Hati Keng Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?
Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji? Lalu dia teringat bahwa Hartawan ji, menurut GulamSang, adalah sekutu pemuda Tibet itu.
Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja kalau Hartawan Ji menghasutnya dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apalagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya mendendam kepada Pangeran Tao Kuang.
Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya. Sepatutnya Pangeran Tao Seng tidak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andaikata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.
Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, dia melihat Hartawan JI sedang makan minum bersama seorang pemuda yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.
Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang telah dikuasai oieh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja.
Kedatangannya disambut oleh Hartawan Ji. Hartawan Ji menceritakan tentang kunjungan Keng Han dan menceritakan tentang siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.
Mendengar ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri cepat keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.
Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang. Dia melihat apa yang terjadi mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota.
Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, bersiap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding dengan Gulam Sang.
“Kenapa repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan.
Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata,
“Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”
“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu ayah kandungnya, dia akan mentaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Kalau itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”
“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan Gulam Sang.” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.
Biarpun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.
Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan karena sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tidak segan mempergunakan segala macam cara.
Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang kini memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapat kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya. Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya.
Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut. Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata,
“Ah, kiranya engkau sudah kembali. Tao kongcu? Silahkan duduk!”
Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.
“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silahkan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”
Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji? Lalu dia teringat bahwa Hartawan ji, menurut GulamSang, adalah sekutu pemuda Tibet itu.
Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja kalau Hartawan Ji menghasutnya dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apalagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya mendendam kepada Pangeran Tao Kuang.
Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya. Sepatutnya Pangeran Tao Seng tidak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andaikata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.
Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, dia melihat Hartawan JI sedang makan minum bersama seorang pemuda yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram.
Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang telah dikuasai oieh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja.
Kedatangannya disambut oleh Hartawan Ji. Hartawan Ji menceritakan tentang kunjungan Keng Han dan menceritakan tentang siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.
Mendengar ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri cepat keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.
Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang. Dia melihat apa yang terjadi mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota.
Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, bersiap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding dengan Gulam Sang.
“Kenapa repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan.
Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata,
“Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”
“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu ayah kandungnya, dia akan mentaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Kalau itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”
“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan Gulam Sang.” jawab Ji Wan-gwe dengan girang.
Biarpun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.
Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan karena sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tidak segan mempergunakan segala macam cara.
Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang kini memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapat kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya. Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya.
Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut. Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata,
“Ah, kiranya engkau sudah kembali. Tao kongcu? Silahkan duduk!”
Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.
“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silahkan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”
Akan tetapi Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak dan memberikan kepada Keng Han.
“Ah, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silahkan, Kongcu!”
Bagaimanapun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, dan juga persoalannya belum jelas baginya siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang, Keng Han nengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Mata Gulam Sang mencorong melihat ini, mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.
Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.
“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu. Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?”
”Tidak. Akan tetapi aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang.” kata Keng Han matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga dia menjadi resah juga.
“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”
“Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng! Benarkah dugaanku ini? Engkaulah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan ji! Nah, jawab sejujurnya benarkah demikian?”
Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberitahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar ini dan bertanya dengan suara heran.
“Eh, hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya,Tao Kongcu?”
“Sudahlah, tidak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangecan Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”
“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”
“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasut aku agar aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu, mempunyai ayah sepertimu!”
“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, kenapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota. Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil?
Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun?”
Keng Han diam saja. Biarpun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, namun mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.
“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Kalau mereka berdua tewas, aku sebagai pangeran tertua berhak atas tahta kerajaan!
Kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu agar engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”
“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.
“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”
“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”
Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis.
“Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”
“Aku minta kepadamu agar engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak memperdulikannya sama sekali!”
“Bodoh kau. Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.
“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga. Ikut denganku ke khitan menemui ibu!”
“Kalau aku tidak mau?”
“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.
Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap menantang.
“Enak saja engkau bicara, Keng Han! Hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”
“Ayahmu....?”
“Ya, aku adalah anak angkat Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti kepadanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”
“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya.
Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya.
