Kalau Yo Han dengan penuh semangat mencari jalan keluar, maka di atasnya, di permukaan bukit itu, terjadi hal-hal yang hebat, yang tentu akan menggelisahkan hati Yo Han kalau dia mengetahuinya. Bayangan tubuh Sim Hui Eng yang ramping padat itu berkelebat cepat, menyelinap di antara pohon-pohon. Ia sedang melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang, untuk mengetahui lebih banyak tentang perkumpulan itu dan kalau mungkin menyelidiki apakah benar Yo Han telah tewas, ataukah ditahan dalam rumah perkumpulan itu.
Gadis yang anggun dan cantik ini, tidak lagi bersikap dingin angkuh seperti dahulu ketika ia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai, menggunakan ginkangnya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang. Akan tetapi, hal ini hanya dugaanya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu. Tentu saja kini gerakan Hui Eng juga sudah selalu diamati.
Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan ia melihat bagian kanan perkampungan itu nampak tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang hendak diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-lipang atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan dapat menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, terdengar gerakan orang dan ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang, anak buah Thian-li-pang yang kesemuanya menyeringai dengan gaya mengejek!
“Hemmm....!”
Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya. Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.
“Nona, sebaiknya engkau menyerah dan kami hadapkan kepada pangcu daripada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka.”
Sinar mata Hui Eng mencorong marah.
“Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!”
Pedangnya menyambar ganas. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggauta Thianli-pang sudah mengepung ketat dan menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
“Tar-tar-tarrr....!!”
Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang dan kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggauta Thian-li-pang roboh!
“Semua mundur!” terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. “Eng Eng, cepat menyerah!”
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dahulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong.
“Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!”
Siangkoan Kok melotot.
“Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?”
“Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!”
Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
“Keparat, kalau begitu engkau tidak layak dikasihani!” bentaknya dan Siangkoan Kok menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapapun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui datuk itu. Biarpun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang. Apalagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouwpangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas. Dia masih sayang kepada Eng Eng, bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Dia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
“Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!” kata Siangkoan Kok dan mendengar seruan ini, kedua orang tosu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
“Jaga baik-baik dan jangan sampai ia lolos!” pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang melakukan penjagaan. “Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya akan dihukum berat!”
Siangkoan Kok, Im Yang-ji dan Kui Thian-cu lalu meninggalkan tempat tahanan itu karena mereka sudah mendengar berita bahwa kini Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggauta Thian-li-pang.
Akan tetapi, tidak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada dan melihat keadaan yang sepi itu, iapun maklum bahwa agaknya pihak musuh telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Gadis yang anggun dan cantik ini, tidak lagi bersikap dingin angkuh seperti dahulu ketika ia masih menjadi puteri ketua Pao-beng-pai, menggunakan ginkangnya dan gerakannya sedemikian cepat sehingga tidak akan kelihatan oleh orang-orang Thian-li-pang. Akan tetapi, hal ini hanya dugaanya saja karena ia mengira bahwa musuh tidak tahu akan kedatangannya. Padahal, sejak ia bersama Sian Li dan Cia Sun berada di dekat sumur tua, para murid Thian-li-pang telah melakukan penjagaan dan Ouw Seng Bu sendiri telah mengamati gerak-gerik ketiga orang itu. Tentu saja kini gerakan Hui Eng juga sudah selalu diamati.
Setelah gadis itu kini berpisah jauh dari Sian Li dan Cia Sun, dan ia melihat bagian kanan perkampungan itu nampak tidak terjaga ketat, dengan berani ia melompati pagar dan memasuki bagian belakang sebuah bangunan besar yang hendak diselidikinya. Mungkin ia dapat mendengar percakapan murid Thian-lipang atau syukur kalau menemukan sesuatu yang akan dapat menunjukkan tentang Yo Han.
Akan tetapi baru saja ia tiba di ruangan terbuka yang tadinya sepi itu, terdengar gerakan orang dan ketika ia cepat memutar tubuhnya, ia melihat dirinya sudah terkepung oleh puluhan orang, anak buah Thian-li-pang yang kesemuanya menyeringai dengan gaya mengejek!
“Hemmm....!”
Hui Eng tidak menjadi gentar dan ia sudah mempersiapkan pedang dan kebutannya. Dua orang pria yang agaknya menjadi pimpinan tiga puluh orang lebih anak buah Thian-li-pang itu melangkah maju dan berkata dengan suara yang mengandung ejekan.
