Ilmu yang amat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh.
Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya.
“Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!”
Gadis itu mendengus.
“Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!”
Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
“Heiii, tunggu kau iblis betina!” Sian Li hendak mengejar.
“Sian Li, tahan.!”
Sin Hong berseru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya.
Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.
“Bibi Suma Lian, engkau keracunan.!” katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.
“Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!” kata Suma Ceng Liong.
“Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!” kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.
“Jangan!” cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
“Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi.” kata Sian Li setelah ia memegang nadi tangan Suma Lian. “Mari kita ke kamar, Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku.” katanya kepada ibunya, Kao Hong Li.
Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sin-kang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih.
“Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi.”
Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.
Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.
“Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap.”
Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
“Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li.” katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.
Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya.
“Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!”
Gadis itu mendengus.
“Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!”
Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
“Heiii, tunggu kau iblis betina!” Sian Li hendak mengejar.
“Sian Li, tahan.!”
Sin Hong berseru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya.
Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.
“Bibi Suma Lian, engkau keracunan.!” katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.
“Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!” kata Suma Ceng Liong.
“Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!” kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.
“Jangan!” cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
“Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi.” kata Sian Li setelah ia memegang nadi tangan Suma Lian. “Mari kita ke kamar, Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku.” katanya kepada ibunya, Kao Hong Li.
Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sin-kang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih.
“Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi.”
Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.
Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.
“Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap.”
Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
“Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li.” katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.
“Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi.” kata Sian Li.
Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.
Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.
Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka. Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia berkata.
“Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu.”
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan dugaannya.
“Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati.”
“Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?” tanya Suma Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati mereka.
“Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Kalau sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng.” Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.
“Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!” Gak Ciang Hun berseru penasaran.
“Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, walaupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikata keturunan ibu Mancu. Kenyataan ini agaknya yang membuat keluarga Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai.”
Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu!
“Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir,” kata pula Kao Cin Liong melanjutkan.
“Memang keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal yang membuat aku sampai kini merasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita.”
“Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk di akal,” kini Cu Kun Tek berkata.
Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang, setelah dia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia bersikap tenang.
“Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?”
Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata.
“Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain itu, para anggauta keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai.”
“Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Peklian-kauw dan lain-lain!” kata Kao Hong Li.
Ayahnya menghela napas panjang.
“Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua.”
Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa mengambil tindakan.
“Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,” kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. “Bagaimanapun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri.”
Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya.
“Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk menantang kita selagi semua anggauta keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar.”
“Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita.” kata Kam Hui Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggauta tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu, menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya!
Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ketiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apalagi membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka.
Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-bengpai itu maka ia berani menantang sedemikian nekatnya. Sampai jauh malam baru para anggauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang melihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong menghiburnya.
“Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri.”
“Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya.” Isterinya membantah.
Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong.
“Lihat Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apalagi mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi.”
Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan.
Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.
“Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati.” demikian ia mengakhiri suratnya.
“Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!” seru Can Bi Lan. “Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi kemana ia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tak pernah berhasil!”
“Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!” kata Kao Hong Li.
“Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?”
Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa.
“Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan.”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata.
“Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik.” Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.
Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun.
“Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat.
“Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun.”
Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
“Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!”
Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak murid keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata.
“Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun.”
“Pangeran....?” Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. “Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?”
Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!
Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya.
“Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu.”
“Tapi.... tapi kenapa seorang pangeran....?”
Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar! Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya.
“Kalau seorang pangeran kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li.”
Kao Cin Liong menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.
Semantara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apapun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.
Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggauta keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.
Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.
Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.
“Kita harus mengambil seorang murid lagi!” tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.
“Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun.” Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
“Kita harus mencari,” kata suaminya. “Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas.”
“Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu-ilmu kita.”
“Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat.”
Pendekar itu menarik napas panjang. Isterinya tersenyum.
“Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?”
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
“Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai.”
Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.
Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.
Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka. Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia berkata.
“Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu.”
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan dugaannya.
“Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati.”
“Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?” tanya Suma Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati mereka.
“Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Kalau sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng.” Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.
“Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!” Gak Ciang Hun berseru penasaran.
“Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, walaupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikata keturunan ibu Mancu. Kenyataan ini agaknya yang membuat keluarga Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai.”
Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu!
“Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir,” kata pula Kao Cin Liong melanjutkan.
“Memang keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal yang membuat aku sampai kini merasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita.”
“Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk di akal,” kini Cu Kun Tek berkata.
Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang, setelah dia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia bersikap tenang.
“Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?”
Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata.
“Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain itu, para anggauta keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai.”
“Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Peklian-kauw dan lain-lain!” kata Kao Hong Li.
Ayahnya menghela napas panjang.
“Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua.”
Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa mengambil tindakan.
“Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,” kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. “Bagaimanapun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri.”
Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya.
“Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk menantang kita selagi semua anggauta keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar.”
“Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita.” kata Kam Hui Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggauta tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu, menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya!
Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ketiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apalagi membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka.
Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-bengpai itu maka ia berani menantang sedemikian nekatnya. Sampai jauh malam baru para anggauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang melihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong menghiburnya.
“Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri.”
“Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya.” Isterinya membantah.
Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong.
“Lihat Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apalagi mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi.”
Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan.
Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.
“Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati.” demikian ia mengakhiri suratnya.
“Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!” seru Can Bi Lan. “Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi kemana ia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tak pernah berhasil!”
“Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!” kata Kao Hong Li.
“Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?”
Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa.
“Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan.”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata.
“Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik.” Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.
Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun.
“Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat.
“Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun.”
Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
“Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!”
Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak murid keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata.
“Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun.”
“Pangeran....?” Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. “Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?”
Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!
Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya.
“Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu.”
“Tapi.... tapi kenapa seorang pangeran....?”
Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar! Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya.
“Kalau seorang pangeran kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li.”
Kao Cin Liong menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.
Semantara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apapun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.
Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggauta keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.
Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.
Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.
“Kita harus mengambil seorang murid lagi!” tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.
“Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun.” Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
“Kita harus mencari,” kata suaminya. “Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas.”
“Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu-ilmu kita.”
“Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat.”
Pendekar itu menarik napas panjang. Isterinya tersenyum.
“Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?”
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
“Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai.”
**** 006 ****