“Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang telah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia dihukum mati.”
“Gosang Lama telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah engkau masih hendak membela kematian seorang yang telah melakukan demikian banyak dosa orang muda yang baik?'
Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab,
“Lo-suhu, bagaimanapun juga suhu Gosang Lama tidak melakukan pembunuhan.”
“Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semuanya? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, sebanyak tiga orang telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”
Keng Han merasa terpukul sekali.
“Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”
“Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”
“Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”
“Hemmm, dan engkau tidak merasa heran bahwa seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?”
Keng Han merasa terpukul lagi dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini dia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?
“Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”
“Omitohud! Orang bijaksana selalu meneliti perbuatan sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang menyuruh hukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang, sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan masih duduk bersila, melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.
“Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”
Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kalau dia dapat membunuh Dalai Lama, tentu roh suhunya akan tenang. Akan tetapi kemudian dia teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.
“Losuhu, kalau saya menyerang Lo-suhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.”
Keng Han masih meragu dan menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu, bertanya,
“Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?”
Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan berkata,
“Losuhu Dalai Lama telah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kau lakukan itu?”
“Baik!” Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”
“Tentu saja dan pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.
Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru,
“Maafkan saya, Losuhu!” dan dia pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti.
“Gosang Lama telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah engkau masih hendak membela kematian seorang yang telah melakukan demikian banyak dosa orang muda yang baik?'
Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab,
“Lo-suhu, bagaimanapun juga suhu Gosang Lama tidak melakukan pembunuhan.”
“Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semuanya? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, sebanyak tiga orang telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”
Keng Han merasa terpukul sekali.
“Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”
“Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”
“Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”
“Hemmm, dan engkau tidak merasa heran bahwa seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?”
Keng Han merasa terpukul lagi dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini dia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?
“Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”
“Omitohud! Orang bijaksana selalu meneliti perbuatan sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang menyuruh hukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang, sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan masih duduk bersila, melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.
“Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”
Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kalau dia dapat membunuh Dalai Lama, tentu roh suhunya akan tenang. Akan tetapi kemudian dia teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.
“Losuhu, kalau saya menyerang Lo-suhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.”
Keng Han masih meragu dan menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu, bertanya,
“Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?”
Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan berkata,
“Losuhu Dalai Lama telah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kau lakukan itu?”
“Baik!” Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”
“Tentu saja dan pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.
Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru,
“Maafkan saya, Losuhu!” dan dia pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti.
Dua macam hawa yang berlawanan menyambar ke arah Dalai Lama. Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang hebat sekali mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, napasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka. Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan.
“Orang muda, engkau bilang bahwa engkau murid Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es?”
Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!
“Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”
“Kalau begitu engkau murid Pulau Es?”
“Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”
“Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”
“Tidak, Losuhu. Mataku telah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”
“Orang yang melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”
Keng Han dan Nio-cu segera berpamit kepada Dalai Lama dan pendeta itu mengucapkan selamat jalan. Setelah meninggalkan Lha-sa, Keng Han merasa girang dan hatinya ringan sekali, tidak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.
“Ternyata engkau benar, Nio-cu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapapun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Sekarang hanya tinggal satu lagi tugas itu, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.”
Bi-kiam Nio-cu tersenyum lebar.
“Sama saja, Keng Han. Engkau akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela-pembela kebenaran dan keadilan. Kalau suhumu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”
“Bagaimanapun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Nio-cu, kalau ternyata suhu memang benar melakukan kesalahan terhadap Bu-tong pai, biarlah aku yang memintakan maaf dari mereka.”
“Engkau keras kepala!” Nio-cu berkata sambil tersenyum.
Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkatnya, Nio-cu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subonya itu.
Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita telah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda. Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu ia berdiri seperti patung memandang kepada Keng Han dan Nio-cu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan dan di punggungnya nampak sebatang pedang.
Begitu melihat wanita ini tiba-tiba muncul di depanya, Bi-kiam Nio-cu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.
“Subo....!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.
Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Nio-cu yang pernah disebut oleh Nio-cu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.
Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.
Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita, yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Nio-cu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Nio-cu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup saputangan putih pula.
Kini, melihat Bi-kiam Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar.
Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Ia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Nio-cu juga hendak membunuh Keng Han.
“Siang Bi Kiok, apa yang telah kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.
Dengan gugup Bi-kiam Nio-cu menjawab,
“Apa...apa yang Subo maksudkan?”
“Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.
“Ah, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami berjalan bersama. Tidak ada apa-apa antara dia, dan teecu.” Bi-kiam Nio-cu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.
“Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?”
Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Nio-cu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Nio-cu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!
“Ampun, Subo. Kami.... kami sungguh tidak ada hubungan apapun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.”
“Diam! Kalau engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga!”
Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!
Wajah Bi-kiam Nio-cu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tak bergerak. Keng Han lalu berkata.
“Sudahlah, Nio-cu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”
Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.
“Berhenti!” bentaknya. “Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri akan dibunuh oleh guruku!”
Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.
“Akan tetapi, mengapa, Nio-cu? Mengpa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Nio-cu.”
Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah.
“Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apapun yang dapat menghalangi kita hidup bersama”.
Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu.
“Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku.... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Nio-cu tidak bisa kita menikah.”
Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali.
“Apa? Engkau tidak mencinta padaku? Dan subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi, selama ini aku salah sangka, engkau tidak cinta padaku.”
