Dua orang pemuda itu berhasil meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada di bagian barat Kwisan (Bukit Iblis), bahkan turun dari bukit itu dan setelah jauh, menjelang tengah hari, mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar dalam sebuah hutan kecil yang sunyi.
Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han berkata,
“Mengapa engkau kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar dari ancaman maut di sana?”
Pangeran itu memandang kakak angkatnya.
“Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya.”
Yo Han tersenyum.
“Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam tahanan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas dari bahaya, engkau malah takut.”
Cia Sun menghela napas panjang.
“Biasanya aku tidak pernah takut, Yotwako. Akan tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini.”
“Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri,
yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran
kita tidak bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan
sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya.”
Apa yang dikatakan Yo Han bukan teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami sendiri oleh pemuda itu. Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu, membentuk aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam, pikiran membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut.
Aku yang mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin senang, tidak mau susah, maka membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri, menimbulkan rasa takut. Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit, kalau sudah datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah sebab rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang belum terjadi, takut pun tidak ada.
Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Nafsu sesungguhnya merupakan anugerah Tuhan, disertakan kepada kita sejak kita lahir. Nafsu diikut sertakan untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di dunia lain.
Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih. Dengan memiliki nafsu, kita dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca-indera kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu untuk menyeret kita sehingga kita bukan lagi memperalat dan memperbudak nafsu, melainkan kita yang diperalat dan diperbudak, dan kalau sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi permainan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang diberi makanan enak, tak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian menderita sakit yang menyengsarakan.
Kalau sudah menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memrotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan akibat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan pengaruh nafsu itu takkan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil. Usaha itu datangnya dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu, atau nafsu mengalahkan dirinya sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah itu membela pekerjaan nafsu.
Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan
kita ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah
seorang pun pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka!
Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han berkata,
“Mengapa engkau kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar dari ancaman maut di sana?”
Pangeran itu memandang kakak angkatnya.
“Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali apa yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya.”
Yo Han tersenyum.
“Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam tahanan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah terbebas dari bahaya, engkau malah takut.”
Cia Sun menghela napas panjang.
“Biasanya aku tidak pernah takut, Yotwako. Akan tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini.”
“Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri,
yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran
kita tidak bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan
sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya.”
Apa yang dikatakan Yo Han bukan teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami sendiri oleh pemuda itu. Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu, membentuk aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam, pikiran membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah takut.
Aku yang mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita selalu ingin senang, tidak mau susah, maka membayangkan kesusahan yang akan menimpa diri, menimbulkan rasa takut. Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang sehat takut sakit, kalau sudah datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan mati, lalu takut akan keadaan sesudah mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang belum terjadi, itulah sebab rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang belum terjadi, takut pun tidak ada.
Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Nafsu sesungguhnya merupakan anugerah Tuhan, disertakan kepada kita sejak kita lahir. Nafsu diikut sertakan untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di dunia lain.
Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih. Dengan memiliki nafsu, kita dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca-indera kita, melalui semua alat tubuh kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu untuk menyeret kita sehingga kita bukan lagi memperalat dan memperbudak nafsu, melainkan kita yang diperalat dan diperbudak, dan kalau sudah begitu, kita tidak berdaya, menjadi permainan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi seperti kanak-kanak yang diberi makanan enak, tak mengenal batas makan sebanyaknya untuk kemudian menderita sakit yang menyengsarakan.
Kalau sudah menderita akibat menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memrotes, akal sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan akibat dari menuruti dorongan nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan pengaruh nafsu itu takkan berhasil, atau sukar sekali mendatangkan hasil. Usaha itu datangnya dari hati akal pikiran pula, padahal hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu, atau nafsu mengalahkan dirinya sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah dipengaruhi nafsu daya rendah itu membela pekerjaan nafsu.
Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan
kita ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah
seorang pun pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang koruptor yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka!
Seperti contoh terdekat dan teringan, adakah seorang pun perokok atau pemabuk yang tidak tahu bahwa merokok atau bermabukan itu tidak baik? Tentu tidak ada! Setiap orang tahu, akan tetapi apa daya? Pengetahuan ini tidak mampu menghentikan ikatan pengaruh nafsu.
Yang berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan kebiasaannya berjudi! Demikian pula dengan perokok, pencuri, koruptor dan sebagainya!
Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan-perbuatan itu. Seorang pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa dia mencuri
karena terpaksa dan sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa dia korupsi karena semua orang pun melakukannya, karena gajinya tidak mencukupi karena keluarganya ingin hidup mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.
