Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal. Dia bijaksana dan pandai walaupun seperti sebagian besar para kaisar dan tokoh-tokoh besar dunia, dia memiliki pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita.
Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapatkan banyak kemajuan sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya sebagai laki-laki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.
Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang pandai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh-tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagainya.
Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pangeran Mahkota, Pangeran Kian Tong hanya puteri selir. Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini berkunjung kepada Puteri Can Kim, kakaknya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.
Semenjak bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila. Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya, namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mahkota itu. Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam (laki-laki kebiri) bernama Siauw Hok Cu.
“Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beritahukan kepada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Paduka.” kata thaikam itu.
Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada pelayannya yang setia dan menghela napas panjang.
“Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita.....”
Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan.
“Sungguh lucu ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, dan hamba akan segera menjemputnya dan mengajaknya ke sini.”
Akan tetapi pangeran itu tidak bergembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi.
“Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduanku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh....!”
“Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!” kata Siauw Hok Cu penuh semangat.
“Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena engkau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini.”
“Katakanlah siapa wanita itu, Pangeran. Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!” kata pula thaikam itu dengan penasaran.
“Benarkah?” Kini dalam mata pangeran itu bernyala sebuah harapan baru. “Nah, dengarlah. Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu.”
“Nyonya Fu....?” tanya thaikam itu, tidak mengerti.
“Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!”
“Ya Tuhan....!” Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. “Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!”
Pangeran Kian Liong tersenyum pahit.
“Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?”
Thaikam itu cepat mengangguk-anggukkan kepalanya sampai dahinya membentur lantai.
“Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!”
Tentu saja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biarpun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.
Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.
“Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka,” katanya.
Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali.
“Terima kasih,” katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya.
“Aihh, betapa panas hawanya,” ia mengeluh.
Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapatkan banyak kemajuan sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya sebagai laki-laki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.
Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang pandai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh-tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagainya.
Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pangeran Mahkota, Pangeran Kian Tong hanya puteri selir. Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini berkunjung kepada Puteri Can Kim, kakaknya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.
Semenjak bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila. Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya, namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mahkota itu. Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam (laki-laki kebiri) bernama Siauw Hok Cu.
“Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beritahukan kepada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Paduka.” kata thaikam itu.
Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada pelayannya yang setia dan menghela napas panjang.
“Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita.....”
Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan.
“Sungguh lucu ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, dan hamba akan segera menjemputnya dan mengajaknya ke sini.”
Akan tetapi pangeran itu tidak bergembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi.
“Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduanku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh....!”
“Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!” kata Siauw Hok Cu penuh semangat.
“Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena engkau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini.”
“Katakanlah siapa wanita itu, Pangeran. Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!” kata pula thaikam itu dengan penasaran.
“Benarkah?” Kini dalam mata pangeran itu bernyala sebuah harapan baru. “Nah, dengarlah. Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu.”
“Nyonya Fu....?” tanya thaikam itu, tidak mengerti.
“Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!”
“Ya Tuhan....!” Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. “Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!”
Pangeran Kian Liong tersenyum pahit.
“Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?”
Thaikam itu cepat mengangguk-anggukkan kepalanya sampai dahinya membentur lantai.
“Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!”
Tentu saja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biarpun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.
Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.
“Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka,” katanya.
Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali.
“Terima kasih,” katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya.
“Aihh, betapa panas hawanya,” ia mengeluh.
“Sang puteri tadi memerintahkan hamba untuk mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di taman, di sana lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke sini.”
“Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!” kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira.
Memang pondok merah di taman merupakan bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.
Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas. Ia merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, mengagumi kecantikan diri sendiri.
Dengan pakaian kimono sutera yang diberikan dayang kepadanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnya di cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkannya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu. Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya.
Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihannya. Suaminya itu ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Ia merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodohkan ia dengan seorang laki-laki seperti itu dan merasa menyesal mengapa sebelumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.
Malam pertama merupakan pengalaman yang membuat ia menggigil ngeri kalau mengenangnya kembali. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi tegang, mata itu terbelalak memandang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Kemudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangannya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis.
Makin dirapatkan kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya. Fu Heng memutar tubuh di atas bangkunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang dengan kedua mata terpesona.
“Pangeran.... mohon Paduka pergi.... pergilah atau saya akan menjerit....” katanya gagap.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah
kaki, mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri.
“Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!”
Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar, merupakan orang kedua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!
“Harap.... Paduka.... jangan lakukan itu....” katanya berbisik.
Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri.
“Jadi engkau mau....?”
Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat ia nampak semakin cantik. Biarpun mukanya menunduk, masih nampak ia menahan senyum tersipu dan kepalanya mengangguk perlahan.
Pangeran Kian Liong menahan dirinya agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.
Semua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu. Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap. Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.
“Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini? Kalau Pangeran Kian Tong mengetahui...., hamba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini.!”
Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata.
