Ads

Jumat, 18 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 008

Ang I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tidak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu amat mengganggunya, bahkan api gairah berahi yang tadi membakar dirinya, perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.

“Engkau.... engkau tidak mau melayani hasratku.?” Ang I Moli bertanya, suaranya terengah-engah.

Yo Han tidak menjawab, dalam keadaan tubuhnya telentang dan pakaiannya awut-awutan, dia menggeleng dengan tegas.

“Biarpun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”

“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.

“Plak! Plak!”

Dua kali Ang I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

“Hemm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, kalau engkau tetap menolak, aku dapat memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”

“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela.”

“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”

“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”

“Tutup mulutmu!”

Tangan Ang I Moli bergerak, jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang dan tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.

“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya....”

“Tukkk!”

Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

“Hi-hik, bocah cerewet!”

Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali. Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah seperti mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.

“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuhnya mengering tanpa darah. Heh-heh-heh!”

Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini. Kalau saja Yo Han mau menuruti kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.

Kini, terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang, dan ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin hanya dua tiga hari anak itu akan bertahan.

Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai ia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!

Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar. Moli lalu menambahkan kayu dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk di dekat api unggun ketika memilih isi bungkusan. Sisa obat itu ia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.

Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat. Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu telah diatur oleh kekuasaan Tuhan!

Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.






Rasa takut adalah perkembangan dari si aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut kalau kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati. Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik.

Rasa takut timbul kalau si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan sang pikiran yang menimbulkan rasa takut.

Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tidak mengenal rasa takut karena dia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan maupun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan menjaganya.

Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, kemudian mengambil guci dan hendak menuangkan isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.

“Hah-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak engkau sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”

Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!

Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam “gendongan” kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran maupun yang tidak terjangkau. Kalau sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apalagi yang dapat menimbulkan rasa takut?

“Heh-heh-heh-heh!”

Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.

“Hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak, bukan?

Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau akan menjadi seekor kuda jantan dalam berahi! Hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau akan tak pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan hasrat kejantananmu itu terus-menerus sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu, sampai habis, hi-hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hik!”

Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya seperti iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.

“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.

Tentu saja Yo Han tidak mau membuka mulutnya. Dia memang masih dapat menggerakkan mulut karena yang tidak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.

“Buka mulutmu kataku!”

Kini Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.

“Anak bandel!”

Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.

Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air di cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

“Hi-hi-hik, racun itu telah memasuki perutmu, Yo Han. Engkau akan tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi kalau engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang....” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali.

Dia menggerak-gerakkan kaki tangannva yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, kemudian bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.

“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingat, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat buruk bagi dirimu sendiri.”

Yo Han menghentikan ucapannya karena. tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.

Ang I Moli terkekeh genit.
“Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Dan engkau sudah mulai mengantuk. Tidurlah sayang, tidurlah!”

Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.

Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tak lama kemudian api unggun padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.

Karena kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya itu, sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu. Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning.

Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walaupun ringan dan cekatan. Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil dan tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya.

Ia mengayun kayu itu dan bata itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Ia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.

Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab. Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang.

Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.

Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tidak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, dan ia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila.

Biarpun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ, hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.

Entah apa yang menyebabkan nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum. Wanita itu duduk bersila dan memejamkan mata setelah mulutnya mengomel lirih.

“Omitohud.... tega benar menodai tempat suci ini, sungguhpun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud.”

Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam samadhi yang mendalam. Siapakah wanita ini? Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua.

Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat, rambut itu digelung secara aneh, tidak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walaupun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia.

Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa. Di antara kedua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.

Kalau ada orang Bhutan melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat kepadanya. Hiasan rambutnya berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu sebetulnya menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.

Memang sesungguhnyalah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, dan ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio. Gangga Dewi dilahirkan di Bhutan. Ia dilahirkan setelah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya. Ia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu.

Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil ia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai ia dewasa kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.

Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, ketika dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena sakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia. Seperti orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan.

Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis) berjuluk Tiong Khi Hwesio. Kemudian dia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia dia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup berbahagia dengan suaminya, seorang Bhutan asli.

Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir dan meninggal di sana bersama saudaranya seayah, berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca dalam cerita SI BANGAU PUTIH .

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi masih hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja.

Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadi perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan tetangganya yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan dan berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.

Biarpun di waktu masih hidup, suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, namun ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam.

Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak dapat menghibur hatinya. Setelah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biarpun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah yang sunyi penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya.

Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, pernah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang. Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita ia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita maupun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu, Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tidak mengira akan melihat pemandangan yang membuat ia merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walaupun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran.

Bagaimanapun juga, manusia terikat oleh hukum adat umum, sopan santun dan tata-susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun.

Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biarpun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Islam, Buddhis dan lain-lainnya, namun diantara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian. Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Kalau pun ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimanapun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong.

Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa. Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap telah memudar dan cuaca menjadi remang-remang, ketika burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan. Ang I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, lalu bangkit duduk, memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku.”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Seperti orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri, mukanya berubah merah sekali, matanya terbelalak dan cepat kedua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa.... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apalagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau.... kau.... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih.

Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.
“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Mari kita menikmati hidup ini.”

Kembali wanita itu meraih dan kini, biarpun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu. Yo Han meronta, namun apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu?

“Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Biar kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!”

Sebuah tamparan mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi. Ang I Moli menyeringai. Gairah berahinya menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau sudah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemmm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis sehari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan dan sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dulu mampus kehabisan darah!”.

Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimanapun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, melainkan ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt....!”

Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud.... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”

Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan kaget Ang I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir, dan matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?”

Ang I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi. Ia sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Sejak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur seperti tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.

Yo Han seorang anak yang cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu. lalu melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.