“Nona, sebaiknya engkau menyerah dan kami hadapkan kepada pangcu daripada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka.”
Sinar mata Hui Eng mencorong marah.
“Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!”
Pedangnya menyambar ganas. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggauta Thianli-pang sudah mengepung ketat dan menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
“Tar-tar-tarrr....!!”
Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang dan kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggauta Thian-li-pang roboh!
“Semua mundur!” terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. “Eng Eng, cepat menyerah!”
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dahulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong.
“Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!”
Siangkoan Kok melotot.
“Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?”
“Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!”
Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
“Keparat, kalau begitu engkau tidak layak dikasihani!” bentaknya dan Siangkoan Kok menangkis, lalu balas menyerang.
Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapapun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui datuk itu. Biarpun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang. Apalagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouwpangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas. Dia masih sayang kepada Eng Eng, bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Dia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
“Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!” kata Siangkoan Kok dan mendengar seruan ini, kedua orang tosu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi.
“Jaga baik-baik dan jangan sampai ia lolos!” pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang melakukan penjagaan. “Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya akan dihukum berat!”
Siangkoan Kok, Im Yang-ji dan Kui Thian-cu lalu meninggalkan tempat tahanan itu karena mereka sudah mendengar berita bahwa kini Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggauta Thian-li-pang.
Akan tetapi, tidak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada dan melihat keadaan yang sepi itu, iapun maklum bahwa agaknya pihak musuh telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Dengan gin-kangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat dan menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas benteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya demikian cepatnya sehingga para anggauta Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan ia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang mulai bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thianli-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan ia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar dan melihat seorang anggauta Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang di tangan dan orang itu melongok-longok, ia lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, Sian Li menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia mengeluh, pedangnya terlepas dan roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangnya itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggauta Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman, dia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
“Kalau engkau tidak mengaku terus terang, pedang ini akan menembus tenggorokanmu!”
Sian Li mendesis dan mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat, apalagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
“Saya.... saya mengaku terus terang....” katanya lirih.
“Hayo katakan di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!”
Orang itu semakin ketakutan.
“Dia.... dia.... di tempat.... tahanan....”
Berdebar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti telah diduganya. Ouw Seng Bu membohonginya.
“Dimana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!”
“Saya.... saya tidak berani.... ahhh...!”
Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
“Baik.... baik....” katanya.
Sian Li menarik pedangnya.
“Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu.”
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu membawa Sian Li menyelinap melalui lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dan pedangnya menodong punggungnya.
Akhirnya, setelah melalui jalan berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki gang dan tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
“Dia.... dia di sana....”
Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu. Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
“Han-koko....!”
Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh. Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apalagi anak buah Thianli-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
“Han-koko....!”
Ia memanggil lagi, akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab, tidak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Ia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ah, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka dapat tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
“Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!” katanya.
Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li mengeluarkan sulingnya. Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Ia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang-sin-kang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
“Tranggg.... trakkk!”
Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, ia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thianli-pang memasuki rumah tahanan itu. Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
“Han-koko, mari kita pergi.”
Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya, ketua Thian-li-pang itu yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
“Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia telah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.”
“Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!”
Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
“Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihat di luar kamar ini anak buahku telah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tidak ada gunanya karena kalau Yo Han saja tidak mampu menandingi aku, apalagi engkau.”
“Jahanam busuk sombong!” Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang dahsyat dan kuat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Dia melompat ke tepi kamar, tangannya menekan tombol di dinding dan dinding di belakangnya terbuka. Dia melompat masuk.
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” bentak Sian Li yang mengejar cepat.
Ia pun meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan!
Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Dan kini wajahnya berubah, masih tampan, akan tetapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin, matanya liar dan suara tawanya seperti setan tertawa.
Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
“Iblis gila!” bentaknya dan ia menyerang lagi dengan Sulingnya.
Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan kini sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Hantaman sulingnya ke arah kepala pemuda itu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
“Takkk....!”
Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat dan ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya ia masih mengerahkan tenaga sin-kang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
“Ha-ha-heh-heh-heh!” Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. “Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapapun juga dan sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengusai dunia kang-ouw, bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!”
“Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib,” pikir Sian Li.
Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka. Sian Li mengeluarkan pekik melengking dan kini ia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Akan tetapi sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan!
Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita,
“Bu-ko, jangan bunuh atau lukai ia!”
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu terkekeh.