Hebat dan dahsyat sekali serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han. Keng Han mengelak mundur dan karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, lalu menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.
"Trang.... trang....!”
Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat, Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu.
Pangeran Tao Seng sudah bangkit dan mundur mepet dinding. Demikian pula Liong Siok Hwa mundur dan gentar menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu.
Pertandingan itu memang hebat sekali. Gulam Sang adalah seorang murid dari Dalai Lama yang selain mempelajari ilmu silat tinggi juga telah memiliki tenaga sakti yang ampuh, diperkuat pula oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi, berhadapan dengan Keng Han, dia tidak dapat mempergunakan ilmu sihirnya. Orang yang sudah memiliki tenaga sinkang sekuat Keng Han, tidak dapat dipengaruhi sihir lagi. Maka Gulam Sang hanya mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan aneh gerakannya.
“Heiiiiittttt....!” Pedang Gulam Sang menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Keng Han.
“Hemmm....!”
Keng Han mengelak ke kiri sambil menorehkan pedang bengkoknya ke arah lengan lawan yang memegang pedang. Namun Gulam Sang sudah menarik lengannya, kemudian tubuhnya merendah dan pedangnya membabat ke arah kedua kaki Keng Han.
“Hiaaaaattt....!” Gulam Sang berteriak dengan pengaruh sihir, “Robohlah engkau!”
Keng Han merasa jantungnya tergetar akan tetapi tidak terpengaruh oleh teriakan itu. Dia meloncat tinggi ke udara untuk menghindarkan kedua kakinya yang dibabat pedang, lalu berjungkir balik dan menukik dengan kepala ke bawah, pedangnya menikam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Gulam Sang.
“Wuttttt.... tranggg....!”
Bunga api berpijar ketika pedang bertemu dan sekali ini Gulam Sang agak terhuyung, akan tetapi Keng Han juga harus berjungkir balik untuk mematahkan tenaga dorongan pedang dari bawah yang menangkisnya.
Keduanya sudah berhadapan lagi dan saling menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, kini Keng Han mulai memainkan ilmunya yang hebat yaitu Hong-In Bun-hoat. Pedang bengkoknya membuat coretan-coretan di udara seperti orang menulis huruf, akan tetapi akibatnya, permainan pedang Gulam Sang menjadi kacau. Dia dikacaukan oleh gerakan pedang di tangan Keng Han. Dan setiap serangannya selalu dapat ditangkis lawan, bahkan lawan membalas kontan dengan cepat dan dengan gerakan sambung menyambung yang aneh sekali sehingga tak lama kemudian Gulam Sang sudah terdesak hebat oleh Keng Han. Dia kini hanya mampu menangkis dan mengelak dengan repot sekali oleh permainan pedang lawan.
Pada saat itu, Pangeran Tao Seng memberi isyarat dan muncullah tiga orang datuk yang sejak tadi sudah mengintai dan menunggu isyarat dari sang pangeran. Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin sudah berada di situ. Lam-hai Koai-jin yang masih memandang rendah Keng Han, sudah menerjang dengan senjata ruyungnya.
“Tranggg....!”
Pedang Keng Han dan ruyung bertemu dan akibatnya, keduanya mundur dua langkah. Baru kini Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ. Melihat Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo barulah dia tahu benar akan kekuatan persekutuan itu. Ternyata ayahnya itu telah mempergunakan orang-orang dari golongan sesat untuk membantunya. Dan dia maklum bahwa kalau dia harus menghadapi empat orang ini sekaligus, tidak mungkin dia akan menang. Mereka terlampau kuat dan paling bisa dia melawan dua orang di antara mereka. Pikiran Keng Han bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan meloncat ke dekat ayahnya.
“Jangan mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.
“Biarkan kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!”
Dia teringat akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng! Ayahnya sendiri.
Memang dalam keadaan terdesak, apalagi menghadapi pengeroyokan yang curang, dia boleh saja menggunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini, dia menangkap ayahnya sendiri bukan saja untuk membebaskan diri dari pengeroyokan, melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!
Benar saja. Tiga orang datuk itu tak berani bergerak ketika melihat Keng Han menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang menodong Pangeran Tao Seng menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.
