“Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!”
Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engkau bertingkah dan banyak lagak.”
Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai.
“Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!”
Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!
“Mari kita lanjutkan perjalanan.” akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin Hong menjalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal.
Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta, membiarkan isteri dan puterinya mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.
Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.
Sian Li mengepal tinju.
“Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!”
“Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan.” kata ayahnya. Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa.
Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hekbin-gu dan kawan-kawannya.
“Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!” Hekbin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang segera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.
“Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!” kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka.
“Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?” bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hekbin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar dipercaya. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluh tahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya.
“Biarkan aku yang menghadapi mereka!”
Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engkau bertingkah dan banyak lagak.”
Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai.
“Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!”
Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!
“Mari kita lanjutkan perjalanan.” akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin Hong menjalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal.
Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta, membiarkan isteri dan puterinya mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.
Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.
Sian Li mengepal tinju.
“Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!”
“Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan.” kata ayahnya. Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa.
Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hekbin-gu dan kawan-kawannya.
“Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!” Hekbin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang segera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.
“Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!” kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka.
“Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?” bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hekbin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar dipercaya. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluh tahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya.
“Biarkan aku yang menghadapi mereka!”
“Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu.”
Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat isterinya.
“Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!”
Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya,
“Engkau.... engkau.... Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih)....?”
Sin Hong tersenyum.
“Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih.”
“Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!” kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.
Sin Hong memandang puterinya.
“Mereka ini adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?”
Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya.
“Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!”
Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.
“Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!”
Setelah berkata demikian, si kumis itu bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan.
Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin mereka.
Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak.
“Hentikan pukulan!”
Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren.
“Kalian bertiga menghajar anak buah kalian karena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka.”
“Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!” kata Sian Li. “Biar kuhajar mereka bertiga!”
“Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan menghajar mereka agar bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-hengte, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggung jawab daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!”
“Kami.... kami tidak berani!” kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat.
Tidaklah begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih. Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang.
Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siang-koan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini.
Pendiri Tiat-liong-pang itu bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana mereka akan berani melawan Si Bangau Putih?
“Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!” kata Kao Hong Li.
“Tidak, Ibu. Biar aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian.”
“Kami.... kami tidak berani....” Mereka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
“Berani atau tidak kalian harus maju, atau.... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan anak buah kalian!” kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka sudah tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri. Tinggal isteri dan puteri pendekar itu. Bagaimanapun juga, tentu isterinya lebih pandai daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka. Kiranya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu mereka masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.
“Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona.” kata si kumis.
Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang membuat mereka berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga belas orang anak buahnya.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Kini ia mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun. Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini. Ayahnya sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya ia seoranglah yang mempelajarinya.
Kepada tiga laki-laki ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah mereka tadi, karena tiga orang kakek ini selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.
“Kalian mulailah, aku sudah siap-siaga.” katanya dan ia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepala menghadap ke depan dengan leher dijulurkan.
Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri, nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata itu tidak pernah melewatkan sesuatu dan dalam keadaan seperti itu, kalau ada ikan lewat dan menyangka kakinya yang kanan itu hanya sepotong kayu maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!
Karena Sian Li seorang gadis yang berwajah cantik dan jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum, sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu seperti mata bangau mengintai gerakan tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.
Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka lalu berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri.
Kemudian, setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mereka, tubuh mereka bergerak cepat dan mereka sudah melancarkan serangan yang cukup dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!
Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan tangkisan lengannya.
“Duk-dukkk!”
Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li, dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat!
Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, sudah berloncatan dan menyerang lagi dari kanan kiri, sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang.
Sian Li bersikap tenang akan tetapi dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan gadis berpakaian merah itu.
Warna pakaian gadis itu yang serba merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, akan tetapi juga membuat tiga orang lawannya bingung, akan tetapi juga setiap kali tangan gadis itu menangkis, mereka merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.
Sekali ini Sian Li yang hendak menguji ilmunya yang baru saja ia kuasai dengan baik, tidak main-main lagi dan dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, ia melayani penyerangan tiga orang itu. Begitu ia mengubah daya tahan menjadi daya serang, maka berturut-turut ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus ia menyerang dan tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.
Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar sakti, dan mereka gentar menghadapinya. Akan tetapi baru sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang yang amat tangguh.
“Kami mengaku kalah....” kata mereka dan mereka bangkit sambil menyeringai kesakitan.
“Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan suka mengganggu pejalan yang lewat di sini. Untung kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian semua kini sudah tak bernyawa lagi.” kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas melihat kemajuan puterinya.
Tiat-liong Sam-heng-te memberi hormat dan si kumis berkata,
“Taihiap, kami tidak pernah mengganggu pelancong atau pedagang, tidak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu yang lewat di sini.”
“Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu,” kata Sin Hong.
“Pula, pekerjaan merampok merupakan kejahatan, tidak peduli siapapun yang kalian rampok. Lebih baik kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain.”