“Heh-heh-heh, tidak, tidak sayang, jangan khawatir!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
“Jangan lari!” bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!” kata Ouw Seng Bu.
Tiba-tiba dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah ia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih tertawa-tawa walaupun asap merah makin menebal.
Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohannya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
“Keparat keji, pengecut, curang....!”
Ia menyerang lagi akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah dipan. Ia melihat betapa kaki tangannya diikat rantai baja panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
“Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu.” terdengar suara orang.
Ia menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
“Ah, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang.... “ Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. “Di mana Sun-toako?”
“Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, tertangkap.”
“Tapi kenapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu.”
“Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimanapun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan.”
Sian Li mengangguk membenarkan.
“Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi mempunyai ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh dengan ilmu seaneh itu.”
“Aku.... aku mengkhawatirkan pangeran....” kata Hui Eng lirih.
“Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudahan saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggauta Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu lihai dan licik sekali. Aku sekarang sungguh mencemaskan keadaan Han-koko.”
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
“Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!” Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. “Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!”
Cu Kim Giok memandang sedih.
“Aihhh, tak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani tanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar berjiwa pahlawan. Dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksi. Yo Han yang berusaha membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Kalau Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang....”
“Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan menggerakkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya dan membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!”
Berkata demikian, karena membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li menjadi basah dan suaranya gemetar, walaupun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
“Sian Li, engkau rela mengorbankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?”
Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat dan kedua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
“Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu.!” kata Sian Li lirih.
“Ih, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?” tanya Hui Eng, tersenyum.
“Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!”
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka berada dalam tawanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng, menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
“Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?” tanya Sian Li.
“Engkau yang lucu,” kata Hui Eng. “Kenapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencinta Ouw Seng Bu?”
“Hushhh! Mana aku berjenggot?” cela Sian Li akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
“Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran memilih aku, padahal ketika itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak terhadap kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tidak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tidak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng dan menganggap dia selalu baik dan benar?”
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap ke dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan. Kita semua selalu mengambil kesimpulan, mempunyai pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk.
Kita lupa bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah. Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk.
Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya. Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapapun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari maupun tidak, selalu berdasarkan kepentingan siaku, si penilaian.
Penilaian muncul di mana ada pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tidak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biarpun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andaikata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, dicinta karena dia menyenangkan kita, dipuja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita, tidak menyenangkan kita misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tidak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya?
Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci! Mengapa? Karena benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!
Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas, akan tetapi kalau hujan itu merupakan kita seperti banjir, menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang mengharapkan datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol daripada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yartg sudah menyusup ke dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apapun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan! Tuhan Maha Pencipta.
Seluruh isi alam maya pada ini adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha, berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang telah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini agar hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi kaluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak. Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaannya.
“Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa ia telah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali.”
“Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos.”
Sian Li mengangguk, diam-diam merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan ia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang mulai bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thianli-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan ia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar dan melihat seorang anggauta Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang di tangan dan orang itu melongok-longok, ia lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, Sian Li menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia mengeluh, pedangnya terlepas dan roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangnya itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggauta Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman, dia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
“Kalau engkau tidak mengaku terus terang, pedang ini akan menembus tenggorokanmu!”
Sian Li mendesis dan mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat, apalagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
“Saya.... saya mengaku terus terang....” katanya lirih.
“Hayo katakan di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!”
Orang itu semakin ketakutan.
“Dia.... dia.... di tempat.... tahanan....”
Berdebar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti telah diduganya. Ouw Seng Bu membohonginya.
“Dimana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!”
“Saya.... saya tidak berani.... ahhh...!”
Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
“Baik.... baik....” katanya.
Sian Li menarik pedangnya.
“Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu.”
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu membawa Sian Li menyelinap melalui lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dan pedangnya menodong punggungnya.
Akhirnya, setelah melalui jalan berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki gang dan tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
“Dia.... dia di sana....”
Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu. Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
“Han-koko....!”
Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh. Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apalagi anak buah Thianli-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
“Han-koko....!”
Ia memanggil lagi, akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab, tidak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Ia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ah, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka dapat tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
“Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!” katanya.
Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya. Sian Li mengeluarkan sulingnya. Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Ia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang-sin-kang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
“Tranggg.... trakkk!”
Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, ia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thianli-pang memasuki rumah tahanan itu. Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
“Han-koko, mari kita pergi.”
Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu!
Kiranya, ketua Thian-li-pang itu yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
“Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia telah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.”
“Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!”
Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
“Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihat di luar kamar ini anak buahku telah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan Sian Li. Melawan pun tidak ada gunanya karena kalau Yo Han saja tidak mampu menandingi aku, apalagi engkau.”
“Jahanam busuk sombong!” Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat.
Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang dahsyat dan kuat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Dia melompat ke tepi kamar, tangannya menekan tombol di dinding dan dinding di belakangnya terbuka. Dia melompat masuk.
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” bentak Sian Li yang mengejar cepat.
Ia pun meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan!
Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Dan kini wajahnya berubah, masih tampan, akan tetapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin, matanya liar dan suara tawanya seperti setan tertawa.
Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaan itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
“Iblis gila!” bentaknya dan ia menyerang lagi dengan Sulingnya.
Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan kini sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas.
Hantaman sulingnya ke arah kepala pemuda itu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
“Takkk....!”
Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat dan ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya ia masih mengerahkan tenaga sin-kang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
“Ha-ha-heh-heh-heh!” Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. “Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapapun juga dan sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengusai dunia kang-ouw, bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!”
“Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib,” pikir Sian Li.
Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka. Sian Li mengeluarkan pekik melengking dan kini ia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Akan tetapi sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan!
Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita,
“Bu-ko, jangan bunuh atau lukai ia!”
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu terkekeh.
“Heh-heh-heh, tidak, tidak sayang, jangan khawatir!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
“Jangan lari!” bentak Sian Li yang mengejar.
Terdengar suara keras dan lorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!” kata Ouw Seng Bu.
Tiba-tiba dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah ia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih tertawa-tawa walaupun asap merah makin menebal.
Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohannya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
“Keparat keji, pengecut, curang....!”
Ia menyerang lagi akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah dipan. Ia melihat betapa kaki tangannya diikat rantai baja panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
“Jangan, Sian Li. Jangan patahkan rantai kaki tanganmu.” terdengar suara orang.
Ia menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
“Ah, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang.... “ Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. “Di mana Sun-toako?”
“Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, tertangkap.”
“Tapi kenapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu.”
“Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimanapun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan.”
Sian Li mengangguk membenarkan.
“Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi mempunyai ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh dengan ilmu seaneh itu.”
“Aku.... aku mengkhawatirkan pangeran....” kata Hui Eng lirih.
“Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudahan saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggauta Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu lihai dan licik sekali. Aku sekarang sungguh mencemaskan keadaan Han-koko.”
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengandung penyesalan.
“Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berani muncul di depan kami!” Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. “Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!”
Cu Kim Giok memandang sedih.
“Aihhh, tak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani tanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar berjiwa pahlawan. Dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksi. Yo Han yang berusaha membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Kalau Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang....”
“Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan menggerakkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya dan membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!”
Berkata demikian, karena membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li menjadi basah dan suaranya gemetar, walaupun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
“Sian Li, engkau rela mengorbankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?”
Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat dan kedua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
“Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu.!” kata Sian Li lirih.
“Ih, kenapa hal itu kau anggap aneh, Sian Li?” tanya Hui Eng, tersenyum.
“Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!”
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka berada dalam tawanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng, menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
“Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?” tanya Sian Li.
“Engkau yang lucu,” kata Hui Eng. “Kenapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencinta Ouw Seng Bu?”
“Hushhh! Mana aku berjenggot?” cela Sian Li akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
“Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran memilih aku, padahal ketika itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak terhadap kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tidak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tidak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng dan menganggap dia selalu baik dan benar?”
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap ke dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan. Kita semua selalu mengambil kesimpulan, mempunyai pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk.
Kita lupa bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah. Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk.
Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya. Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapapun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari maupun tidak, selalu berdasarkan kepentingan siaku, si penilaian.
Penilaian muncul di mana ada pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tidak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biarpun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andaikata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat?
Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, dicinta karena dia menyenangkan kita, dipuja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita, tidak menyenangkan kita misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tidak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya?
Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci! Mengapa? Karena benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci!
Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas, akan tetapi kalau hujan itu merupakan kita seperti banjir, menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang mengharapkan datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur!
Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol daripada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yartg sudah menyusup ke dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apapun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan! Tuhan Maha Pencipta.
Seluruh isi alam maya pada ini adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha, berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang telah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini agar hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi kaluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak. Dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang menciptakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaannya.
“Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa ia telah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali.”
“Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos.”
Sian Li mengangguk, diam-diam merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
**** 040 ****