Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.
Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seolah-olah laksaan iblis berpesta pora di situ. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!
Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna.
Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amatlah cerahnya. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.
Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu. Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan.
Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya.
Karena itulah, maka tiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!
“Hemmm, kita tersesat jalan!” kata orang terdepan yang memegang golok. “Tadi pun kita sudah lewat di sini.”
“Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?” orang kedua mengomel.
“Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan semacam jebakan. Kita harus berhati-hati,” kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
“Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani menghina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?” orang ke dua bertanya penasaran.
Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu.
Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
“Kalian tenang dan bersabarlah,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning.
“Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini.”
Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.
“Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?” si muka hitam mengomel lagi.
Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seolah-olah laksaan iblis berpesta pora di situ. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!
Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna.
Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amatlah cerahnya. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan.
Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu. Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan.
Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya.
Karena itulah, maka tiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!
“Hemmm, kita tersesat jalan!” kata orang terdepan yang memegang golok. “Tadi pun kita sudah lewat di sini.”
“Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?” orang kedua mengomel.
“Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan semacam jebakan. Kita harus berhati-hati,” kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
“Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani menghina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?” orang ke dua bertanya penasaran.
Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu.
Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
“Kalian tenang dan bersabarlah,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning.
“Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini.”
Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.
“Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?” si muka hitam mengomel lagi.
“Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut,” cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. “Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon.”
Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
“Ahhh, bukan main....! Betapa megahnya sarang mereka....! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!”
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
“Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!” kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.
Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini si gendut girang sekali.
“Wah, sekarang baru enak jalannya!” katanya dan dia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya!
Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
“Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, tolong....!”
Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut!
Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
“Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!” kini si muka hitam juga berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kanak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
“Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!” bentaknya mendongkol.
Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.
Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Samheng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
“Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan.” Sang kakak mengomel.
“Aih, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!” kata si gendut.
“Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!” kata si muka hitam.
“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain.” kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur!
Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.
Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak mengunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.
“Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!” si gendut mengomel dan mengepal tangan.
Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.
“Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!” kata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.
Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk tergencet pecah. Kiranya seekor lintah menempel dan menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar.
“Jangan sembarangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!”
Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.
“Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!”
Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khi-kang, dan gemanya terdengar dari sekeliling tempat itu.
“Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan.”
Tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik!
Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, tahu-tahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata.
“Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?”
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah.
“Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga).”
“Bukan main!” kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. “Apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!”
Gadis itu menggeleng kepala.
“Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku.”
“Nanti dulu!” teriak si gendut. “Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!”
“Aku juga!” kata si muka hitam.
Mereka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini, dan kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampak deretan giginya berkilauan.
“Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana.”
Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya.
Seperti berebut, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor dan kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih.
Tidak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.
“Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas.” demikian katanya mengakhiri keterangannya.
“Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi.”
Dia menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
Gadis itu kembali tersenyum.
“Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi.”
Si tinggi kurus menghela napas panjang.
“Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?”
“Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini.”
Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka mempergunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
“Wah, kita terhalang jurang lagi,” kata si gendut.
“Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?” tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana.
“Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya.”
“Maksudmu, Nona?” Si tinggi kurus bertanya heran.
“Menyeberangi jurang ini.” kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak.
“Akan tetapi, siapa yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?” tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.
“Tidak meloncati, melainkan menyeberang.”
“Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya.” kata pula si muka hitam.
“Tunggu dan lihat sajalah,” kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.
Tak lama kemudian, dari seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.
“Singgg.... wirrrrr....!”
Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat.
Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur sehingga dari seberang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
“Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini,” kata gadis pakaian putih.
“Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!” kata si gendut.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan melayang ketika badan akan terbanting hancur di dasar jurang!
Gadis itu tersenyum mengejek.
“Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai.”
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata.
“Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang.”
Setelah berkata demikian, ia pun lalu melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.
“Jangan membikin malu saja.” kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut.
Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.
Setelah mereka semua tiba di seberang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walaupun wajahnya tersenyum dan diperlihatkan ketenangan dan kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil!
Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, membayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.
Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
“Ahhh, bukan main....! Betapa megahnya sarang mereka....! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!”
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
“Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!” kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon.
Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini si gendut girang sekali.
“Wah, sekarang baru enak jalannya!” katanya dan dia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya!
Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
“Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, tolong....!”
Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut!
Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
“Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!” kini si muka hitam juga berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kanak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
“Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!” bentaknya mendongkol.
Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam.
Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Samheng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
“Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan.” Sang kakak mengomel.
“Aih, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!” kata si gendut.
“Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!” kata si muka hitam.
“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain.” kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur!
Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.
Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak mengunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.
“Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!” si gendut mengomel dan mengepal tangan.
Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.
“Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!” kata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya.
Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk tergencet pecah. Kiranya seekor lintah menempel dan menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar.
“Jangan sembarangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!”
Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.
“Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!”
Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khi-kang, dan gemanya terdengar dari sekeliling tempat itu.
“Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan.”
Tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik!
Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, tahu-tahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata.
“Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?”
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah.
“Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga).”
“Bukan main!” kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. “Apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!”
Gadis itu menggeleng kepala.
“Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku.”
“Nanti dulu!” teriak si gendut. “Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!”
“Aku juga!” kata si muka hitam.
Mereka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini, dan kalau begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampak deretan giginya berkilauan.
“Jangan khawatir. Sebelum tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat membersihkan diri di sana.”
Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya.
Seperti berebut, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang kotor dan kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih.
Tidak banyak keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang penjajah.
“Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas.” demikian katanya mengakhiri keterangannya.
“Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang-orang yang menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi.”
Dia menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
Gadis itu kembali tersenyum.
“Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi.”
Si tinggi kurus menghela napas panjang.
“Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah mendapat jemputan?”
“Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini.”
Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka mempergunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
“Wah, kita terhalang jurang lagi,” kata si gendut.
“Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?” tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana.
“Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satu-satunya.”
“Maksudmu, Nona?” Si tinggi kurus bertanya heran.
“Menyeberangi jurang ini.” kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak.
“Akan tetapi, siapa yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?” tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.
“Tidak meloncati, melainkan menyeberang.”
“Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya.” kata pula si muka hitam.
“Tunggu dan lihat sajalah,” kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.
Tak lama kemudian, dari seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu membidik.
“Singgg.... wirrrrr....!”
Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap tenang sekali hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat.
Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur sehingga dari seberang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
“Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini,” kata gadis pakaian putih.
“Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!” kata si gendut.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan melayang ketika badan akan terbanting hancur di dasar jurang!
Gadis itu tersenyum mengejek.
“Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai.”
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata.
“Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang.”
Setelah berkata demikian, ia pun lalu melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.
“Jangan membikin malu saja.” kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut.
Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di atas jurang yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.
Setelah mereka semua tiba di seberang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua kakinya. Walaupun wajahnya tersenyum dan diperlihatkan ketenangan dan kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil!
Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, membayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.