“Ah, harap jangan beritahukan siapapun.”
Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.
Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pembantunya melanjutkan siasatnya.
“Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberitahu kepada siapapun juga, tetapi hanya dengan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu.”
Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil.
“Apa.... syaratnya....?”
“Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil, Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?” kata Siauw Hok Cu.
Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nampak lega dan ia pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar.
“Aku berjanji!”
Setelah Kian Liong pergi meninggalkan pondok, barulah para dayang bermunculan. Akan tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.
Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau ancaman itu. Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.
Demikianlah, hubungan gelap itu berkelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya. Di rumahnya, Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.
Hubungan gelap itu membuahkan kandungan dan nyonya muda Fu Heng melahirkan seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari Pangeran Kian Tong. Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.
Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan melahirkan anak. Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar.
Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah menjadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kaisar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat Cia Yan sebagai puteranya.
Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari putera seorang pangeran menjadi putera kaisar!
Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun. Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.
Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang asli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak mengherankan kalau dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya.
Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat tingkat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.
Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa upacara. Jiwa petualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat. Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.
“Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana? Kurang apakah di sini? Semua ada, segala keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Kenapa hendak merantau dan bersusah payah?” kata ibunya.
Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya.
“Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. Aku ingin merasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman.”
“Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak.” kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan perlindungannya.
“Aku dapat menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu.”
“Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan,” kata ayahnya.
“Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kau ketahui, yaitu bahwa engkau tidak boleh mengikatkan diri dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!”
“Apa? Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?”
Isteri Pangeran Cia Yan berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak menjadi sinting!
Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.
“Jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau? Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih.”
“Ihhh! Kenapa serba bangau? Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita dengan gadis dari keluarga itu? Jangan-jangan mukanya seperti bangau.”
Kembali ayah dan anak itu tertawa.
“Ibu jangan khawatir, aku sudah mendengar akan nama besar Pendekar Bangau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik jelita.” Lalu dia berkata kepada ayahnya.
“Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah. Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan, bagaimana begitu saja kami dapat dijodohkan? Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau dijodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa cocok dengan gadis itu.”
Ayahnya tersenyum.
“Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik. Karena itulah maka pernah aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan dengan anakku. Dia tidak menolak, dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi. Akan tetapi, akan bahagialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tan-taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau tidak terikat oleh gadis lain.”
“Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi untuk menentukan jodoh, aku harus memilih-milih dan tidak mau sembarangan saja.”
Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggalan sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian.
Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah. Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga bahwa dia adalah seorang pangeran, cucu kaisar!
Dia kelihatan sebagai seorang pemuda sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut. Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya. Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas. Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias senyum.
Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang keluarga “bangau” itu? Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah barat kota raja.
Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orang-orang sakti yang berada di istana Gurun Pasir.
Mendiang tiga orang gurunya, yaitu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong telah menguasai ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu mengalahkan ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)!
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan cekatan seperti seorang gadis saja. Wajahnya bulat telur dan matanya lebar. Kao Hong Li ini merupakan keturunan asli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es bernama Suma Hui. Dapat dibayangkan betapa lihainya wanita ini.
Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, maka diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li.
Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan, matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak mengejek, dihias lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali.
Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya mendalam dan cerdik seperti ayahnya. Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukan main. Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia pernah digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya, selama lima tahun.
Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu pengobatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya. Wajah cantik, ilmu kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi?
Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Kita dapat menyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekalipun pasti tidak dapat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja kekurangannya yang membuat seorang manusia kecewa dan tidak puas dengan keadaan dirinya.
Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya. Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan kepandaiannya. Orang biasa mengira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukkannya.
Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi angkuh dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah.
Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjangkau yang tidak ada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan.
Demikianlah terus-menerus. Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu dikejar-kejar dan selalu berpindah ke sesuatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di seberang sana, bukan di masa depan, melainkan di saat ini!
Demikian pula dengan Sian Li. Gadis jelita ini, walau setiap hari nampak lincah gembira dan rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah berada di kamarnya di malam hari, ia seringkali duduk termenung di atas pembaringannya. Bahkan kadang ia hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hatinya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han.
Dia dapat dibilang suhengnya sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau melatih diri dengan ilmu silat. Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.
“Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!” kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira.
Memang pondok merah di taman merupakan bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.
Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas. Ia merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, mengagumi kecantikan diri sendiri.
Dengan pakaian kimono sutera yang diberikan dayang kepadanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnya di cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkannya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu. Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya.
Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihannya. Suaminya itu ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Ia merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodohkan ia dengan seorang laki-laki seperti itu dan merasa menyesal mengapa sebelumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.
Malam pertama merupakan pengalaman yang membuat ia menggigil ngeri kalau mengenangnya kembali. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi tegang, mata itu terbelalak memandang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Kemudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangannya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis.
Makin dirapatkan kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya. Fu Heng memutar tubuh di atas bangkunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang dengan kedua mata terpesona.
