Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu sudah kacau karena enam orang di antara mereka telah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang dari Suma Lian tadi. Kini, Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.
Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Dia tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur. Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja kalau dia mempergunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.
Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya.
Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Liok Cit melawan mati-matian, sambil terus mundur dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkannya lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!
Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggauta barisan yang roboh terkena pedang di tangan Hong Beng.
Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar. Namun, sepasang pendekar itu agaknya tidak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.
Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia saja, akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, tiga belas orang anggauta Ang I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang diantara darah yang membasahi tanah.
"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"
Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu.
Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa. Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun, wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.
Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Dia tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur. Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja kalau dia mempergunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.
Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya.
Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Liok Cit melawan mati-matian, sambil terus mundur dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkannya lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!
Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggauta barisan yang roboh terkena pedang di tangan Hong Beng.
Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar. Namun, sepasang pendekar itu agaknya tidak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.
Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia saja, akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, tiga belas orang anggauta Ang I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang diantara darah yang membasahi tanah.
"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"
Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu.
Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa. Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun, wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.
"Kong-kong dan Bo-bo (Kakek dan Nenek).!"
Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu. Mereka itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintan setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!
"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"
"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.
Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya dan berkata dengan lagak manja,
"Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku! Bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kong-kong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoiku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"
"Eh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"
"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suhengku sendiri, namanya Gu Hong Beng, murid dari paman Suma Ciang Bun."
Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.
Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka.
"Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.
"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoimu dan seorang pendekar lain akan melayang?"
Suma Lian, dibantu olen Hong Beng, lalu menceritakan semua yang telah terjadi, tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah dibacanya.
Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya,
"Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"
"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukan she Liu," bantah Hong Beng.
Kakek itu tersenyum,
"Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Untung bahwa engkau bertemu dengan kami, kalau tidak, begitu memasuki benteng, tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak."
Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa-tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang olen pemerintah.
Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu.
"Wah, kalau sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"
"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tidak ada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."
Mereka berempat lalu kembali ke benteng dan karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka empat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.
".... Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah, dan dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian, "siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"
Kam Hong segera menjawab.
"Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang benar bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda benama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."
Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang kemudian dia menyerahkan surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.
Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan banwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap "sekutu" pemberontak untuk bergabung.
Kesempatan ini akan dipergunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan penyerangan mereka kalau saatnya tiba. Kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan akan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.
"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"
Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian.
Hatinya lega kalau mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tidak perlu mengkhawatirkan "tunangannya" yang sekali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.
Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendanului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.
Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu. Mereka itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintan setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!
"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"
"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.
Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya dan berkata dengan lagak manja,
"Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku! Bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kong-kong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoiku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"
"Eh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"
"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suhengku sendiri, namanya Gu Hong Beng, murid dari paman Suma Ciang Bun."
Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.
Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka.
"Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.
"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoimu dan seorang pendekar lain akan melayang?"
Suma Lian, dibantu olen Hong Beng, lalu menceritakan semua yang telah terjadi, tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah dibacanya.
Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya,
"Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"
"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukan she Liu," bantah Hong Beng.
Kakek itu tersenyum,
"Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Untung bahwa engkau bertemu dengan kami, kalau tidak, begitu memasuki benteng, tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak."
Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa-tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang olen pemerintah.
Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu.
"Wah, kalau sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"
"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tidak ada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."
Mereka berempat lalu kembali ke benteng dan karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka empat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.
".... Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah, dan dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian, "siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"
Kam Hong segera menjawab.
"Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang benar bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda benama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."
Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang kemudian dia menyerahkan surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.
Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan banwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap "sekutu" pemberontak untuk bergabung.
Kesempatan ini akan dipergunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan penyerangan mereka kalau saatnya tiba. Kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan akan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.
"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"
Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian.
Hatinya lega kalau mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tidak perlu mengkhawatirkan "tunangannya" yang sekali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.
Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendanului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.
**** 055 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================