Walaupun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu! Bahkan dia sempat berteriak.
“Sute, bantu....!”
Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan dua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.
Ilmu ini adalah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.
Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil,
“Ibuuu....! Ayaahhh....!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.
“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”
Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu!
Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.
Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah kemana perginya.
“Uhhh....!”
Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.
“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”
“Berhenti, atau kubunuh anakmu!”
Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.
Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan.
Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.
“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.
“Ibuuu....!”
“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?”
Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
“Ibu....!”
Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku.... berhasil menghajar penculik tadi....tapi yang lain....membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana....ayahmu....?” Wanita itu terkulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.
Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya.
Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.
“Sute, bantu....!”
Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan dua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.
Ilmu ini adalah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.
Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil,
“Ibuuu....! Ayaahhh....!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.
“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”
Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu!
Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.
Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah kemana perginya.
“Uhhh....!”
Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.
“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”
“Berhenti, atau kubunuh anakmu!”
Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.
Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan.
Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.
“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.
“Ibuuu....!”
“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?”
Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
“Ibu....!”
Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku.... berhasil menghajar penculik tadi....tapi yang lain....membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana....ayahmu....?” Wanita itu terkulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.
Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya.
Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.
Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.
“Kalian cepat undang tabib yang pandai di kota ini”, kata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.
Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.
Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alisnya melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, napasnya empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!
Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Ia terlampau gagah untuk menangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata,
“Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”
Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.
“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”
Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya,
“Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”
“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”
Kao Hong Li menggeleng kepalanya.
“Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”
“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”
Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya.
“Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!”
“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan itu”.
Ibunya menghibur dan satelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.
Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya.
“Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”
Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong dan yang lain pergi ke Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun.
Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.
Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.
Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.
“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”
Tan Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita sudah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau sekarang Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”
“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah, kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”
Akan tetapi isterinya menggeleng kepala.
“Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang!”
Sin Hong mengangguk-angguk.
“Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.
“Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanyanya sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
“Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah di luar.”
Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut.
“Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!”
Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Biarpun usaha ini belum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.
“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah. Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”
“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.
Memang sukar dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”
Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi.
Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, dan ia pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.
Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.
Sian Li tidak mempedulikan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang.
Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.
Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.
“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”
Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walaupun nampaknya bersih.
Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi.
Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggung, tangan kanan memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?”
Tiba-tiba kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.
“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”
“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha, anak baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”
Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun, bagaimana engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”
Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi telah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.
“Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”
Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya.
“Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!”
Dan ia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempa-rempa itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.
Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan.
“Anak baik, lebih dulu beritahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”
“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!”
Anak itu menariknya masuk dan Sian Li berteriak-teriak,
“Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”
Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”
Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi.
“Siancai.... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang amat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”
Sin Hong dan isterinya saling pandang lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu.
“Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”
“Ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang amat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan mantu bekas panglima itu?”
“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”
“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah, Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”
Kembali suami isteri itu saling pandang. Biarpun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walaupun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?
“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan tersenyum.
“Nyonya muda sungguh berpemandangan luas!”
“Aih, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.
“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”
“Kalian cepat undang tabib yang pandai di kota ini”, kata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.
Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.
Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alisnya melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, napasnya empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!
Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Ia terlampau gagah untuk menangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata,
“Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”
Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.
“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”
Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya,
“Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”
“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”
Kao Hong Li menggeleng kepalanya.
“Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”
“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”
Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya.
“Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!”
“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan itu”.
Ibunya menghibur dan satelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.
Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya.
“Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”
Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong dan yang lain pergi ke Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun.
Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.
Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.
Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.
“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”
Tan Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita sudah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau sekarang Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”
“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah, kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”
Akan tetapi isterinya menggeleng kepala.
“Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang!”
Sin Hong mengangguk-angguk.
“Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.
“Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanyanya sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
“Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah di luar.”
Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut.
“Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!”
Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Biarpun usaha ini belum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.
“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah. Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”
“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.
Memang sukar dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”
Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi.
Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, dan ia pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.
Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.
Sian Li tidak mempedulikan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang.
Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.
Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.
“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”
Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walaupun nampaknya bersih.
Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi.
Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggung, tangan kanan memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?”
Tiba-tiba kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.
“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”
“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha, anak baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”
Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun, bagaimana engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”
Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi telah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.
“Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”
Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya.
“Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!”
Dan ia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempa-rempa itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.
Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan.
“Anak baik, lebih dulu beritahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”
“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!”
Anak itu menariknya masuk dan Sian Li berteriak-teriak,
“Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”
Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”
Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi.
“Siancai.... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang amat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”
Sin Hong dan isterinya saling pandang lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu.
“Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”
“Ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang amat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan mantu bekas panglima itu?”
“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”
“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah, Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”
Kembali suami isteri itu saling pandang. Biarpun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walaupun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?
“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan tersenyum.
“Nyonya muda sungguh berpemandangan luas!”
“Aih, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.
“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”