Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Marilah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw.
Seperti telah disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasihat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya.
Apalagi, pemerintah Sung dengan secara tidak langsung dibantu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan dimana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang.
Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar itu.
Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam “datuk” mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang diantara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir ini banyak muncul di dunia sebelah selatan.
Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (baca CINTA BERNODA DARAH), iblis betina ini melarikan diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, dimana selain menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau diantara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang besar sekali.
Dia ini dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, tentu saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bicaranya seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoaong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (baca CINTA BERNODA DARAH).
Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah gergaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan! Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat diantara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima diantara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah.
Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di Puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan seringkali dijadikan sarang manusia-manusia buas pula.
Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan diantara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala!
Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis.
Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang.
Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak datang mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau, binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat beramah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya.
Dengan bangga mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan jahat, namun bagi mereka merupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang pergi ketakutan.
Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar “meja” ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, serentak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua mata melotot memandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang bergaya tari, menarik dan menggairahkan.
Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita selatan. Rambut mereka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit.
Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kaipang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.
“Selamat datang diantara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan manakah dan berdiri di bawah bendera apa?”
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang diantara mereka yang lebih tinggi berkata.
“Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi disini.”
“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang wanita itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
“Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih!”
“Di sini teduh. Marilah!”
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya. Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok!
Dengan mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya lalu “mengemis” jumlah tertentu yang harus diberikan oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
“Sudah terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata. “Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka.”
Seperti telah disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasihat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya.
Apalagi, pemerintah Sung dengan secara tidak langsung dibantu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan dimana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang.
Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar itu.
Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam “datuk” mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang diantara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir ini banyak muncul di dunia sebelah selatan.
Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (baca CINTA BERNODA DARAH), iblis betina ini melarikan diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, dimana selain menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau diantara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang besar sekali.
Dia ini dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, tentu saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bicaranya seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoaong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (baca CINTA BERNODA DARAH).
Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah gergaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan! Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat diantara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima diantara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah.
Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di Puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan seringkali dijadikan sarang manusia-manusia buas pula.
Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan diantara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala!
Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis.
Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang.
Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak datang mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau, binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat beramah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya.
Dengan bangga mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan jahat, namun bagi mereka merupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang pergi ketakutan.
Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar “meja” ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, serentak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua mata melotot memandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang bergaya tari, menarik dan menggairahkan.
Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita selatan. Rambut mereka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit.
Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kaipang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.
“Selamat datang diantara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan manakah dan berdiri di bawah bendera apa?”
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang diantara mereka yang lebih tinggi berkata.
“Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi disini.”
“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang wanita itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
“Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih!”
“Di sini teduh. Marilah!”
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya. Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok!
Dengan mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya lalu “mengemis” jumlah tertentu yang harus diberikan oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
“Sudah terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata. “Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar