Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka untuk membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti telah diceritakah di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.
Bagaimana dengan dua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, walaupun mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup dan pada suatu hari mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka telah habis. Keluarga kaisar bersikap tak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.
Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka dan menjadi pedagang yang berhasil. Mereka menjadi kaya raya dan untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San).
Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San. Karena ketika mereka dihukum buang masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru. Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.
Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Ketika itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir.
Pemuda itu adalah Gulam Sang! Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.
Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia lalu mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu untuk menerimanya, karena walaupun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan!
Akan tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Dia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.
Demikianlah, setelah hukuman mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, dimana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang. bernama Tai Lam Sang.
“Kita mempunyai cita-cita besar”, demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja .untuk membuat cita-cita kita menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk dapat berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang harus bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, baru kita turun tangan”.
Tao Seng mengajak Tao San dan Gulam Sang bercakap-cakap tentang rencananya. Semua rencana diatur oleh Tao Seng dan pelaksanaannya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia dapat mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.
Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.
“Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam dan mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Mereka itu kalau dipersatukan, merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki pendekar-pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak”.
Kembali Tao Seng membuat rencana yang amat cerdik. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Dia melakukan penyelidikan terhadap perkumpulan-perkumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan kelemahan mereka.
Akan tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat. Akan tetapi kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai dan lebih dari itu, Bu-tong-pai terkenal di antara semua partai dan dihormati. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!
Dengan pikiran ini dia lalu mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.
Setelah mempelajari dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga mukanya berubah menjadi muka Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang.
Topeng itu demikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu dan pada suatu senja, alam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Melihat dia serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.
Bagaimana dengan dua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, walaupun mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup dan pada suatu hari mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka telah habis. Keluarga kaisar bersikap tak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.
Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka dan menjadi pedagang yang berhasil. Mereka menjadi kaya raya dan untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San).
Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San. Karena ketika mereka dihukum buang masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru. Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.
Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Ketika itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir.
Pemuda itu adalah Gulam Sang! Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng.
Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia lalu mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu untuk menerimanya, karena walaupun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan!
Akan tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Dia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.
Demikianlah, setelah hukuman mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, dimana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang. bernama Tai Lam Sang.
“Kita mempunyai cita-cita besar”, demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. “Akan tetapi jangan dikira mudah saja .untuk membuat cita-cita kita menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk dapat berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang harus bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, baru kita turun tangan”.
Tao Seng mengajak Tao San dan Gulam Sang bercakap-cakap tentang rencananya. Semua rencana diatur oleh Tao Seng dan pelaksanaannya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia dapat mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya.
Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.
“Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam dan mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Mereka itu kalau dipersatukan, merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki pendekar-pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak”.
Kembali Tao Seng membuat rencana yang amat cerdik. Ditambah dengan kecerdikannya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Dia melakukan penyelidikan terhadap perkumpulan-perkumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan kelemahan mereka.
Akan tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat. Akan tetapi kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai dan lebih dari itu, Bu-tong-pai terkenal di antara semua partai dan dihormati. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai!
Dengan pikiran ini dia lalu mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.
Setelah mempelajari dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga mukanya berubah menjadi muka Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang.
Topeng itu demikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu dan pada suatu senja, alam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Melihat dia serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.
Dia menirukan suara Thiat It Tosu.
“Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?”
“Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu”. jawab kelima orang murid itu.
Gulam Sang merasa gembira sekali karena ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.
Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini. Thian-tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian-yang-cu adalah seorang murid utama, dari Thian It Tosu. Dia juga sudah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa dia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat maupun dengan ilmu sihirnya.
Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.
Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian-tan Tosu dan Thian-yangcu segera memberi hormat.
“Suheng.!”
“Suhu.!“
“Hemmm, Sute dan Thian-yang-cu, kalian hendak pergi kemana?” tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.
Kedua orang itu memandang heran.
“Apakah Suheng sudah lupa lagi? Baru tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua”.
“Oh, benar juga, Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian-yang-cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.”
”Saya mohon petunjuk, Suheng” kata Thian-tan Tosu.
“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian-yang-cu.
“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto agar pinto dapat melihat dimana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”
“Teecu tidak berani, Suhu.”
“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”
“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian-tan Tosu juga mencegah.
“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.
Akan tetapi Thian-yang-cu dan Thiantan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua. Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu mengenai angin saja.
Kemudian, terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian-tan Tosu terhuyung ke belakang dan Thian-yang-cu terpental beberapa meter jauhnya!
Kedua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh dengan kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main.
Thian-yang-cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi merasa sesak dadanya, sedangkan Thian-tan Tosu merasa kepalanya pening. Thian-yang-cu segera memberi hormat dan berkata dengan malu-malu.
“Teecu memang bodoh dan lemah.”
Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhunya menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua tidak mampu bangkit lagi.
“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang amat hebat!” kata pula Thian-tan Tosu dengan kagum.
“Hemmm, kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”
“Suhu.!”
“Suheng.!”
“Diam! Kalian membuatku kecewa. Kalau kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian adalah dua orang terpenting sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”
“Baik, Suheng.”
“Baik, Suhu.”
Thian It Tosu sudah tidak memperdulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan halus lembut tutur sapanya itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.
“Thian-yang-cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”
“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”
“Kalau dia marah?”
“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”
“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarakan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”
Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian-tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalah itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat,
“Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”
Dua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.
“Siancai-siancai-siancai....! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”
Ketika dua orang menoleh, mereka terpengaruh melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah.
Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?
“Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian-tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.
“Benar, Suhu! Harap Suhu memberi hajaran kepadanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian-yang-cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.
Thian It Tosu yang pertama tercengang.
“Eh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”
“Siancai....! Ini yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian-yang-cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”
Biarpun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama. Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu berseru,
“Sute! Thian-yang-cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”
“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.
Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundaknya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang amat kuat ke dadanya.
“Bukkk....!!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.
“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.
Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tanahan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.
Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.
“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian-tan Tosu.
Thian-yang-cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susioknya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis dan jenggot Thian It Tosu yang palsu.
Akan tetapi betapapun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai kedok apa pun. Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.
“Dia asli!” kata Thian-tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang palsu!”
Thian It Tosui palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan.
“Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku sudah selesai, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal disini sebagai tawananku!”
“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian-yang-cu marah.
“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati disini, baru kemudian kalian menyusulnya.”
“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian-tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang kearah ketua palsu itu.
Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar dan tubuh Thian-tan Tosu terlempar dan roboh. Thian-yang-cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok dan dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.
Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang telah ditotoknya itu,
“Dengar baik-baik, Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu! Nyawa ketua kalian telah berada di tanganku. Dia telah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”
Biarpun berada di bawah pengaruh sihir, Thian-tan Tosu masih dapat membantah,
“Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”
“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukan penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tonng-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”
Thian-tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik dia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini amat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.
“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susioknya, Thian-yang-cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.
Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.
Gulam Sang lalu memulihkan kedua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka sudah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.
“Gosokkan minyak ini pada telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkanya dan setelah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.”
Gulam Sang mengeluarkan obat-obat itu dan Thian-tan Tosu lalu mengobati suhengnya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sutenya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.
“Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It Tosu, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Kalau niatku sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi kalau engkau mencoba untuk menghalangiku engkau akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai akan kuhancurkan!”
“Siancai....! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil.” kata Thian It Tosu lemah.
“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!”
Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya mereka sejak tadi melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.
“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang diantara lima orang itu.
“Kalian berjaga disini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”.
“Baik, Kongcu”.
“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan disini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”
Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diaku sebagai sutenya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.
Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang sebagai Thiat It Tosu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat untuk beristirahat dan bersamadhi dalam kamarnya.
Kalau sudah berada di kamar samadhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai “tamu terhormat” dari Bu-tong-pai. Dan dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan.
Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai dan para tokoh dari datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.
“Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?”
“Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu”. jawab kelima orang murid itu.
Gulam Sang merasa gembira sekali karena ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.
Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini. Thian-tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian-yang-cu adalah seorang murid utama, dari Thian It Tosu. Dia juga sudah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa dia mampu menaklukkannya, baik dengan ilmu silat maupun dengan ilmu sihirnya.
Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.
Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian-tan Tosu dan Thian-yangcu segera memberi hormat.
“Suheng.!”
“Suhu.!“
“Hemmm, Sute dan Thian-yang-cu, kalian hendak pergi kemana?” tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.
Kedua orang itu memandang heran.
“Apakah Suheng sudah lupa lagi? Baru tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua”.
