“Tidak mau, aku ingin pulang.... aku ingin ayah ibu, aku ingin pulang....!”
Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li.
“Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis.”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah.“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering, memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, dan ia pun tersenyum.
“Anak manis.... ah, pantas menjadi anakku atau muridku.... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang.”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun! Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, Juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang I Mopang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang I Moli Tee Kui Cu dengan Ang I Mopang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu.
Wanita berpakaian merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang pernah menjadi ketua Ang I Mopang. Ketika Ang I Mopang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw.
Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kun-ming, mengumpulkan para bekas anggauta Ang I Mopang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggauta Ang I Mopang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya. Dan dia pun suka sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena ia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa sengaja ia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya dan juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu dan ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau.!”
Ang I Moli berkata dengan hati lega, akah tetapi juga ia memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini dapat menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.
Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li.
“Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis.”
“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”
“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.
“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”
“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah.“
Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering, memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, dan ia pun tersenyum.
“Anak manis.... ah, pantas menjadi anakku atau muridku.... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang.”
Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.
Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun! Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, Juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.
Dugaan Kao Hong Li tentang Ang I Mopang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang I Moli Tee Kui Cu dengan Ang I Mopang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu.
Wanita berpakaian merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang pernah menjadi ketua Ang I Mopang. Ketika Ang I Mopang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw.
Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kun-ming, mengumpulkan para bekas anggauta Ang I Mopang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!
Demikianlah riwayat singkat Ang I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggauta Ang I Mopang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya. Dan dia pun suka sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena ia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.
Dan pada pagi hari itu, tanpa sengaja ia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya dan juga muridnya.
Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu dan ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.
Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!
“Ahh, kiranya engkau.!”
Ang I Moli berkata dengan hati lega, akah tetapi juga ia memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini dapat menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu?
Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhunya, dia tidak mempunyai tujuan.
Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari. Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang. Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.
Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia teringat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan. Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa kalau Tuhan menghendaki, dia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul sejak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tidak ada aku yang waspada, tidak ada aku yang pasrah. Selama ada “aku”, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.
Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Gelisah menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, bukan kepasrahan berpamrih, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Dia memasuki ruangan itu dan.... dia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli.
“Kiranya engkau? Bagaimana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
"Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah pikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejang oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dari ibunya kini mencari-carimu dan ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukanmu dan kalau sudah begitu, siapa berani menanggung keselematanmu?”
Ang I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Ia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata.
“Hi-hi-heh-heh-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku. Aku tidak takut menghadapi siapapun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biar kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan, sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subomu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, kalau suhu dan subomu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?”
Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo, adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Eh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!”
Wanita itu tertawa geli. Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh.
“Aku tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Akan tetapi aku tidak berbohong. Mereka amat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka”
Ang I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan terakhir itu menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han merasa pundaknya nyeri, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”
Wanita itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang telah dicengkeram pundaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.
“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tidak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya kalau engkau mengembalikan Sian Li dan mau menerima aku sebagai gantinya, aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang I Moli yang sudah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada saat itu ketika tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran di dalam pundak itu, getaran yang lembut namun mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula. Ia merasa heran lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran.
Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini! Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian.
Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat! Biarpun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subonya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang-orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.
“Brrttt...!”
Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main! Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!
“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subomu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong atau membual, Bibi. Suhuku bernama Tan Sin Hong berjuluk Pendekar Bangau Putih dan Suboku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja ia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua diantara para pendekar yang pernah membasmi Ang i Mopang! Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang I Mopang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biarpun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan.
“Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang penting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Kalau aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”
Yo Han mengerutkan alisnya, memandang kepada wanita itu. Ang I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biarpun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira.
“Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”
Ang I Moli memondong tubuh Sian Li.
“Mari kau ikuti aku.”
Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.
“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.
Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu dapat menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni dari darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, ia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama mereka berjalan karena Ang I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.
“Kita naik perahu, agar dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apalagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepat kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang I Moli kepada Yo Han.
Ia menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur. Sekarang melihat Yo Han di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata,
“Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang I Moli tersenyum.
“Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau takkan dapat lolos dari tanganku!
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han dan dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang.
Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa pulang Sian Li seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subonya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan kini dia telah memenuhi janji dan tanggung lawabnya.
Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari. Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang. Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.
Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia teringat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan. Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa kalau Tuhan menghendaki, dia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul sejak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.
Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tidak ada aku yang waspada, tidak ada aku yang pasrah. Selama ada “aku”, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.
Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Gelisah menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, bukan kepasrahan berpamrih, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali kepada kodratnya.
Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Dia memasuki ruangan itu dan.... dia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!
Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli.
“Kiranya engkau? Bagaimana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”
Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.
"Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.
Ang I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!
“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.
Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.
“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah pikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”
Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejang oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,
“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”
“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dari ibunya kini mencari-carimu dan ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukanmu dan kalau sudah begitu, siapa berani menanggung keselematanmu?”
Ang I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Ia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata.
“Hi-hi-heh-heh-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku. Aku tidak takut menghadapi siapapun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”
“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biar kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan, sebagai pengganti Sian Li. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”
“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subomu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”
“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”
“Hemm, menurut engkau, kalau suhu dan subomu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?”
Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.
“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo, adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”
“Eh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!”
Wanita itu tertawa geli. Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh.
“Aku tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Akan tetapi aku tidak berbohong. Mereka amat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka”
Ang I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan terakhir itu menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.
Yo Han merasa pundaknya nyeri, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.
“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”
Wanita itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang telah dicengkeram pundaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.
“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tidak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya kalau engkau mengembalikan Sian Li dan mau menerima aku sebagai gantinya, aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”
Ang I Moli yang sudah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada saat itu ketika tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran di dalam pundak itu, getaran yang lembut namun mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula. Ia merasa heran lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran.
Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini! Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian.
Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat! Biarpun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subonya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang-orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.
“Brrttt...!”
Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main! Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!
“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”
“Aku she Yo, namaku Han.”
“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”
“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”
“Siapa sih suhu dan subomu yang kau puji setinggi langit itu.”
“Aku bukan sekedar memuji kosong atau membual, Bibi. Suhuku bernama Tan Sin Hong berjuluk Pendekar Bangau Putih dan Suboku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”
Ang I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja ia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua diantara para pendekar yang pernah membasmi Ang i Mopang! Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang I Mopang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biarpun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.
Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan.
“Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”
Ang I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.
“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”
“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang penting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”
“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Kalau aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”
Yo Han mengerutkan alisnya, memandang kepada wanita itu. Ang I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!
“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”
“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”
Biarpun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira.
“Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”
Ang I Moli memondong tubuh Sian Li.
“Mari kau ikuti aku.”
Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.
“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”
Ang I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.
Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu dapat menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni dari darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, ia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!
Tidak lama mereka berjalan karena Ang I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.
“Kita naik perahu, agar dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.
Tak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.
Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apalagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.
“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepat kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang I Moli kepada Yo Han.
Ia menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur. Sekarang melihat Yo Han di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata,
“Engkau percaya kepadaku, Bibi?”
Ang I Moli tersenyum.
“Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau takkan dapat lolos dari tanganku!
“Aku takkan bohong!” kata Yo Han dan dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang.
Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa pulang Sian Li seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subonya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan kini dia telah memenuhi janji dan tanggung lawabnya.
**** 005 ****