih memiliki seguci arak”, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.
“Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!”
Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan.
Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.
“Ini hasil buruanku, Su-i!” katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu.
Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.
“Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu tidak enak rasanya. "
“Aku membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, mrica, bawang dan lain-lainnya.
Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya, terutama bawangnya. Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan.
Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.
Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.
Setelah makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.
“Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.”
Keng Han tertegun.
“Tapi.... mana cawannya, Su-i?”
“Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.”
“Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?”
“Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?”
Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!
“Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?”
Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun.
“Engkau ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?”
“Tidak, Su-i.”
“Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!”
Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal,
Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In untuk duduk atau rebah di situ.
“Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam”.
Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat!
Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.
Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu, akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu.
Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam!
Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain.
Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi.
Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah. Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.
Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka telah diintai oleh Keng Han yang kemudian membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah gua dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung gua itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.
Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat gua, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut gua. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya.
Gadis ini terkejut dan juga girang. Ia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, membebaskan totokannya dengan sambitan batu kerikil. Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, ia pura-pura tidak bergerak. Diam-diam ia mengerahkan sinkangnya dan perlahan-lahan ia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah itu, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya.
Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula. Lo-rno sudah menyambar dayung bajanya. Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan berada di depan gua. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.
“Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini mencari jalan terang dengan perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah memupuk kejahatan!” kata Keng Han.
Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Ketika mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan kini pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh sucinya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan sucinya saja kalah, bahkan diakui murid oleh sucinya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi? Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru,
“Sobat, kau cepat lari dari sini!”
Akan tetapi Keng Han tidak lari bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin.
Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sin-kang.
“Wuuuttttt.... desssss....!”
Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.
Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya. Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia sudah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya!
Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.
Keng Han juga tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat-im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jerih dan berteriak kepada kawannya.
“Lo-mo, mari kita pergi!”
Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tidak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat, dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.
Cu In yang marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata,
“Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apalagi mereka berdua!”
Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya dan ia berdiri memandang pemuda itu dengan sinar mata yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.
“Kenapa engkau membantuku?” Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut.
Keng Han menjadi bingung.
“Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali melihat seorang wanita ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika akan dibunuh oleh Bi-kiam Nio-cu.”
“Aku tidak menyelamatkanmu, melainkan menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas!” Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.
“Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.”
“Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?”
“Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapapun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?”
Souw Cu In menghela napas panjang.
“Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.”
“Tentu saja. Pula, andaikata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.”
“Tidak! Jangan lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?”
Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teringat akan keterangan Bi-kiam Nio-cu. Guru kedua orang gadis itu nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu! Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!
“Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!”
Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.
“Siapakah namamu?”
“Namaku Si Keng Han.
“Jadi engkau telah menjadi murid suciku?”
“Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.”
“Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.”
“Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!”
“Keng Han, engkau murid suciku, bukan? Apakah suciku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?”
Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata,
“Baiklah, Su-i!”
“Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?”
“Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat dua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.”
“Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?”
“Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.”
“Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.”
“Aku.... aku tidak beran....!” kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio-cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
“Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han.” kata Souw Cu In.
“Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?”
“Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!”
“Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?”
Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut.
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?”
Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali.
“Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?”
“Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya “
“Aku masih memiliki seguci arak”, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.
“Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i!”
Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan.
Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang. Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.
“Ini hasil buruanku, Su-i!” katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu.
Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun.
“Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu tidak enak rasanya. "
“Aku membawa bumbu untuk itu!” kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, mrica, bawang dan lain-lainnya.
Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya, terutama bawangnya. Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan.
Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan.
Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.
Setelah makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han.
“Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.”
Keng Han tertegun.
“Tapi.... mana cawannya, Su-i?”
“Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.”
“Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?”
“Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?”
Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!
“Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?”
Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun.
“Engkau ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?”
“Tidak, Su-i.”
“Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!”
Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal,
Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In untuk duduk atau rebah di situ.
“Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam”.
Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat!
Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.
Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti ini, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu, akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu.
Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam!
Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain.
Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi.
Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah. Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.