Dusun Hong-cun yang terletak di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi Shantung adalah sebuah dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan dusun-dusun lain. Penduduk dusun itu bekerja sebagai nelayan merangkap petani dan kehidupan mereka walaupun sederhana, namun cukup makmur. Sungai Kuning tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu memang memiliki tanah yang subur.
Pagi hari itu, suasana dusun Hongcun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan tanda bahwa di dusun itu terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta merayakan sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah keluarga mengadakan pesta merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apalagi yang sedang berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong!
Biarpun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai sesepuh dusun itu, walaupun dia tidak tinggal di situ sejak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga seorang pendekar wanita sakti.
Suami isteri pendekar ini dihormati dan disayang seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka suka menolong, baik dengan pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan walaupun mereka sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tak pernah ada penjahat manapun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya.
Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar Super Sakti. Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan Kimsiauw-kiam (Pedang Naga Siluman).
Mereka hanya mempunyai anak tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-ting. Suami Suma Lian bernama Gu Hong Beng, seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.
Kini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang seolah menjadi anak angkat mereka pula. Namun sayang, murid mereka itu telah tewas dalam pertempuran ketika Liem Sian Lun bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan dan terlibat dalam pertempuran antara para pemberontak Tibet dengan pasukan Tibet.
Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri mereka menikah dan pergi mengikuti suaminya, lalu muncul Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka. Di sinilah nampak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia. Betapapun pandai seseorang, kalau Tuhan tidak menghendaki, orang itu tidak mampu melaksanakan sesuatu sesuai yang dikehendakinya.
Manusia berwenang mengatur, namun yang berwenang menentukan hanyalah kekuasaan Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar, berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal. Kematian Liem Sian Lun yang mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan keputusan Tuhan.
Kelahiran dan kematian sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan, merupakan rahasia Tuhan, merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, hanya mampu menelusuri dan mempelajari proses terjadinya penciptaan itu, membantu dan memperlancar proses itu.
Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada di dunia ini adalah karena kehendak Tuhan, bukan karena kehendak kita. Tuhan telah menyertakan kepada kita segala macam perlengkapan yang serba sempurna, dari tubuh yang lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu agar kita menjadi hasil ciptaan yang baik, yang berguna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.
Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu dianggap menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang selalu ingin senang, namun kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam kehidupan ini sudah dikehendaki Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu berupa hukuman ataupun anugerah sebagai pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam sendiri melalui perbuatan yang lalu, maupun berupa ujian dan cobaan.
Demikian besar kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita berwenang untuk memilih.
Untuk menentukan sendiri langkah hidup kita dan bertanggung jawab atas langkah-langkah itu.
Pesta apakah yang pada pagi hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu? Pesta perayaan ulang tahun yang ke enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pesta sekali ini merupakan pesta yang khusus diadakan untuk “mengumpulkan tulang-tulang berserakan”, istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengumpulkan para anggauta keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan.
Dan mereka berdua memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara seperguruan.
Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak.
Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan. Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai.
Namun, betapapun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena agaknya Tuhan tidak menghendaki, namun ikhtiar mereka gagal dan setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya takdir Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Kemudian berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan para anggauta tiga keluarga besar. Pertama urutan tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan.
Pagi hari itu, suasana dusun Hongcun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan tanda bahwa di dusun itu terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta merayakan sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah keluarga mengadakan pesta merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apalagi yang sedang berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong!
Biarpun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai sesepuh dusun itu, walaupun dia tidak tinggal di situ sejak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga seorang pendekar wanita sakti.
Suami isteri pendekar ini dihormati dan disayang seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka suka menolong, baik dengan pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan walaupun mereka sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tak pernah ada penjahat manapun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya.
Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar Super Sakti. Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan Kimsiauw-kiam (Pedang Naga Siluman).
Mereka hanya mempunyai anak tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-ting. Suami Suma Lian bernama Gu Hong Beng, seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.
Kini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang seolah menjadi anak angkat mereka pula. Namun sayang, murid mereka itu telah tewas dalam pertempuran ketika Liem Sian Lun bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan dan terlibat dalam pertempuran antara para pemberontak Tibet dengan pasukan Tibet.
Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri mereka menikah dan pergi mengikuti suaminya, lalu muncul Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka. Di sinilah nampak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia. Betapapun pandai seseorang, kalau Tuhan tidak menghendaki, orang itu tidak mampu melaksanakan sesuatu sesuai yang dikehendakinya.