“Sam-wi Locianpwe (ketiga orang tua gagah), mari kita serang dia! Dia tidak akan membunuh ayahnya sendiri!”
Tiba-tiba Gulam Sang berteriak dan menyerangnya dengan pedang. Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang sedemikian cerdiknya. Memang, bagaimanapun dia tidak mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak saja. Tung-hai Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan pedangnya dan Lam-hai Koai-jin menggerakkan ruyungnya menyerang kepada Keng Han.
Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan pegangannya pada lengan ayahnya. Merasa dirinya dilepas Pangeran Tao Seng lalu meloncat menjauhkan diri. Kini Keng Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang amat lihai sehingga dia mulai terdesak hebat.
“Jangan bunuh dia! Tangkap saja, jangan sekali-kali bunuh dia!” teriak Pangeran Tao Seng.
Dia masih mengharapkan puteranya itu berubah pikirannya dan mau membantunya. Bagaimanapun, Keng Han adalah putera kandungnya dan ternyata ilmu kepandaiannya melebihi Gulam Sang!
Empat orang itu mendengar seruan ini dan mereka pun membatasi serangan mereka. Biarpun demikian, tetap saja Keng Han terkepung ketat sekali oleh empat orang itu dan setelah dia dapat membela diri sampai hampir seratus jurus, ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin mengenai punggungnya, membuat dia terhuyung.
Ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin menyerang terus dengan dorongan ke arah dada. Keng Han mengelak, akan tetapi dayung baja di tangan Tung-hai Lo-mo menghantam dari belakang mengenai pahanya dan Keng Han roboh terpelanting. Sebelum dia dapat meloncat bangun, pedang Gulam Sang sudah menempel di lehernya, juga pedang Swat-hai Lo-kwi telah mengancam dadanya.
Keng Han maklum bahwa dia telah kalah dan tertawan. Gulam Sang segera mengikat kaki tangannya dan dia pun dibawa ke dalam kamar tahanan yang berada di belakang rumah Hartawan Ji. Kamar tahanan itu kokoh kuat dan di jaga oleh belasan orang anak buah Gulam Sang.
“Ayah, Keng Han itu amat berbahaya, apakah tidak sebaiknya kalau dia dibunuh saja?” tanya Gulam Sang kepada Pangeran Tao Seng setelah mereka semua kembali berunding.
“Jangan! Aku menyayangkan ilmu kepandaiannya yang hebat. Akan kubujuk dia agar mau membantu. Dia akan merupakan tenaga bantuan yang penting sekali.” jawab sang pangeran.
“Bagaimana kalau dia tidak mau?”
“Kalau dia keras kepala dan tidak dapat dibujuk, maka kuserahkan dia kepadamu.”
Gulam Sang nampak gembira sekali. Pemuda ini ingin sekali dapat membunuh Keng Han karena diam-diam dia merasa khawatir kalau-kalau ayah angkatnya menerima Keng Han sebagai puteranya dan tentu kedudukannya akan kalah oleh anak kandung itu. Keng Han merupakan duri dalam daging baginya yang harus dilenyapkan.
“Akan tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Kita berikan racun perampas ingatan darimu itu. Kalau sampai dia hilang ingatan, tentu dia tidak mempunyai niat macam-macam lagi dan akan tunduk kepada semua perintah kita.”
Gulam Sang mengerutkan alisnya. Dia teringat betapa Keng Han sudah minum racun itu yang dicampurkan dalam arak yang disuguhkan kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa pemuda itu keracunan! Mungkin racunnya kurang banyak, demikian pikirnya.
“Baik, akan saya laksanakan dan mencampurkan racun perampas ingatan di dalam makanan dan minumannya.”
Pada keesokan harinya, Keng Han duduk bersila dalam kamar tahanannya. Kaki tangannya tidak dibelenggu, akan tetapi kaki tangannya dipasangi rantai yang terikat pada dinding sehingga dia tidak akan dapat melarikan diri. Rantai itu terbuat dari baja dan tebal sekali tak mungkin diipatahkan.
