Sin Hong termenung. Malam itu dia dan Suma Lian terpaksa bermalam di hutan lebat, tak jauh dari sarang Tiat-liong-pang. Mereka telah melakukan penyelidikan semenjak mengubur jenazah Kwee Ci Hwa, dan mereka berdua terkejut melihat betapa kekuatan para pemberontak memang besar. Dan kini, agaknya pasukan Mongol sudah pula berkumpul di tempat itu, dan jumlah orang-orang Mongol ini banyak sekali, jauh lebih banyak dari orang-orang Tiat-liong-pang sendiri. Pasukan Mongol yang kelihatan buas ini berkumpul di lapangan luas yang berada di sebelah timur sarang Tiat-liong-pang, membuat tenda-tenda sementara.
Melihat kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka berdua tidak akan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya banyak berkumpul di situ untuk menentang para tokoh sesat agar mereka dapat melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan. Malam itu terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan.
Karena melihat Suma Lian kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering, Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.
Sin Hong melamun setelah melihat gadis itu rebah di dekat api unggun sambil berkerudung jubah luar yang lebar. Dia terkenang kepada Ci Hwa dan keterangan yang dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa benar-benar Tiat-liong-pang yang mendalangi pembunuhan terhadap ayahnya itu. Dan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur segalanya.
Dia telah terkecoh. Ketika Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu, semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi dia. Tiat-liong-pang memang membutuhkan perusahan piauw-kiok itu. Dengan adanya perusahaan itu, mudah bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya, orang-orang Mongol di luar Tembok Besar.
Tanpa dicurigai pasukan pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil karena buktinya kini pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah.
Dan dia tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Moli berada di sana, tentu dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir!
Dan dua batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam, berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali. Dengan demikian, maka semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang. Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, juga urusan umum! Bagaimanapun juga dia harus bangkit menantang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi guru-gurunya dan demi rakyat karena kalau pemberontakan yang dipimpin para tokoh sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.
Terdengar Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula! Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu dia bertemu Suma Lian.
Dia merasa kagum bukan main. Dengan mudah sekali dia akan dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma Lian dan paman gadis itu, Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini telah ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong Beng! Tidak, dia sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia tidak akan mengorbankan orang lain, apalagi keluarga para pendekar terhormat itu, demi kesenangan diri sendiri!
Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian, secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab karena dia melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap amat baik dan manis kepadanya. Hal ini harus dicegah!
“Hong-ko, apakah yang kau pikirkan?”
Sin Hong terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat menoleh dan ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.
“Apa? Aku... aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”
Suma Lian bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak akan tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak melihat pemandangan yang menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap dipandang!
"Hong-ko, tidak perlu kau menyangkal. Sejak tadi aku melihat engkau melamun, kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu seperti orang berduka. Ada apakah Hong-ko?"
Suma Lian selesai menyanggul rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas. Sin Hong melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti wajah bidadari.
Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk menjauhkan jarak di antara hati mereka.
Dia menghela napas panjang.
"Aaah, hati siapa takkan berduka kalau kehilangan seorang yang amat disayangnya? Lenyapnya seorang yang dikasihi agaknya melenyapkan pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat."
Suma Lian tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut alisnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!
"Siapakah orang yang kau sayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan kenapa engkau kehilangan? Kemanakah ia pergi?"
Melihat kenyataan ini, Sin Hong dan Suma Lian terkejut sekali dan tentu saja mereka berdua tidak akan mampu melakukan sesuatu terhadap kekuatan yang demikian besarnya.
Mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari para pendekar yang kabarnya banyak berkumpul di situ untuk menentang para tokoh sesat agar mereka dapat melakukan gerakan bersama, atau menyampaikan berita tentang gerakan kaum sesat ini kepada benteng pasukan penjaga perbatasan. Malam itu terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan.
Karena melihat Suma Lian kelelahan, setelah mereka makan malam yang terdiri dari roti dan daging kering, Sin Hong mempersilakan gadis itu untuk beristirahat dan tidur, sedangkan dia berjaga di dekat api unggun yang mereka buat.