“Akan tetapi, Taihiap.... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan....”
“Tidak perlu berlagak patriot dan pejuang!” Sin Hong membentak. “Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk menyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati tidak akan berbuat jahat!”
Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi.
“Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang seperti ini? Mari kita melanjutkan perjalanan.” kata Kao Hong Li kepada suaminya.
Mereka naik kembali ke dalam kereta dan kendaraan itu pun bergerak cepat meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biarpun mereka babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mereka tersebar berita tentang kehebatan Si Bangau Merah.
Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat isterinya.
“Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!”
Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya,
“Engkau.... engkau.... Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih)....?”
Sin Hong tersenyum.
“Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih.”
“Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!” kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.
Sin Hong memandang puterinya.
“Mereka ini adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?”
Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya.
“Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!”
Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.
“Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!”
Setelah berkata demikian, si kumis itu bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan.
Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin mereka.
Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak.
“Hentikan pukulan!”
Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren.
“Kalian bertiga menghajar anak buah kalian karena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka.”
“Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!” kata Sian Li. “Biar kuhajar mereka bertiga!”
“Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan menghajar mereka agar bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-hengte, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggung jawab daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!”
“Kami.... kami tidak berani!” kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat.
Tidaklah begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih. Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang.
Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siang-koan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini.
Pendiri Tiat-liong-pang itu bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana mereka akan berani melawan Si Bangau Putih?
“Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!” kata Kao Hong Li.
“Tidak, Ibu. Biar aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian.”
“Kami.... kami tidak berani....” Mereka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.
“Berani atau tidak kalian harus maju, atau.... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan anak buah kalian!” kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka sudah tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri. Tinggal isteri dan puteri pendekar itu. Bagaimanapun juga, tentu isterinya lebih pandai daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka. Kiranya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu mereka masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.
“Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona.” kata si kumis.
Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang membuat mereka berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga belas orang anak buahnya.
Melihat betapa tiga orang calon lawan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Kini ia mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun. Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini. Ayahnya sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya ia seoranglah yang mempelajarinya.
Kepada tiga laki-laki ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah mereka tadi, karena tiga orang kakek ini selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.
“Kalian mulailah, aku sudah siap-siaga.” katanya dan ia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepala menghadap ke depan dengan leher dijulurkan.
Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri, nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata itu tidak pernah melewatkan sesuatu dan dalam keadaan seperti itu, kalau ada ikan lewat dan menyangka kakinya yang kanan itu hanya sepotong kayu maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!
Karena Sian Li seorang gadis yang berwajah cantik dan jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum, sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu seperti mata bangau mengintai gerakan tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.
Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka lalu berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri.
Kemudian, setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mereka, tubuh mereka bergerak cepat dan mereka sudah melancarkan serangan yang cukup dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!
Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan tangkisan lengannya.
“Duk-dukkk!”
Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li, dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat!
Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, sudah berloncatan dan menyerang lagi dari kanan kiri, sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang.
Sian Li bersikap tenang akan tetapi dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan gadis berpakaian merah itu.
Warna pakaian gadis itu yang serba merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, akan tetapi juga membuat tiga orang lawannya bingung, akan tetapi juga setiap kali tangan gadis itu menangkis, mereka merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.
Sekali ini Sian Li yang hendak menguji ilmunya yang baru saja ia kuasai dengan baik, tidak main-main lagi dan dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, ia melayani penyerangan tiga orang itu. Begitu ia mengubah daya tahan menjadi daya serang, maka berturut-turut ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus ia menyerang dan tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.
Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar sakti, dan mereka gentar menghadapinya. Akan tetapi baru sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang yang amat tangguh.
“Kami mengaku kalah....” kata mereka dan mereka bangkit sambil menyeringai kesakitan.
“Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan suka mengganggu pejalan yang lewat di sini. Untung kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian semua kini sudah tak bernyawa lagi.” kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas melihat kemajuan puterinya.
Tiat-liong Sam-heng-te memberi hormat dan si kumis berkata,
“Taihiap, kami tidak pernah mengganggu pelancong atau pedagang, tidak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu yang lewat di sini.”
“Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu,” kata Sin Hong.
“Pula, pekerjaan merampok merupakan kejahatan, tidak peduli siapapun yang kalian rampok. Lebih baik kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain.”
“Akan tetapi, Taihiap.... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan....”
“Tidak perlu berlagak patriot dan pejuang!” Sin Hong membentak. “Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk menyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati tidak akan berbuat jahat!”
Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi.
“Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang seperti ini? Mari kita melanjutkan perjalanan.” kata Kao Hong Li kepada suaminya.
Mereka naik kembali ke dalam kereta dan kendaraan itu pun bergerak cepat meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biarpun mereka babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mereka tersebar berita tentang kehebatan Si Bangau Merah.
**** 003 ****