Manusia berwenang mengatur, namun yang berwenang menentukan hanyalah kekuasaan Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar, berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal. Kematian Liem Sian Lun yang mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan keputusan Tuhan.
Kelahiran dan kematian sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan, merupakan rahasia Tuhan, merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, hanya mampu menelusuri dan mempelajari proses terjadinya penciptaan itu, membantu dan memperlancar proses itu.
Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada di dunia ini adalah karena kehendak Tuhan, bukan karena kehendak kita. Tuhan telah menyertakan kepada kita segala macam perlengkapan yang serba sempurna, dari tubuh yang lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu agar kita menjadi hasil ciptaan yang baik, yang berguna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.
Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu dianggap menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang selalu ingin senang, namun kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam kehidupan ini sudah dikehendaki Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu berupa hukuman ataupun anugerah sebagai pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam sendiri melalui perbuatan yang lalu, maupun berupa ujian dan cobaan.
Demikian besar kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita berwenang untuk memilih.
Untuk menentukan sendiri langkah hidup kita dan bertanggung jawab atas langkah-langkah itu.
Pesta apakah yang pada pagi hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu? Pesta perayaan ulang tahun yang ke enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pesta sekali ini merupakan pesta yang khusus diadakan untuk “mengumpulkan tulang-tulang berserakan”, istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengumpulkan para anggauta keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan.
Dan mereka berdua memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara seperguruan.
Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak.
Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan. Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai.
Namun, betapapun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena agaknya Tuhan tidak menghendaki, namun ikhtiar mereka gagal dan setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya takdir Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Kemudian berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan para anggauta tiga keluarga besar. Pertama urutan tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan.
Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, juga merupakan anggauta keluarga Pulau Es. Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun.
Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih adapun sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es. Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggauta keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggauta keluarga Lembah Naga Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan badan.
Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.
Ada pula belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai murid, datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus untuk keluarga itu. Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu pertemuan yang menggembirakan dan juga luar biasa.
Demikian banyaknya pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Satu demi satu, para anggauta keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang tahunnya, dan banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan berharga.
Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut mereka dengan gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggauta keluarga. Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping, sedangkan para anggauta keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah.
Suasana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling bercakap-cakap satu kepada yang lain dengan suara gembira, apalagi para wanitanya. Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li Sian saling rangkul bahkan sampai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak. Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak pernah saling jumpa.
“Li Sian....!”
“Suci (Kakak Seperguruan) Lian!”
Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoinya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis itu dan mencium kedua pipinya.
“Aih, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!” katanya dengan wajah berseri gembira.
Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian akan menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya telah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa sucinya tidak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.
Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar teriakan-teriakan gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat berhasil.
Sian Li juga bergembira dapat bertemu dan berkenalan dengan para anggauta keluarga yang selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak di situ. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam ia mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersilahkan gadis yang lincah jenaka dan peramah ini duduk bersama mereka.
“Paman Sim Houw, bagaimana kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?”
Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan itu, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas panjang.
“Sian Li, terima kasih atas perhatianmu. Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat menemukan anak kami.”
“Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!” Sian Li mencela.
Can Bi Lan berkata.
“Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah anak kami itu sudah hilang selama dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun, kami tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati, semoga mendapat tempat yang layak.”
Biarpun ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!
Suma Ceng Liong segera berkata.
“Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk yang lemah dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanyalah berdoa dan menyerahkan kepada kekuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian.”
“Sim-suheng, apa yang dikatakan suamiku memang benar sekali. Justeru karena kalian belum melihat bukti dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu kita akan dapat bertemu dengannya.” kata Kam Bi Eng.
“Nah, benar bukan apa yang kukatakan tadi, Paman dan Bibi!” seru Sian Li, mendapat “angin” dan mendapat kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. “Tidak perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri kalian itu!”
“Sin-ciang Tai-hiap?” Mereka berempat berseru heran.
“Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!” Sian Li berkata dengan bangga.
Kini teringatlah mereka semua.
“Aih, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan dapat menemukan puteri mereka yang hilang sudah dua puluh tahun itu?”
Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Tuhan, tidak ada mujijat Tuhan, bagaimana dapat menemukannya kembali?
“Ahhh, Kakek tidak percaya? Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang memiliki sesuatu yang mujijat, semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang I Moli, ayah dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi gantinya.”
“Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa hal itu hanya kebetulan saja.” kata Suma Ceng Liong.