Sin Hong melamun setelah melihat gadis itu rebah di dekat api unggun sambil berkerudung jubah luar yang lebar. Dia terkenang kepada Ci Hwa dan keterangan yang dikemukakan gadis itu sebelum tewas. Dan Sin Hong mengepal tinju. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa benar-benar Tiat-liong-pang yang mendalangi pembunuhan terhadap ayahnya itu. Dan Ciu Hok Kwi, Ciu Piauwsu yang pernah menjadi pembantu ayahnya, ternyata adalah tokoh Tiat-liong-pang yang pandai. Bahkan orang she Ciu itu pula yang menjadi pembunuh bertopeng, pembunuh orang she Lay yang gendut, dan kalau begitu, Ciu Hok Kwi ini pula yang mengatur segalanya.
Dia telah terkecoh. Ketika Ciu Hok Kwi marah-marah dan pergi menantang Kwee Piauwsu, semua itu ternyata hanya sandiwara belaka! Kini jelaslah sudah semuanya bagi dia. Tiat-liong-pang memang membutuhkan perusahan piauw-kiok itu. Dengan adanya perusahaan itu, mudah bagi Tiat-liong-pang untuk mengadakan hubungan dengan sekutunya, orang-orang Mongol di luar Tembok Besar.
Tanpa dicurigai pasukan pemerintah yang berjaga di tapal batas utara. Dan usaha mereka telah berhasil karena buktinya kini pasukan Mongol telah dapat diselundupkan ke Tiat-liong-pang dalam jumlah besar tanpa diketahui oleh pasukan pemerintah.
Dan dia tidak tahu bahwa kaum sesat, termasuk Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, tentu membantu pula gerakan pemberontakan itu. Sin-kiam Moli berada di sana, tentu dua orang kawannya yang lihai, yaitu Thian Kong Cinjin tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai, juga berada di sana. Tiga orang itulah yang masih hidup di antara mereka yang menyerbu Istana Gurun Pasir!
Dan dua batang pedang pusaka Istana Gurun Pasir, yaitu Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam, berada di tangan tiga orang itu dan dia harus merampasnya kembali. Dengan demikian, maka semua persoalan yang harus dibereskan berada di Tiat-liong-pang. Urusan ayahnya, urusan guru-gurunya, juga urusan umum! Bagaimanapun juga dia harus bangkit menantang Tiat-liong-pang, demi orang tuanya, demi guru-gurunya dan demi rakyat karena kalau pemberontakan yang dipimpin para tokoh sesat itu terjadi, tentu banyak rakyat yang menjadi korban keganasan mereka.
Terdengar Suma Lian mengeluh dan Sin Hong melirik. Gadis itu bergerak dan kini terlentang. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, jenaka dan serba menyenangkan, keturunan keluarga Pulau Es pula! Seorang gadis pilihan dan harus diakuinya bahwa hatinya tertarik sekali begitu dia bertemu Suma Lian.
Dia merasa kagum bukan main. Dengan mudah sekali dia akan dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Suma Lian ini. Akan tetapi, dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin, bahkan tidak boleh sama sekali. Dia mendengar sendiri percakapan antara Suma Lian dan paman gadis itu, Suma Ciang Bun. Gadis jelita ini telah ditunangkan, telah dijodohkan dengan murid pendekar itu yang bernama Gu Hong Beng! Tidak, dia sama sekali tidak boleh mengganggu gadis ini! Pantangan besar baginya! Dia tidak akan mengorbankan orang lain, apalagi keluarga para pendekar terhormat itu, demi kesenangan diri sendiri!
Dia harus menjauhkan diri dari Suma Lian, secepatnya agar jangan sampai pergaulan mereka menjadi semakin akrab karena dia melihat betapa ada tanda-tanda gadis ini bersikap amat baik dan manis kepadanya. Hal ini harus dicegah!
“Hong-ko, apakah yang kau pikirkan?”
Sin Hong terkejut bukan main mendengar teguran suara halus Suma Lian itu. Dia cepat menoleh dan ternyata gadis itu yang masih terlentang, sudah membuka sepasang matanya yang indah dan kocak itu dan sedang memandang kepadanya dengan penuh selidik, sedangkan mulut tersenyum jenaka.
“Apa? Aku... aku tidak memikirkan apa-apa, Lian-moi.”
