Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan yatim piatu.
Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain. Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.
Sebuah kereta meluncur berpapasan dengannya. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.
“Enci Cu In....! Enci Cu In....!”
Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan ia segera mengenal gadis yang memanggilnya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu dan gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya. Dan ia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa ia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah!
Biarpun pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In, maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya ia pun segera menghampiri kereta itu. Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.
“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, ini adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.
Mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.
“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilahkan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”
“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”
Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.
Biarpun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.
“Enci Cu In, apakah engkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.
“Ah, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.
“Cadarmu itu mengingatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kutemui.” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In.
Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu. Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya diangap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar sejak menjadi gadis remaja.
Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta kepadanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh! Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria jatuh cinta kepadanya ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti sucinya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya.
Dan teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!
Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya karena dia pernah disakiti hatinya oleh seorang laki-laki. Ia sendiri selama ini tidak pernah merasa benci kepada laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik. ’
Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan sucinya, ketika sucinya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta sucinya, cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah sucinya membunuh Keng Han.
Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat. hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam gua, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu, namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanam gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.
Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur dan ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!
“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya.
Han Li melihat betapa pandang mata Cui In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.
Cu In tersentak kaget dan baru sadar, teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
“Ah, cadarku ini.... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu.” jawabnya terpaksa sekali.
“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.
“Aku.... sama sekali tidak cantik, aku.... mukaku buruk sekali.” kata Cu In dengan terpatah-patah.
Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu melihat sikap yang gugup dari Cu In, segera berkata,
“Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tidak akan memaksamu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”
Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain. Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.
Sebuah kereta meluncur berpapasan dengannya. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya.
“Enci Cu In....! Enci Cu In....!”
Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan ia segera mengenal gadis yang memanggilnya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu dan gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya. Dan ia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa ia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah!
Biarpun pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In, maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya ia pun segera menghampiri kereta itu. Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.
“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, ini adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.
Mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong.
“Aku sudah mendengar tentang dirimu, enci Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilahkan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”
“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”
Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.
Biarpun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja.
“Enci Cu In, apakah engkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.
“Ah, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.
“Cadarmu itu mengingatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kutemui.” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In.
Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu. Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya diangap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar sejak menjadi gadis remaja.
Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta kepadanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh! Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria jatuh cinta kepadanya ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti sucinya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya.
Dan teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya!
Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya karena dia pernah disakiti hatinya oleh seorang laki-laki. Ia sendiri selama ini tidak pernah merasa benci kepada laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik. ’
Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan sucinya, ketika sucinya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta sucinya, cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah sucinya membunuh Keng Han.
Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat. hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam gua, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu, namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanam gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat.
Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur dan ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!
“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya.
Han Li melihat betapa pandang mata Cui In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.
Cu In tersentak kaget dan baru sadar, teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.
“Ah, cadarku ini.... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu.” jawabnya terpaksa sekali.
“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.
“Aku.... sama sekali tidak cantik, aku.... mukaku buruk sekali.” kata Cu In dengan terpatah-patah.
Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu melihat sikap yang gugup dari Cu In, segera berkata,
“Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tidak akan memaksamu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”
Kwi Hong juga seorang gadis yang biarpun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata,
“Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, walaupun aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”
“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya”, kata Cu In.
Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kia-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi peteru mahkota itu. Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biarpun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.
Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.
“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong, dan mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak, Ia belum pernah bartemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa kedatangannya mengganggu.
“Hai, bukankah itu nona Souw?”
Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian LO Cit dan anak buahnya.
“Ayah, ini nona Sauw Cu In yang saya undang untuk berkunjung kesini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”
“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong.” Kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.
Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang.
“Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu.” Katanya lembut.
“Ah sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami dan malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”
“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.
“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan dan membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.
"Sekali ini engkau harus tidak menolaknya, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.
Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya.
“Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”
Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang diperuntukkannya tinggal semalam itu.
Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bumga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan dalam taman.
Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya di waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorng tokoh kang-ouw.
Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak Cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.
Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka mulai diayani para pelayan yang menqhidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.
Karena sudah biasa, maka dia tidak canggung makan, biarpun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang, cadarnya ikut bergerak-gerak ketika mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.
Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dan tahu-tahu tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.
“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.
Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang, pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.
Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya Sin-tung Koai-jin Liang Cun, maka dia pun cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
“Trang....!”
Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.
Keng Han terpaksa melompati meja ketika serangan pertamanya gagal. Dia juga terkejut ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Dan baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakalan pengemis!
Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta, dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum. Baru sekarang dia dapat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.
“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!”
Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biarpun tidak begitu lama meninggaikan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberitahukan alasannya yang kuat?
“Pangerah Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”
“Keterangan itu bohong!” Tiba-tiba Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selosin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku. Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”
Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur.
“Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan saja tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup, segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe “.
Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup.
“Tidak.... tidak benar.!”
“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan JI itu? Dia bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda!” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya dibohongi dan dipermainkan orang.
Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya. kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.
“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.
"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengar seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau puteranya! Akan tetapi engkau telah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”
Melihat semua orang berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana kalau semua keterangan ini benar? Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sukar baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang.
Pula dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan. Pangeran itu. Bahwa ayahnyalah yag jahat! Dan hatinya berdebar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahvwa ayah kandungnya sendiri menipunya agar dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa kecewa dan menyesal sekali.
“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.
“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran bukan karena mendengar omongan orang!”
Kaiong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ. Pangeran Tao kuang menarik napas panjang.
“Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang menjadi mata gelap mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”
“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong dan tidak seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong!
Tadi, begitu mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ah, betapa ia sudah tergila-gila dan mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!
“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya.” kata Pangeran Tao Kuang. “Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”
“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han ayah enci Han Li ini dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”
“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beritahukan aku dan Ibumu?”
"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberitahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”
“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi adalah karena dia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”
“Mungkin dia jerih melihat kehadiran kita semua.” kata Han Li.
“Ah, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”
“Aihhh...., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.
“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-ilmu Pulau Es, dan Keng Han Juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia menjadi murid suci-ku, pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”
“Pulau Hantu? Ibu yang pernah mampelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”
“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han seorang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”
“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.
Tak seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyatan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!
Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.
Cu In juga berpamit kepada Kwi Hong.
“Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimanapun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam disini, aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”
Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah di jaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.
Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya.
Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang besar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi di mana rumah Hartawan Ji ia tidak tahu dan tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.
Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah benar Pangeran Tao Sung difitnah oleh Pangeran Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang. Juga ayah kandung itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu tentang kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.
Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun, yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.
“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin, menghadap dan bicara dengannya.”
Para penjaga itu terheran-heran melihat seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima, akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.
Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan mengusir Cu In.
“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”
Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu, akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.
“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.
“Tapi, Ayah. Jangpn-jangan ia akan menyerang Ayah.” kata The Kong, khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.
“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”
Tak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In,
“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang hendak kau bicarakan denganku? Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”
Cu In duduk di atas bangku berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu bertanya, suaranya terdengar masih dingin,
“Mengapa engkau hendak mencariku?” Biarpun ia sudah tahu bahwa pria ini ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.
“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Pula, ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau, kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah kepadanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”?
”Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.
Cu In menghela napas panjang.
“Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”
“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.
“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng di jatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”
“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”
“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”
“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”
Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.
“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”
The-ciangkun menggeleng kepalanya dan tertawa.
“Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Pangeran Tao Seng tidak ada yang membunuh dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang dia masih hidup!”
“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji. di kota raja ini?”
The-ciangkun membelalakkan matanya.
“Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”
“Dimana rumahnya?”
“Rumahnya mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”
Cu In bangkit berdiri.
“Terima kasih atas segala keterangan ini. Aku harus pergi sekarang.”
The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri.
“Ehhh, Cu In, engkau akan pergi kemana? Tinggallah saja di sini dan kalau ada urusan, beritahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”
Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya.
“Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri, tanpa bantun siapa pun.”
“Akan tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”
“Benar, enci Cu In. Atau, kalau engkau tidak mau tinggal di dini saja dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.
“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”
“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau bertanya-tanya tentang Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, kuharap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah, Pangeran Tao Seng seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biarpun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”
“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!”
Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu. Ayah dan anak itu mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Para penjaga yang melihat gadis itu keluar diantar oleh The-ciangkun sendiri, diam saja tidak berani mengganggunya.
“Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, walaupun aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”
“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya”, kata Cu In.
Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang memasuki taman itu, berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kia-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi peteru mahkota itu. Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biarpun dia hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tidak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya untuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.
Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.
“Itu ayah datang!” kata Kwi Hong, dan mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak, Ia belum pernah bartemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa kedatangannya mengganggu.
“Hai, bukankah itu nona Souw?”
Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian LO Cit dan anak buahnya.
“Ayah, ini nona Sauw Cu In yang saya undang untuk berkunjung kesini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”
“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong.” Kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri.