Keng Han menggeleng kepalanya.
“Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Nio-cu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”
“Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”
Dan wanita itu segera menyerang Keng Han membabi buta mengayun pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh.
Keng Han cepat mengelak sambil mundur.
“Nio-cu, ingat, kita bukan musuh!”
Beberapa kali Keng Han memperingatkan. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali itu tidak perduli dan hanya berteriak.
“Mampuslah!”
Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak dia tentu akan terancam bahaya maut.
Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Nio-cu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tidak ada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang amat dingin dari Swat-im Sin-kang menyambar dan membuat Bi-kiam Nio-cu terhuyung dan menggigil.
Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Nio-cu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.
Pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat dan tahu-tahu dia telah dibuat tidak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.
Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu, berseru,
“Mampuslah kau sekarang!”
Dan dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu dengan tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.
“Singgg.... tranggggg....!!”
Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!
“Sumoi, mengapa kau menangkis?”
“Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pedengaran Keng Han..
“Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Nio-cu.
“Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melapor kepada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?”
“Sumoi....!! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang....”
“Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”
Dengan uring-uringan Bi-kiam Nio-cu diam saja dan gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han. Pemuda itu telah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Nio-cu kepadanya dia lalu memberi hormat kepada wanita itu dan berkata,
“Nio-cu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.
Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali.
“Orang muda, engkau bilang bahwa engkau murid Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es?”
Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!
“Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”
“Kalau begitu engkau murid Pulau Es?”
“Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”
“Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”
“Tidak, Losuhu. Mataku telah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”
“Orang yang melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”
Keng Han dan Nio-cu segera berpamit kepada Dalai Lama dan pendeta itu mengucapkan selamat jalan. Setelah meninggalkan Lha-sa, Keng Han merasa girang dan hatinya ringan sekali, tidak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.
“Ternyata engkau benar, Nio-cu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapapun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Sekarang hanya tinggal satu lagi tugas itu, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.”
Bi-kiam Nio-cu tersenyum lebar.
“Sama saja, Keng Han. Engkau akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela-pembela kebenaran dan keadilan. Kalau suhumu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”
“Bagaimanapun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Nio-cu, kalau ternyata suhu memang benar melakukan kesalahan terhadap Bu-tong pai, biarlah aku yang memintakan maaf dari mereka.”
“Engkau keras kepala!” Nio-cu berkata sambil tersenyum.
Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkatnya, Nio-cu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subonya itu.
Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita telah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda. Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu ia berdiri seperti patung memandang kepada Keng Han dan Nio-cu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan dan di punggungnya nampak sebatang pedang.
Begitu melihat wanita ini tiba-tiba muncul di depanya, Bi-kiam Nio-cu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.
“Subo....!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.
Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Nio-cu yang pernah disebut oleh Nio-cu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.
Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.
Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita, yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Nio-cu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Nio-cu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup saputangan putih pula.
Kini, melihat Bi-kiam Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar.
Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Ia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Nio-cu juga hendak membunuh Keng Han.
“Siang Bi Kiok, apa yang telah kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.
Dengan gugup Bi-kiam Nio-cu menjawab,
“Apa...apa yang Subo maksudkan?”
“Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.
“Ah, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami berjalan bersama. Tidak ada apa-apa antara dia, dan teecu.” Bi-kiam Nio-cu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.
“Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?”
Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Nio-cu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Nio-cu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!
“Ampun, Subo. Kami.... kami sungguh tidak ada hubungan apapun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.”
“Diam! Kalau engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga!”
Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!
Wajah Bi-kiam Nio-cu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tak bergerak. Keng Han lalu berkata.
“Sudahlah, Nio-cu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”
Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.
“Berhenti!” bentaknya. “Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri akan dibunuh oleh guruku!”
Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.
“Akan tetapi, mengapa, Nio-cu? Mengpa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Nio-cu.”
Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah.
“Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apapun yang dapat menghalangi kita hidup bersama”.
Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu.
“Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku.... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Nio-cu tidak bisa kita menikah.”
Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali.
“Apa? Engkau tidak mencinta padaku? Dan subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi, selama ini aku salah sangka, engkau tidak cinta padaku.”
Keng Han menggeleng kepalanya.
“Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Nio-cu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”
“Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”
Dan wanita itu segera menyerang Keng Han membabi buta mengayun pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh.
Keng Han cepat mengelak sambil mundur.
“Nio-cu, ingat, kita bukan musuh!”
Beberapa kali Keng Han memperingatkan. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali itu tidak perduli dan hanya berteriak.
“Mampuslah!”
Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak dia tentu akan terancam bahaya maut.
Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Nio-cu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tidak ada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang amat dingin dari Swat-im Sin-kang menyambar dan membuat Bi-kiam Nio-cu terhuyung dan menggigil.
Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Nio-cu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.
Pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat dan tahu-tahu dia telah dibuat tidak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.
Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu, berseru,
“Mampuslah kau sekarang!”
Dan dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu dengan tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.
“Singgg.... tranggggg....!!”
Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!
“Sumoi, mengapa kau menangkis?”
“Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pedengaran Keng Han..
“Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Nio-cu.
“Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melapor kepada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?”
“Sumoi....!! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang....”
“Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”
Dengan uring-uringan Bi-kiam Nio-cu diam saja dan gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han. Pemuda itu telah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Nio-cu kepadanya dia lalu memberi hormat kepada wanita itu dan berkata,
“Nio-cu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.
Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali.
**** 014 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================