Suma Lian bangkit duduk. Pita rambutnya terlepas dan rambut yang hitam panjang itu terurai. Disanggulnya rambut itu dan gerakan kedua lengan ketika menyanggul rambut itu sungguh luwes dan indah, membuat Sin Hong terpesona sejenak akan tetapi dia segera menundukkan mukanya agar tidak melihat pemandangan yang menarik itu. Seorang gadis menyanggul rambutnya, betapa luwes dan sedap dipandang!
"Hong-ko, tidak perlu kau menyangkal. Sejak tadi aku melihat engkau melamun, kadang-kadang mengepal tinju, merentang-rentangkan jari tangan, belasan kali engkau menarik napas panjang dan engkau memandangi api seolah-olah seluruh semangatmu melayang-layang ke dalamnya. Dan dari samping aku melihat wajahmu seperti orang berduka. Ada apakah Hong-ko?"
Suma Lian selesai menyanggul rambutnya dan ia duduk berhadapan dengan Sin Hong, terhalang api unggun sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing dengan jelas. Sin Hong melihat betapa wajah gadis itu kemerahan oleh sinar api, cantik jelita seperti wajah bidadari.
Sin Hong merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kembali dia menundukkan mukanya agar tidak memandang keindahan yang nampak di depannya itu. Sungguh berbahaya sekali, pikirnya. Betapa mudahnya aku jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia sudah ada yang punya! Ia harus menggunakan akal untuk menjauhkan jarak di antara hati mereka.
Dia menghela napas panjang.
"Aaah, hati siapa takkan berduka kalau kehilangan seorang yang amat disayangnya? Lenyapnya seorang yang dikasihi agaknya melenyapkan pula rasa bahagia di hati, melumpuhkan semangat."
Suma Lian tertarik sekali dan memandang penuh selidik. Kerut alisnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan juga kecewa bahwa pemuda di depannya ini sudah mempunyai seorang kekasih. Padahal ia mulai tertarik sekali!
"Siapakah orang yang kau sayang sedemikian besarnya itu, Hong-ko? Dan kenapa engkau kehilangan? Kemanakah ia pergi?"
"Baru saja ia meninggal dunia secara amat menyedihkan, Lian-moi."
Sepasang mata Suma Lian memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika ia teringat,
"Ohhh! Kau maksudkan.... gadis yang tewas itu, yang bernama.... Kwee Ci Hwa.?"
Sin Hong memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia mengangguk. Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian, mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan baru saja.
Suma Lian merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat ia heran sekali. Mengapa ia merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai Sin Hong itu telah tiada!
"Aih, sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."
Sin Hong menarik napas panjang.
"Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee-piauwsu yang tadinya kusangka menjadi biang-keladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia meninggalkan rumah untuk membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku, akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan ia berhasil! Ia berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dulu pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup. Ia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan pelakunya, dengan tebusan nyawanya!"
Sin Hong tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.
"Ah, kalau begitu pantas ia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan tetapi, ia telah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan Ci Hwa di dalam hatimu."
Sin Hong menggeleng kepala.
"Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa membuat aku merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin dengan wanita lain sampai entah kapan."
Kembali Suma Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang mengherankannya. Dan sekaligus ucapan pemuda itu mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang telah dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.
Tiba-tiba Sin Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah menaruh telunjuk di depan mulutnya.
"Shhhhh lihat di sana." bisiknya.
Suma Lian yang juga sudah meloncat berdiri itu membalikkan tubuh memandang ke arah yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi matanya yang berpenglihatan tajam itu sehingga ia mampu pula melihat adanya bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.
"Aku mau kejar dia!" kata Sin Hong dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran.
Sejenak Suma Lian tertegun dan kagum, kemudian ia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.
Bayangan yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di perbatasan utara.
Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu, mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih ditahan dan menjadi sandera.
Selagi dia berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak,
"Sobat, berhenti dulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"
Mendengar bentakan ini dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan kesalah pahaman, dia pun langsung saja mengaku.
"Sobat, harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang melakukan tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya untuk merobohkannya. Hong Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya.
Mungkin saja para pimpinan pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua Tiat-liong-pang.
"Dukkk!” kedua lengan mereka bertemu dan keduanya terkejut.
Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang amat kuat, terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya, sebaliknya, Sin Hong juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga sakti itu.
Hong Beng yang maklum bahwa lawannya walaupun di bawah sinar bulan redup itu nampak masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau kalau tugasnya ini terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji kesetiaannya!