“Pangeran.... mohon Paduka pergi.... pergilah atau saya akan menjerit....” katanya gagap.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah
kaki, mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri.
“Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!”
Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar, merupakan orang kedua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!
“Harap.... Paduka.... jangan lakukan itu....” katanya berbisik.
Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri.
“Jadi engkau mau....?”
Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat ia nampak semakin cantik. Biarpun mukanya menunduk, masih nampak ia menahan senyum tersipu dan kepalanya mengangguk perlahan.
Pangeran Kian Liong menahan dirinya agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.
Semua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu. Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap. Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.
“Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini? Kalau Pangeran Kian Tong mengetahui...., hamba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini.!”
Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata.
“Ah, harap jangan beritahukan siapapun.”
Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.
Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pembantunya melanjutkan siasatnya.
“Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberitahu kepada siapapun juga, tetapi hanya dengan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu.”
Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil.
“Apa.... syaratnya....?”
“Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil, Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?” kata Siauw Hok Cu.
Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nampak lega dan ia pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar.
“Aku berjanji!”
Setelah Kian Liong pergi meninggalkan pondok, barulah para dayang bermunculan. Akan tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.
Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau ancaman itu. Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.
Demikianlah, hubungan gelap itu berkelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya. Di rumahnya, Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.
Hubungan gelap itu membuahkan kandungan dan nyonya muda Fu Heng melahirkan seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari Pangeran Kian Tong. Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.
Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan melahirkan anak. Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar.
Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah menjadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kaisar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat Cia Yan sebagai puteranya.
Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari putera seorang pangeran menjadi putera kaisar!
Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun. Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.
Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang asli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak mengherankan kalau dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya.
Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat tingkat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.
Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa upacara. Jiwa petualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat. Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.
“Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana? Kurang apakah di sini? Semua ada, segala keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Kenapa hendak merantau dan bersusah payah?” kata ibunya.
Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya.
“Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. Aku ingin merasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman.”
“Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak.” kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan perlindungannya.
“Aku dapat menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu.”
“Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan,” kata ayahnya.
“Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kau ketahui, yaitu bahwa engkau tidak boleh mengikatkan diri dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!”
“Apa? Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?”
Isteri Pangeran Cia Yan berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak menjadi sinting!
Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.
“Jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau? Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih.”
“Ihhh! Kenapa serba bangau? Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita dengan gadis dari keluarga itu? Jangan-jangan mukanya seperti bangau.”
Kembali ayah dan anak itu tertawa.
“Ibu jangan khawatir, aku sudah mendengar akan nama besar Pendekar Bangau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik jelita.” Lalu dia berkata kepada ayahnya.
“Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah. Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan, bagaimana begitu saja kami dapat dijodohkan? Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau dijodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa cocok dengan gadis itu.”
Ayahnya tersenyum.
“Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik. Karena itulah maka pernah aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan dengan anakku. Dia tidak menolak, dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi. Akan tetapi, akan bahagialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tan-taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau tidak terikat oleh gadis lain.”
“Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi untuk menentukan jodoh, aku harus memilih-milih dan tidak mau sembarangan saja.”
Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggalan sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian.
Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah. Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga bahwa dia adalah seorang pangeran, cucu kaisar!
Dia kelihatan sebagai seorang pemuda sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut. Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya. Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas. Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias senyum.
Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang keluarga “bangau” itu? Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah barat kota raja.
Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orang-orang sakti yang berada di istana Gurun Pasir.
Mendiang tiga orang gurunya, yaitu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong telah menguasai ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu mengalahkan ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)!
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan cekatan seperti seorang gadis saja. Wajahnya bulat telur dan matanya lebar. Kao Hong Li ini merupakan keturunan asli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es bernama Suma Hui. Dapat dibayangkan betapa lihainya wanita ini.
Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, maka diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li.
Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan, matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak mengejek, dihias lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali.
Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya mendalam dan cerdik seperti ayahnya. Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukan main. Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia pernah digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya, selama lima tahun.
Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu pengobatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya. Wajah cantik, ilmu kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi?
Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Kita dapat menyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekalipun pasti tidak dapat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja kekurangannya yang membuat seorang manusia kecewa dan tidak puas dengan keadaan dirinya.
Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya. Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan kepandaiannya. Orang biasa mengira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukkannya.
Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi angkuh dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah.
Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjangkau yang tidak ada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan.
Demikianlah terus-menerus. Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu dikejar-kejar dan selalu berpindah ke sesuatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di seberang sana, bukan di masa depan, melainkan di saat ini!
Demikian pula dengan Sian Li. Gadis jelita ini, walau setiap hari nampak lincah gembira dan rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah berada di kamarnya di malam hari, ia seringkali duduk termenung di atas pembaringannya. Bahkan kadang ia hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hatinya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han.
Dia dapat dibilang suhengnya sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau melatih diri dengan ilmu silat. Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.