Keng Han juga tidak bodoh untuk mencoba mematahkan rantai itu. Penjaga banyak terdapat di luar tahanan dan di sana masih terdapat empat orang sakti itu. Dia tidak mungkin dapat melawan mereka kalau mereka maju bersama. Dia hanya menanti saatnya untuk dapat meloloskan dirinya. Maka, dia pun menjaga kesehatan dan tenaganya dan dia makan semua makanan dan minuman yang dihidangkan walaupun dia dapat menduga bahwa makanan dan minuman itu dicampuri racun. Dia tidak takut akan segala racun. Tubuhnya kebal terhadap segala macam racun. Asal saja mereka tidak mempergunakan asap pembius, pikirnya.
Pernah dia tertawan karena ledakan asap pembius yang dipergunakan orang-orang Kwi-kiam-pang. Akan tetapi kalau racun itu masuk ke tubuhnya melalui makanan, atau melalui luka, dia tidak akan terpengaruh. Darahnya memiliki daya menolak pengaruh racun itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Pangeran Tao Seng sudah mengunjungi kamar tahanannya.
“Anakku, kenapa engkau berkeras hati? Aku adalah ayah kandungmu. Engkau darah dagingku. Sungguh sengsara hatiku melihat engkau tertawan seperti ini. Anakku, kenapa engkau tidak mau membantu gerakanku? Katakanlah bahwa engkau akan membantuku dan kau akan dibebaskan dan menjadi puteraku yang tersayang dan terpercaya.”
Hati Keng Han panas sekali mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya sudah kecewa sekali melihat orang yang menjadi ayah kandungnya. Ternyata orang itu licik dan curang.
“Aku memang puteramu dan engkau adalah ayah kandungku. Akan tetapi kalau engkau berpikir bahwa aku akan membantu engkau melakukan kejahatan, engkau mimpi di siang hari. Sampai mati sekalipun aku tidak ingin membantumu. Sebaliknya engkau yang menyadari kekeliruan tindakanmu dan ikut dengan aku menemui ibu. Kalau engkau mau melakukan itu, tentu aku akan menganggap engkau seorang ayah yang telah bertaubat dan baik, dan aku akan berbakti kepadamu.”
“Jangan khawatir, Keng Han anakku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, pasti aku akan memboyong ibumu ke istanaku. Aku juga amat mencinta ibumu.” Pangeran Tao Seng membujuk.
“Sudahlah, tidak perlu membujukku lebih lanjut. Akan sia-sia saja. Biarpun engkau ayah kandungku, akan tetapi kalau kau lanjutkan usahamu untuk berkhianat dan memberontak, aku akan berdiri di pihak Kaisar kakekku dan Pangeran Mahkota Tao Kuang pamanku.”
Pangeran Tao Seng meninggalkan tempat tahanan itu dengan muka merah karena marah, Akan tetapi dia tidak putus asa dan mengharapkan agar racun perampas ingatan dari Gulam Sang itu akan bekerja dengan baik sehingga dia dapat membujuk puteranya itu.
Pada malam kedua, sesosok bayangan putih barkelebat di atas pagar tembok di belakang rumah Hartawan Ji. Bayangan ini bukan lain adalah Cu In. Setelah mendapatkan keterangan dari The-ciangkun di mana letak rumah Hartawan Ji, Cu In datang berkunjung pada malam itu.
“Ah, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silahkan, Kongcu!”
Bagaimanapun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, dan juga persoalannya belum jelas baginya siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang, Keng Han nengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Mata Gulam Sang mencorong melihat ini, mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.
Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.
“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu. Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?”
”Tidak. Akan tetapi aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang.” kata Keng Han matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga dia menjadi resah juga.
“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”
“Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng! Benarkah dugaanku ini? Engkaulah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan ji! Nah, jawab sejujurnya benarkah demikian?”
Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberitahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang. Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar ini dan bertanya dengan suara heran.
“Eh, hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya,Tao Kongcu?”
“Sudahlah, tidak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangecan Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”
“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”
“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasut aku agar aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu, mempunyai ayah sepertimu!”
“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, kenapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota. Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil?
Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun?”
Keng Han diam saja. Biarpun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, namun mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.
“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Kalau mereka berdua tewas, aku sebagai pangeran tertua berhak atas tahta kerajaan!
Kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu agar engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”
“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.
“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”
“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”
Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis.
“Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”
“Aku minta kepadamu agar engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak memperdulikannya sama sekali!”
“Bodoh kau. Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.
“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga. Ikut denganku ke khitan menemui ibu!”
“Kalau aku tidak mau?”
“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.
Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkat dan sikap menantang.
“Enak saja engkau bicara, Keng Han! Hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”
“Ayahmu....?”
“Ya, aku adalah anak angkat Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti kepadanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”
“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya.
Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya.
Hebat dan dahsyat sekali serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han. Keng Han mengelak mundur dan karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, lalu menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.
"Trang.... trang....!”
Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat, Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu.
Pangeran Tao Seng sudah bangkit dan mundur mepet dinding. Demikian pula Liong Siok Hwa mundur dan gentar menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu.
Pertandingan itu memang hebat sekali. Gulam Sang adalah seorang murid dari Dalai Lama yang selain mempelajari ilmu silat tinggi juga telah memiliki tenaga sakti yang ampuh, diperkuat pula oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi, berhadapan dengan Keng Han, dia tidak dapat mempergunakan ilmu sihirnya. Orang yang sudah memiliki tenaga sinkang sekuat Keng Han, tidak dapat dipengaruhi sihir lagi. Maka Gulam Sang hanya mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan aneh gerakannya.
“Heiiiiittttt....!” Pedang Gulam Sang menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Keng Han.
“Hemmm....!”
Keng Han mengelak ke kiri sambil menorehkan pedang bengkoknya ke arah lengan lawan yang memegang pedang. Namun Gulam Sang sudah menarik lengannya, kemudian tubuhnya merendah dan pedangnya membabat ke arah kedua kaki Keng Han.
“Hiaaaaattt....!” Gulam Sang berteriak dengan pengaruh sihir, “Robohlah engkau!”
Keng Han merasa jantungnya tergetar akan tetapi tidak terpengaruh oleh teriakan itu. Dia meloncat tinggi ke udara untuk menghindarkan kedua kakinya yang dibabat pedang, lalu berjungkir balik dan menukik dengan kepala ke bawah, pedangnya menikam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Gulam Sang.
“Wuttttt.... tranggg....!”
Bunga api berpijar ketika pedang bertemu dan sekali ini Gulam Sang agak terhuyung, akan tetapi Keng Han juga harus berjungkir balik untuk mematahkan tenaga dorongan pedang dari bawah yang menangkisnya.
Keduanya sudah berhadapan lagi dan saling menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, kini Keng Han mulai memainkan ilmunya yang hebat yaitu Hong-In Bun-hoat. Pedang bengkoknya membuat coretan-coretan di udara seperti orang menulis huruf, akan tetapi akibatnya, permainan pedang Gulam Sang menjadi kacau. Dia dikacaukan oleh gerakan pedang di tangan Keng Han. Dan setiap serangannya selalu dapat ditangkis lawan, bahkan lawan membalas kontan dengan cepat dan dengan gerakan sambung menyambung yang aneh sekali sehingga tak lama kemudian Gulam Sang sudah terdesak hebat oleh Keng Han. Dia kini hanya mampu menangkis dan mengelak dengan repot sekali oleh permainan pedang lawan.
Pada saat itu, Pangeran Tao Seng memberi isyarat dan muncullah tiga orang datuk yang sejak tadi sudah mengintai dan menunggu isyarat dari sang pangeran. Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin sudah berada di situ. Lam-hai Koai-jin yang masih memandang rendah Keng Han, sudah menerjang dengan senjata ruyungnya.
“Tranggg....!”