Maka, begitu menyerang lagi,dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang amat dingin menyambar dahsyat. Ketika dia menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Haiiiii! Apakah itu bukan Swat-im Sin-kang?" tanyanya heran.
Mendengar pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya demikian lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu, nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu seorang gadis cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.
Sejenak Hong Beng menjadi bengong. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu dan ketika dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun, namun dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia. Apalagi setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw (baca kisah SULING NAGA ), maka wajah Suma Lian selalu terbayang di dalam hatinya.
Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik jelita ini adalah Suma Lian! Di lain fihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, karena ia merasa tidak asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.
"Bukankah.... bukankah Nona ini Sumoi Suma Lian.?"
Akhirnya Hong Beng berseru, sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.
"Ah, suheng Gu Hong Beng kiranya.!"
Suma Lian teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi, dan seketika wajahnya berubah kemerahan karena ia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid pamannya ini telah dijodohkan dengannya!
"Sumoi, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan.... dan.... saudara ini siapakah?"
Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum. Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas kalau menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.
"Lian-moi, hati-hati, bagaimanapun juga, dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, membawa tugas rahasia yang penting!"
Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan.
"Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini telah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"
Hong Beng menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."
"Mari ikut denganku," kata Sin Hong yang mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi membuat api unggun.
Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat agak tinggi sehingga dapat melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.
"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.
Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena gembira membayangkan gadis ini ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biarpun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.
"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Akan tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian.”
“Aaaihhh....!" Tentu saja Suma Lian terkejut sekali mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"
Hong Beng lalu menceritakan semua yang telah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.
"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana."
"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya.
Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.
Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang.
"Ah, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu."
Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan.
"Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu, bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat menyelamatkan dua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."
"Suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan juga Sian-sumoi ditawan di sana."
Tiba-tiba Sin Hong berkata,
"Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng, menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Hong-ko....!"
Suma Lian memanggil, akan tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.
"Dia amat lihai." katanya.
"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."
"Ahhh....!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi mengenal Swat-im Sin-kang begitu aku mempergunakan ilmu itu."
"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."
"Kwee Ci Hwa.?"
"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"
Hong Beng menjawab ragu.
"Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuhnya kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."
Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.
"Sebaiknya kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu kalau engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."
Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.
"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata engkau benar saja menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"
Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.
"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.
Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggauta Ang I Mopang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat. Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.
"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!"
Perintahnya dengan suara lantang. Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka tiga belas orang itu segera mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali.
"Suheng, kau hadapi barisan siluman ini, aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"
Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.
"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.
Tiga belas orang anggauta Ang I Mopang ini memang ahli dalam hal pembentukan barisan yang aneh-aneh. Biarpun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang dapat bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!
Barisan itu sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, mulai menyerang, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat.
Sedangkan Suma Lian sudah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggauta barisan Ang I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.
Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Ia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggauta barisan yang berlari di sebelah kiri, cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.
Namun, Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu dan tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggauta barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi.
Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu, sepasang pedangnya menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.
Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorongkan tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sin-kang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun segera menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.
"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!"
Bentak Suma Lian dan Liok Cit yang menjadi ketakutan, cepat menyambut dengan pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.
Sepasang mata Suma Lian memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika ia teringat,
"Ohhh! Kau maksudkan.... gadis yang tewas itu, yang bernama.... Kwee Ci Hwa.?"
Sin Hong memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia mengangguk. Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian, mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan baru saja.
Suma Lian merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat ia heran sekali. Mengapa ia merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai Sin Hong itu telah tiada!
"Aih, sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."
Sin Hong menarik napas panjang.
"Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee-piauwsu yang tadinya kusangka menjadi biang-keladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia meninggalkan rumah untuk membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku, akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan ia berhasil! Ia berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dulu pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup. Ia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan pelakunya, dengan tebusan nyawanya!"
Sin Hong tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.
"Ah, kalau begitu pantas ia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan tetapi, ia telah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan Ci Hwa di dalam hatimu."
Sin Hong menggeleng kepala.
"Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa membuat aku merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin dengan wanita lain sampai entah kapan."
Kembali Suma Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang mengherankannya. Dan sekaligus ucapan pemuda itu mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang telah dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.
Tiba-tiba Sin Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah menaruh telunjuk di depan mulutnya.