“Oh, benar juga, Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian-yang-cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.”
”Saya mohon petunjuk, Suheng” kata Thian-tan Tosu.
“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian-yang-cu.
“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto agar pinto dapat melihat dimana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”
“Teecu tidak berani, Suhu.”
“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”
“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian-tan Tosu juga mencegah.
“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.
Akan tetapi Thian-yang-cu dan Thiantan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua. Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu mengenai angin saja.
Kemudian, terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian-tan Tosu terhuyung ke belakang dan Thian-yang-cu terpental beberapa meter jauhnya!
Kedua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh dengan kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main.
Thian-yang-cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi merasa sesak dadanya, sedangkan Thian-tan Tosu merasa kepalanya pening. Thian-yang-cu segera memberi hormat dan berkata dengan malu-malu.
“Teecu memang bodoh dan lemah.”
Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhunya menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua tidak mampu bangkit lagi.
“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang amat hebat!” kata pula Thian-tan Tosu dengan kagum.
“Hemmm, kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”
“Suhu.!”
“Suheng.!”
“Diam! Kalian membuatku kecewa. Kalau kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian adalah dua orang terpenting sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”
“Baik, Suheng.”
“Baik, Suhu.”
Thian It Tosu sudah tidak memperdulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan halus lembut tutur sapanya itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.
“Thian-yang-cu, kau pikir bagaimana baiknya sekarang?”
“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”
“Kalau dia marah?”
“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”
“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarakan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadap dan mohon diberi pelajaran itu.”
Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian-tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalah itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat,
“Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”
Dua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.
“Siancai-siancai-siancai....! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?”
Ketika dua orang menoleh, mereka terpengaruh melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah.
Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh?
“Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian-tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.
“Benar, Suhu! Harap Suhu memberi hajaran kepadanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian-yang-cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.
Thian It Tosu yang pertama tercengang.
“Eh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?”
“Siancai....! Ini yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian-yang-cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”
Biarpun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama. Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu berseru,
“Sute! Thian-yang-cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”
“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.
Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundaknya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang amat kuat ke dadanya.
“Bukkk....!!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.
“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.
Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tanahan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.
Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.
“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian-tan Tosu.
Thian-yang-cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susioknya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis dan jenggot Thian It Tosu yang palsu.
Akan tetapi betapapun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu asli dan tidak memakai kedok apa pun. Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.
“Dia asli!” kata Thian-tan Tosu dengan muka berubah pucat. “Kalau begitu engkau yang palsu!”
Thian It Tosui palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan.
“Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku sudah selesai, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal disini sebagai tawananku!”
“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian-yang-cu marah.
“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati disini, baru kemudian kalian menyusulnya.”
“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian-tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang kearah ketua palsu itu.
Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar dan tubuh Thian-tan Tosu terlempar dan roboh. Thian-yang-cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok dan dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.
Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang telah ditotoknya itu,
“Dengar baik-baik, Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu! Nyawa ketua kalian telah berada di tanganku. Dia telah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”
Biarpun berada di bawah pengaruh sihir, Thian-tan Tosu masih dapat membantah,
“Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”
“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukan penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tonng-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”
Thian-tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik dia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini amat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.
“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susioknya, Thian-yang-cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.
Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.
Gulam Sang lalu memulihkan kedua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka sudah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.
“Gosokkan minyak ini pada telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkanya dan setelah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.”
Gulam Sang mengeluarkan obat-obat itu dan Thian-tan Tosu lalu mengobati suhengnya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sutenya. Dia memandang ke arah Gulam Sang.
“Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?”
“Thian It Tosu, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Kalau niatku sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi kalau engkau mencoba untuk menghalangiku engkau akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai akan kuhancurkan!”
“Siancai....! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil.” kata Thian It Tosu lemah.
“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!”
Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya mereka sejak tadi melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.
“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang diantara lima orang itu.
“Kalian berjaga disini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!”.
“Baik, Kongcu”.
“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan disini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”
Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diaku sebagai sutenya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.
Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang sebagai Thiat It Tosu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat untuk beristirahat dan bersamadhi dalam kamarnya.
Kalau sudah berada di kamar samadhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai “tamu terhormat” dari Bu-tong-pai. Dan dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja sama melakukan pemberontakan.
Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai dan para tokoh dari datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksanakan oleh Gulam Sang.