Pedang Keng Han dan ruyung bertemu dan akibatnya, keduanya mundur dua langkah. Baru kini Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ. Melihat Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo barulah dia tahu benar akan kekuatan persekutuan itu. Ternyata ayahnya itu telah mempergunakan orang-orang dari golongan sesat untuk membantunya. Dan dia maklum bahwa kalau dia harus menghadapi empat orang ini sekaligus, tidak mungkin dia akan menang. Mereka terlampau kuat dan paling bisa dia melawan dua orang di antara mereka. Pikiran Keng Han bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan meloncat ke dekat ayahnya.
“Jangan mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.
“Biarkan kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!”
Dia teringat akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng! Ayahnya sendiri.
Memang dalam keadaan terdesak, apalagi menghadapi pengeroyokan yang curang, dia boleh saja menggunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini, dia menangkap ayahnya sendiri bukan saja untuk membebaskan diri dari pengeroyokan, melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!
Benar saja. Tiga orang datuk itu tak berani bergerak ketika melihat Keng Han menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang menodong Pangeran Tao Seng menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.
“Sam-wi Locianpwe (ketiga orang tua gagah), mari kita serang dia! Dia tidak akan membunuh ayahnya sendiri!”
Tiba-tiba Gulam Sang berteriak dan menyerangnya dengan pedang. Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang sedemikian cerdiknya. Memang, bagaimanapun dia tidak mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak saja. Tung-hai Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan pedangnya dan Lam-hai Koai-jin menggerakkan ruyungnya menyerang kepada Keng Han.
Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan pegangannya pada lengan ayahnya. Merasa dirinya dilepas Pangeran Tao Seng lalu meloncat menjauhkan diri. Kini Keng Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang amat lihai sehingga dia mulai terdesak hebat.
“Jangan bunuh dia! Tangkap saja, jangan sekali-kali bunuh dia!” teriak Pangeran Tao Seng.
Dia masih mengharapkan puteranya itu berubah pikirannya dan mau membantunya. Bagaimanapun, Keng Han adalah putera kandungnya dan ternyata ilmu kepandaiannya melebihi Gulam Sang!
Empat orang itu mendengar seruan ini dan mereka pun membatasi serangan mereka. Biarpun demikian, tetap saja Keng Han terkepung ketat sekali oleh empat orang itu dan setelah dia dapat membela diri sampai hampir seratus jurus, ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin mengenai punggungnya, membuat dia terhuyung.
Ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin menyerang terus dengan dorongan ke arah dada. Keng Han mengelak, akan tetapi dayung baja di tangan Tung-hai Lo-mo menghantam dari belakang mengenai pahanya dan Keng Han roboh terpelanting. Sebelum dia dapat meloncat bangun, pedang Gulam Sang sudah menempel di lehernya, juga pedang Swat-hai Lo-kwi telah mengancam dadanya.
Keng Han maklum bahwa dia telah kalah dan tertawan. Gulam Sang segera mengikat kaki tangannya dan dia pun dibawa ke dalam kamar tahanan yang berada di belakang rumah Hartawan Ji. Kamar tahanan itu kokoh kuat dan di jaga oleh belasan orang anak buah Gulam Sang.
“Ayah, Keng Han itu amat berbahaya, apakah tidak sebaiknya kalau dia dibunuh saja?” tanya Gulam Sang kepada Pangeran Tao Seng setelah mereka semua kembali berunding.
“Jangan! Aku menyayangkan ilmu kepandaiannya yang hebat. Akan kubujuk dia agar mau membantu. Dia akan merupakan tenaga bantuan yang penting sekali.” jawab sang pangeran.
“Bagaimana kalau dia tidak mau?”
“Kalau dia keras kepala dan tidak dapat dibujuk, maka kuserahkan dia kepadamu.”
Gulam Sang nampak gembira sekali. Pemuda ini ingin sekali dapat membunuh Keng Han karena diam-diam dia merasa khawatir kalau-kalau ayah angkatnya menerima Keng Han sebagai puteranya dan tentu kedudukannya akan kalah oleh anak kandung itu. Keng Han merupakan duri dalam daging baginya yang harus dilenyapkan.
“Akan tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Kita berikan racun perampas ingatan darimu itu. Kalau sampai dia hilang ingatan, tentu dia tidak mempunyai niat macam-macam lagi dan akan tunduk kepada semua perintah kita.”