Kalau semua usaha gagal, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi pengaruh nafsu kita sendiri? Dalam pertanyaan ini sudah terkandung jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu, kita tidak akan berhasil, karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu sendiri. Kalau kita sudah ingin menundukkan nafsu, hanya waspada mengamati gejolak nafsu kita, tanpa ada keinginan mengubahnya, maka akan terjadi perubahan! Tanpa adanya siaku yang berusaha, tanpa adanya si-aku yang alias nafsu melalui pikiran yang merajalela, nafsu bagaikan api yang tidak ditambah minyak.
Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Dalam urusan kehidupan sehari-hari, mencari sandang pangan papan, hidup sebagai manusia yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja kita harus mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka, kita hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita pada kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya kita yang diperalat.
“Yo-twako, sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita cari? Kebahagiaan? Di mana dan apa kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai, namun tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan.”
Yo Han tersenyum lebar.
“Pertanyaanmu itu agaknya telah menjadi pertanyaan dunia sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Ciate. Kita mencari-cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, namun tak pernah menemukannya. Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan mencari terus selama kita hidup.”
“Akan tetapi, adakah orang yang benar-benar menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?”
“Cia-te. Mari kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yapg tidak kita kenal?”
“Tentu saja mustahil!” jawab sang pangeran tanpa ragu.
“Tepat. Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari. Apakah kebahagiaan itu, Cia-te?”
“Kebahagiaan! Tentu saja kebahagiaan adalah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!”
“Kalau begitu pertanyaan yang menyusul. Apakah engkau pernah mengalami perasaan bahagia itu, Cia-te?”
Pangeran Cia Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.
“Rasanya pernah dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam, seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, seringkali aku merasakan itu mungkin aku selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti itu....”
“Nah, itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan
tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan dan
kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita ingin mengabadikan perasaan bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu
menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari
selama ini, yang dicari-cari oleh setiap orang manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang dapat dikejar oleh kesenangan, Ciate.
Mudah saja mengejar kesenangan makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga, mulut dan lain anggauta badan luar dan dalam. Kesenangan timbul dari kenangan, dari
pengalaman, diulang-ulang, karenanya mati dan selalu disusul kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada, hidup bagaikan awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan kenangan masa lalu.”
Pangeran Cia Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya.
“Aduh, kepalaku yang pening, Twako. Apakah kalau begitu, menurut Twako, amat tidak baik kalau dalam hidup ini kita bersenang-senang?"
Yo Han tertawa pula.
“Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati. Kita berhak menikmati keenakan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat kita yang lain, yaitu akal budi, untuk mempertimbangkan, kesenangan macam apa yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau
tentu mengerti apa yang kumaksudkan.”
Pangeran itu mengangguk-angguk.
”Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Aku sebenarnya ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak akan menyetujuinya. Dia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku seorang pangeran Mancu.”
“Memang keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir, jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka, bersabarlah dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaiknya kalau kau ceritakan persoalanmu kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu itu.”
Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Agaknya mustahil kalau ayah mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau dia mengetahui bahwa Eng-moi adalah puteri ketua Paobeng-pai yang menentang pemerintah.”
“Kalau begitu, lebih sulit lagi. Akan tetapi percayalah, Cia-te, betapapun sulit dan mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala kesulitan itu akan terlampaui dan perkara dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu dengan penyerahan kepada kekuasaanNya.”
“Dan sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja. Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.”
Diam-diam Yo Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ah, tidak!
Dia tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu kalau tahu bahwa dia memiliki hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri
dengan menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.
“Terima kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu
mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu.”
“Pekerjaan yang teramat sulit, Twako. Bagaimana mungkin mencari seorang yang belum pernah kau kenal sama sekali? Apalagi ia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan dirinya ketika berusia tiga tahun.”
“Tidak ada perkara yang sulit, kalau saja aku dibimbing kekuasaan Tuhan, Cia-te. Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari.
Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya
dan di kaki kanannya.”
Pangeran itu tertawa geli.
“Ha-haha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-makimu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kau cari dan engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya untuk melihat kakinya. Pantas ia marah-marah!”
Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han juga ikut tertawa dengan muka kemerahan.
“Apalagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Eh, kiranya engkau bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap melaksanakan sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita.”
“Memang itulah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian
kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja.”
Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.
Yang berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan kebiasaannya berjudi! Demikian pula dengan perokok, pencuri, koruptor dan sebagainya!
Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan-perbuatan itu. Seorang pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa dia mencuri
karena terpaksa dan sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa dia korupsi karena semua orang pun melakukannya, karena gajinya tidak mencukupi karena keluarganya ingin hidup mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.
Kalau semua usaha gagal, lalu apa yang harus kita lakukan untuk menanggulangi pengaruh nafsu kita sendiri? Dalam pertanyaan ini sudah terkandung jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu, kita tidak akan berhasil, karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu sendiri. Kalau kita sudah ingin menundukkan nafsu, hanya waspada mengamati gejolak nafsu kita, tanpa ada keinginan mengubahnya, maka akan terjadi perubahan! Tanpa adanya siaku yang berusaha, tanpa adanya si-aku yang alias nafsu melalui pikiran yang merajalela, nafsu bagaikan api yang tidak ditambah minyak.
Kekuasaan Tuhan akan bekerja! Dalam urusan kehidupan sehari-hari, mencari sandang pangan papan, hidup sebagai manusia yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja kita harus mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka, kita hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita pada kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya kita yang diperalat.
“Yo-twako, sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita cari? Kebahagiaan? Di mana dan apa kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai, namun tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan.”
Yo Han tersenyum lebar.
“Pertanyaanmu itu agaknya telah menjadi pertanyaan dunia sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Ciate. Kita mencari-cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, namun tak pernah menemukannya. Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan mencari terus selama kita hidup.”
“Akan tetapi, adakah orang yang benar-benar menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?”
“Cia-te. Mari kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yapg tidak kita kenal?”
“Tentu saja mustahil!” jawab sang pangeran tanpa ragu.
“Tepat. Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari. Apakah kebahagiaan itu, Cia-te?”
“Kebahagiaan! Tentu saja kebahagiaan adalah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!”
“Kalau begitu pertanyaan yang menyusul. Apakah engkau pernah mengalami perasaan bahagia itu, Cia-te?”
Pangeran Cia Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.
“Rasanya pernah dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam, seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, seringkali aku merasakan itu mungkin aku selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti itu....”
“Nah, itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan
tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan dan
kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita ingin mengabadikan perasaan bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu
menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari
selama ini, yang dicari-cari oleh setiap orang manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang dapat dikejar oleh kesenangan, Ciate.
Mudah saja mengejar kesenangan makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga, mulut dan lain anggauta badan luar dan dalam. Kesenangan timbul dari kenangan, dari
pengalaman, diulang-ulang, karenanya mati dan selalu disusul kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada, hidup bagaikan awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan kenangan masa lalu.”
Pangeran Cia Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya.
“Aduh, kepalaku yang pening, Twako. Apakah kalau begitu, menurut Twako, amat tidak baik kalau dalam hidup ini kita bersenang-senang?"
Yo Han tertawa pula.
“Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati. Kita berhak menikmati keenakan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat kita yang lain, yaitu akal budi, untuk mempertimbangkan, kesenangan macam apa yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau
tentu mengerti apa yang kumaksudkan.”
Pangeran itu mengangguk-angguk.
”Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Aku sebenarnya ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak akan menyetujuinya. Dia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku seorang pangeran Mancu.”
“Memang keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir, jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka, bersabarlah dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaiknya kalau kau ceritakan persoalanmu kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu itu.”
Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Agaknya mustahil kalau ayah mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau dia mengetahui bahwa Eng-moi adalah puteri ketua Paobeng-pai yang menentang pemerintah.”
“Kalau begitu, lebih sulit lagi. Akan tetapi percayalah, Cia-te, betapapun sulit dan mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala kesulitan itu akan terlampaui dan perkara dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu dengan penyerahan kepada kekuasaanNya.”
“Dan sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja. Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.”
Diam-diam Yo Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ah, tidak!
Dia tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu kalau tahu bahwa dia memiliki hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri
dengan menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.
“Terima kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu
mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu.”
“Pekerjaan yang teramat sulit, Twako. Bagaimana mungkin mencari seorang yang belum pernah kau kenal sama sekali? Apalagi ia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan dirinya ketika berusia tiga tahun.”
“Tidak ada perkara yang sulit, kalau saja aku dibimbing kekuasaan Tuhan, Cia-te. Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari.
Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya
dan di kaki kanannya.”
Pangeran itu tertawa geli.
“Ha-haha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-makimu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kau cari dan engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya untuk melihat kakinya. Pantas ia marah-marah!”
Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han juga ikut tertawa dengan muka kemerahan.
“Apalagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Eh, kiranya engkau bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap melaksanakan sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita.”
“Memang itulah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian
kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja.”
Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.
**** 017 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================