“Bukan kebetulan,” bantah Sian Li. “Memang Han-koko mempunyai kelebihan dari orang lain. Dia memang aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tidak mau berlatih silat, membuat ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia hanya mempelajari teorinya saja akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh. Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu-tahu dia menjadi Sin-ciang Tai-hiap. Apakah itu tidak aneh? Tapi, kenapa dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?”
Suma Ceng Liong tertawa.
“Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim undangan?”
“Betul juga....” kata Sian Li. “Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul dan di mana dia sekarang?” pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.
Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar. Memang ada yang menarik di luar pekarangan sana.
Para penduduk yang ikut menonton di luar nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selosin orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat berpakaian seragam abu-abu dan empat orang gadis cantik mengenakan pakaian dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning, serba biru, serba hitam dan serba putih.
Empat orang gadis ini berjalan di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai yang dipikul empat orang laki-laki anggauta pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu. Joli berada di tengah-tengah, seolah-olah dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang gadis itu.
Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang ujungnya dipasangi sehelai bendera. Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan di tengahnya ada huruf BENG (TERANG) dari benang sutera merah yang indah dan gagah. Tanpa ragu, dengan langkah tegap, rombongan itu memasuki pekarangan dan berhenti di depan tangga ruangan depan yang dipenuhi tamu.
Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.
“Hanya ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai (Partai Pembela Terang).”
“Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang,” kata Suma Hui.
“Pao-beng-pai? Partai macam apakah itu?” tanya Suma Ceng Liong kepada cihunya (kakak iparnya), yaitu suami dari encinya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak sekali pengalaman.
“Pao-beng-pai itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang.” kata Kao Cin Liong.
Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggauta pasukan berpakaian abu-abu itu berteriak lantang.
“Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang berkumpul di sini!”
Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong lalu minta kepada suami encinya, yaitu Kao Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang. Karena jelas bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan ketiga keluarga, bukan dengan tuan rumah,
Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ, tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apa orang-orang Pao-beng-pai ini mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapakah di dunia ini begitu gila mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu berkumpul di situ?
Kakek yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para anggauta pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih tertutup. Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.
“Kami sedang berkumpul di sini mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggauta keluarga kami minta agar aku mewakili mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan tiba-tiba dan tanpa diundang ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai.”
Suara kakek itu cukup berwibawa walaupun sikapnya tenang sekali. Bahkan dua belas orang anggauta pasukan yang tadinya nampak keren dan kokoh kuat itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jerih melihat bendera tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanya sebagai pengganggu biasa saja yang tidak dikenal!
Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli dan si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.
“Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silahkan Nona yang mulia keluar untuk bicara dengan dia!”
Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah.
Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?
Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam dan yang berpakaian kuning berkata penuh hormat.
“Silakan, Siocia (Nona Muda)!”
Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dan cantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walaupun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya.
Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah mutiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata.
Matanya yang tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi dada orang. Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hudtim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk.
Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang terbuat daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong dan bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan seperti seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan.
Setelah ia turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping, dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol. Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulu balangnya.
“Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil.” katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
Namun, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?
“Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?”
Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
“Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun sekarang engkau bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?”
Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-bengpai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.
Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih adapun sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es. Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggauta keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggauta keluarga Lembah Naga Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan badan.
Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.
Ada pula belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai murid, datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus untuk keluarga itu. Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu pertemuan yang menggembirakan dan juga luar biasa.
Demikian banyaknya pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Satu demi satu, para anggauta keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang tahunnya, dan banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan berharga.
Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut mereka dengan gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggauta keluarga. Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping, sedangkan para anggauta keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah.
Suasana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling bercakap-cakap satu kepada yang lain dengan suara gembira, apalagi para wanitanya. Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li Sian saling rangkul bahkan sampai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak. Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak pernah saling jumpa.
“Li Sian....!”
“Suci (Kakak Seperguruan) Lian!”
Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoinya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis itu dan mencium kedua pipinya.
“Aih, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!” katanya dengan wajah berseri gembira.
Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian akan menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya telah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa sucinya tidak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.
Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar teriakan-teriakan gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat berhasil.
Sian Li juga bergembira dapat bertemu dan berkenalan dengan para anggauta keluarga yang selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak di situ. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam ia mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.
Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersilahkan gadis yang lincah jenaka dan peramah ini duduk bersama mereka.
“Paman Sim Houw, bagaimana kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?”
Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan itu, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas panjang.
“Sian Li, terima kasih atas perhatianmu. Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat menemukan anak kami.”
“Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!” Sian Li mencela.
Can Bi Lan berkata.
“Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah anak kami itu sudah hilang selama dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun, kami tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati, semoga mendapat tempat yang layak.”
Biarpun ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!
Suma Ceng Liong segera berkata.
“Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk yang lemah dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanyalah berdoa dan menyerahkan kepada kekuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian.”
“Sim-suheng, apa yang dikatakan suamiku memang benar sekali. Justeru karena kalian belum melihat bukti dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu kita akan dapat bertemu dengannya.” kata Kam Bi Eng.
“Nah, benar bukan apa yang kukatakan tadi, Paman dan Bibi!” seru Sian Li, mendapat “angin” dan mendapat kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. “Tidak perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri kalian itu!”
“Sin-ciang Tai-hiap?” Mereka berempat berseru heran.
“Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!” Sian Li berkata dengan bangga.
Kini teringatlah mereka semua.
“Aih, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan dapat menemukan puteri mereka yang hilang sudah dua puluh tahun itu?”
Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Tuhan, tidak ada mujijat Tuhan, bagaimana dapat menemukannya kembali?
“Ahhh, Kakek tidak percaya? Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang memiliki sesuatu yang mujijat, semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang I Moli, ayah dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi gantinya.”
“Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa hal itu hanya kebetulan saja.” kata Suma Ceng Liong.
“Bukan kebetulan,” bantah Sian Li. “Memang Han-koko mempunyai kelebihan dari orang lain. Dia memang aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tidak mau berlatih silat, membuat ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia hanya mempelajari teorinya saja akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh. Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu-tahu dia menjadi Sin-ciang Tai-hiap. Apakah itu tidak aneh? Tapi, kenapa dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?”
Suma Ceng Liong tertawa.
“Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim undangan?”
“Betul juga....” kata Sian Li. “Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul dan di mana dia sekarang?” pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.
Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar. Memang ada yang menarik di luar pekarangan sana.
Para penduduk yang ikut menonton di luar nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selosin orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat berpakaian seragam abu-abu dan empat orang gadis cantik mengenakan pakaian dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning, serba biru, serba hitam dan serba putih.
Empat orang gadis ini berjalan di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai yang dipikul empat orang laki-laki anggauta pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu. Joli berada di tengah-tengah, seolah-olah dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang gadis itu.
Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang ujungnya dipasangi sehelai bendera. Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan di tengahnya ada huruf BENG (TERANG) dari benang sutera merah yang indah dan gagah. Tanpa ragu, dengan langkah tegap, rombongan itu memasuki pekarangan dan berhenti di depan tangga ruangan depan yang dipenuhi tamu.
Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.
“Hanya ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai (Partai Pembela Terang).”
“Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang,” kata Suma Hui.
“Pao-beng-pai? Partai macam apakah itu?” tanya Suma Ceng Liong kepada cihunya (kakak iparnya), yaitu suami dari encinya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak sekali pengalaman.
“Pao-beng-pai itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang.” kata Kao Cin Liong.
Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggauta pasukan berpakaian abu-abu itu berteriak lantang.
“Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang berkumpul di sini!”
Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong lalu minta kepada suami encinya, yaitu Kao Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang. Karena jelas bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan ketiga keluarga, bukan dengan tuan rumah,
Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ, tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apa orang-orang Pao-beng-pai ini mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapakah di dunia ini begitu gila mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu berkumpul di situ?
Kakek yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para anggauta pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih tertutup. Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.
“Kami sedang berkumpul di sini mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggauta keluarga kami minta agar aku mewakili mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan tiba-tiba dan tanpa diundang ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai.”
Suara kakek itu cukup berwibawa walaupun sikapnya tenang sekali. Bahkan dua belas orang anggauta pasukan yang tadinya nampak keren dan kokoh kuat itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jerih melihat bendera tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanya sebagai pengganggu biasa saja yang tidak dikenal!
Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli dan si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.
“Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silahkan Nona yang mulia keluar untuk bicara dengan dia!”
Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah.
Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?
Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam dan yang berpakaian kuning berkata penuh hormat.
“Silakan, Siocia (Nona Muda)!”
Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dan cantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walaupun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya.
Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah mutiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata.
Matanya yang tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi dada orang. Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hudtim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk.
Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang terbuat daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong dan bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan seperti seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan.
Setelah ia turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping, dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol. Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulu balangnya.
“Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil.” katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
Namun, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?
“Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?”
Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
“Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun sekarang engkau bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?”
Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-bengpai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.