"Shhhhh lihat di sana." bisiknya.
Suma Lian yang juga sudah meloncat berdiri itu membalikkan tubuh memandang ke arah yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi matanya yang berpenglihatan tajam itu sehingga ia mampu pula melihat adanya bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.
"Aku mau kejar dia!" kata Sin Hong dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran.
Sejenak Suma Lian tertegun dan kagum, kemudian ia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.
Bayangan yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di perbatasan utara.
Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu, mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih ditahan dan menjadi sandera.
Selagi dia berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak,
"Sobat, berhenti dulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"
Mendengar bentakan ini dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan kesalah pahaman, dia pun langsung saja mengaku.
"Sobat, harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang melakukan tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya untuk merobohkannya. Hong Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya.
Mungkin saja para pimpinan pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua Tiat-liong-pang.
"Dukkk!” kedua lengan mereka bertemu dan keduanya terkejut.
Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang amat kuat, terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya, sebaliknya, Sin Hong juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga sakti itu.
Hong Beng yang maklum bahwa lawannya walaupun di bawah sinar bulan redup itu nampak masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau kalau tugasnya ini terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji kesetiaannya!
Maka, begitu menyerang lagi,dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang amat dingin menyambar dahsyat. Ketika dia menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Haiiiii! Apakah itu bukan Swat-im Sin-kang?" tanyanya heran.
Mendengar pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya demikian lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu, nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu seorang gadis cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.
Sejenak Hong Beng menjadi bengong. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu dan ketika dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun, namun dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia. Apalagi setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw (baca kisah SULING NAGA ), maka wajah Suma Lian selalu terbayang di dalam hatinya.
Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik jelita ini adalah Suma Lian! Di lain fihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, karena ia merasa tidak asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.
"Bukankah.... bukankah Nona ini Sumoi Suma Lian.?"
Akhirnya Hong Beng berseru, sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.
"Ah, suheng Gu Hong Beng kiranya.!"
Suma Lian teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi, dan seketika wajahnya berubah kemerahan karena ia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid pamannya ini telah dijodohkan dengannya!
"Sumoi, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan.... dan.... saudara ini siapakah?"
Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum. Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas kalau menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.
"Lian-moi, hati-hati, bagaimanapun juga, dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, membawa tugas rahasia yang penting!"
Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan.
"Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini telah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"
Hong Beng menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."
"Mari ikut denganku," kata Sin Hong yang mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi membuat api unggun.
Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat agak tinggi sehingga dapat melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.
"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.
Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena gembira membayangkan gadis ini ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biarpun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.
"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Akan tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian.”
“Aaaihhh....!" Tentu saja Suma Lian terkejut sekali mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"
Hong Beng lalu menceritakan semua yang telah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.
"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana."
"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya.
Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.
Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang.
"Ah, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu."
Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan.
"Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu, bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat menyelamatkan dua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."
"Suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan juga Sian-sumoi ditawan di sana."
Tiba-tiba Sin Hong berkata,
"Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng, menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Hong-ko....!"
Suma Lian memanggil, akan tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.
"Dia amat lihai." katanya.
"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."
"Ahhh....!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi mengenal Swat-im Sin-kang begitu aku mempergunakan ilmu itu."
"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."
"Kwee Ci Hwa.?"
"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"
Hong Beng menjawab ragu.
"Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuhnya kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."
Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.
"Sebaiknya kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu kalau engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."
Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.
"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata engkau benar saja menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"
Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.
"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.
Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggauta Ang I Mopang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat. Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.
"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!"
Perintahnya dengan suara lantang. Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka tiga belas orang itu segera mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali.
"Suheng, kau hadapi barisan siluman ini, aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"
Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.
"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.
Tiga belas orang anggauta Ang I Mopang ini memang ahli dalam hal pembentukan barisan yang aneh-aneh. Biarpun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang dapat bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!
Barisan itu sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, mulai menyerang, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat.
Sedangkan Suma Lian sudah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggauta barisan Ang I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.
Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Ia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggauta barisan yang berlari di sebelah kiri, cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.
Namun, Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu dan tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggauta barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi.
Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu, sepasang pedangnya menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.
Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorongkan tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sin-kang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun segera menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.
"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!"
Bentak Suma Lian dan Liok Cit yang menjadi ketakutan, cepat menyambut dengan pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.