Gulam Sang mengerutkan alisnya. Dia teringat betapa Keng Han sudah minum racun itu yang dicampurkan dalam arak yang disuguhkan kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa pemuda itu keracunan! Mungkin racunnya kurang banyak, demikian pikirnya.
“Baik, akan saya laksanakan dan mencampurkan racun perampas ingatan di dalam makanan dan minumannya.”
Pada keesokan harinya, Keng Han duduk bersila dalam kamar tahanannya. Kaki tangannya tidak dibelenggu, akan tetapi kaki tangannya dipasangi rantai yang terikat pada dinding sehingga dia tidak akan dapat melarikan diri. Rantai itu terbuat dari baja dan tebal sekali tak mungkin diipatahkan.
Keng Han juga tidak bodoh untuk mencoba mematahkan rantai itu. Penjaga banyak terdapat di luar tahanan dan di sana masih terdapat empat orang sakti itu. Dia tidak mungkin dapat melawan mereka kalau mereka maju bersama. Dia hanya menanti saatnya untuk dapat meloloskan dirinya. Maka, dia pun menjaga kesehatan dan tenaganya dan dia makan semua makanan dan minuman yang dihidangkan walaupun dia dapat menduga bahwa makanan dan minuman itu dicampuri racun. Dia tidak takut akan segala racun. Tubuhnya kebal terhadap segala macam racun. Asal saja mereka tidak mempergunakan asap pembius, pikirnya.
Pernah dia tertawan karena ledakan asap pembius yang dipergunakan orang-orang Kwi-kiam-pang. Akan tetapi kalau racun itu masuk ke tubuhnya melalui makanan, atau melalui luka, dia tidak akan terpengaruh. Darahnya memiliki daya menolak pengaruh racun itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Pangeran Tao Seng sudah mengunjungi kamar tahanannya.
“Anakku, kenapa engkau berkeras hati? Aku adalah ayah kandungmu. Engkau darah dagingku. Sungguh sengsara hatiku melihat engkau tertawan seperti ini. Anakku, kenapa engkau tidak mau membantu gerakanku? Katakanlah bahwa engkau akan membantuku dan kau akan dibebaskan dan menjadi puteraku yang tersayang dan terpercaya.”
Hati Keng Han panas sekali mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya sudah kecewa sekali melihat orang yang menjadi ayah kandungnya. Ternyata orang itu licik dan curang.
“Aku memang puteramu dan engkau adalah ayah kandungku. Akan tetapi kalau engkau berpikir bahwa aku akan membantu engkau melakukan kejahatan, engkau mimpi di siang hari. Sampai mati sekalipun aku tidak ingin membantumu. Sebaliknya engkau yang menyadari kekeliruan tindakanmu dan ikut dengan aku menemui ibu. Kalau engkau mau melakukan itu, tentu aku akan menganggap engkau seorang ayah yang telah bertaubat dan baik, dan aku akan berbakti kepadamu.”
“Jangan khawatir, Keng Han anakku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, pasti aku akan memboyong ibumu ke istanaku. Aku juga amat mencinta ibumu.” Pangeran Tao Seng membujuk.
“Sudahlah, tidak perlu membujukku lebih lanjut. Akan sia-sia saja. Biarpun engkau ayah kandungku, akan tetapi kalau kau lanjutkan usahamu untuk berkhianat dan memberontak, aku akan berdiri di pihak Kaisar kakekku dan Pangeran Mahkota Tao Kuang pamanku.”
Pangeran Tao Seng meninggalkan tempat tahanan itu dengan muka merah karena marah, Akan tetapi dia tidak putus asa dan mengharapkan agar racun perampas ingatan dari Gulam Sang itu akan bekerja dengan baik sehingga dia dapat membujuk puteranya itu.
Pada malam kedua, sesosok bayangan putih barkelebat di atas pagar tembok di belakang rumah Hartawan Ji. Bayangan ini bukan lain adalah Cu In. Setelah mendapatkan keterangan dari The-ciangkun di mana letak rumah Hartawan Ji, Cu In datang berkunjung pada malam itu.