Cu In bangkit dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang.
“Harap Paduka suka memaafkan kalau kedatangan saya ini menganggu.” Katanya lembut.
“Ah sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami dan malam nanti kami akan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.”
“Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.
“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah sinar bulan dan membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.
"Sekali ini engkau harus tidak menolaknya, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.
Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya.
“Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”
Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan dalam taman bersama Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengantar Cu In ke dalam sebuah kamar yang diperuntukkannya tinggal semalam itu.
Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bumga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan dalam taman.
Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya di waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorng tokoh kang-ouw.
Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak Cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah.
Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka mulai diayani para pelayan yang menqhidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.
Karena sudah biasa, maka dia tidak canggung makan, biarpun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang disumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang, cadarnya ikut bergerak-gerak ketika mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.
Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dan tahu-tahu tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.
“Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han.
Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang, pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.
Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya Sin-tung Koai-jin Liang Cun, maka dia pun cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
“Trang....!”
Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.
Keng Han terpaksa melompati meja ketika serangan pertamanya gagal. Dia juga terkejut ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Dan baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakalan pengemis!
Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar biasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta, dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum. Baru sekarang dia dapat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.
“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayahku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!”
Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biarpun tidak begitu lama meninggaikan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberitahukan alasannya yang kuat?
“Pangerah Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”
“Keterangan itu bohong!” Tiba-tiba Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selosin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku. Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”
Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur.
“Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng”
“Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan saja tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup, segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe “.
Keng Han yang tadinya hendak melarikan diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup.
“Tidak.... tidak benar.!”
“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan JI itu? Dia bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda!” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya dibohongi dan dipermainkan orang.
Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya. kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.
“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.
"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengar seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau puteranya! Akan tetapi engkau telah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”
Melihat semua orang berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana kalau semua keterangan ini benar? Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sukar baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang.
Pula dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan. Pangeran itu. Bahwa ayahnyalah yag jahat! Dan hatinya berdebar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahvwa ayah kandungnya sendiri menipunya agar dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa kecewa dan menyesal sekali.
“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.
“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran bukan karena mendengar omongan orang!”
Kaiong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ. Pangeran Tao kuang menarik napas panjang.
“Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti itu. Kasihan keponakanku yang menjadi mata gelap mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”
“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong dan tidak seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong!
Tadi, begitu mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ah, betapa ia sudah tergila-gila dan mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!
“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya.” kata Pangeran Tao Kuang. “Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”
“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han ayah enci Han Li ini dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”
“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kau beritahukan aku dan Ibumu?”
"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberitahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”
“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi adalah karena dia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”
“Mungkin dia jerih melihat kehadiran kita semua.” kata Han Li.
“Ah, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”
“Aihhh...., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.
“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-ilmu Pulau Es, dan Keng Han Juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia menjadi murid suci-ku, pernah bercerita kepadaku bahwa dia memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”
“Pulau Hantu? Ibu yang pernah mampelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita tentang adanya Pulau Hantu.”
“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han seorang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”
“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih.
Tak seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyatan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!
Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.
Cu In juga berpamit kepada Kwi Hong.
“Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimanapun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam disini, aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”
Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah di jaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja.
Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya.
Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang besar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi di mana rumah Hartawan Ji ia tidak tahu dan tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya.
Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah benar Pangeran Tao Sung difitnah oleh Pangeran Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang. Juga ayah kandung itu tentu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu tentang kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.
Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun, yang baru siang tadi ia tinggalkan. Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka.
“Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin, menghadap dan bicara dengannya.”
Para penjaga itu terheran-heran melihat seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima, akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun.
Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan mengusir Cu In.
“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”
Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu, akan tetapi dia kecelik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.
“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.
“Tapi, Ayah. Jangpn-jangan ia akan menyerang Ayah.” kata The Kong, khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.
“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tentu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”
Tak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In,
“Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang hendak kau bicarakan denganku? Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”
Cu In duduk di atas bangku berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu bertanya, suaranya terdengar masih dingin,
“Mengapa engkau hendak mencariku?” Biarpun ia sudah tahu bahwa pria ini ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.
“Mengapa, Cu In? Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Pula, ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau, kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah kepadanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”?
”Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.
Cu In menghela napas panjang.
“Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”
“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kau ketahui tentang Pangeran Tao Seng?” tanya The-ciangkun heran.
“Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng di jatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”
“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”
“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”
“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”
Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.
“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”
The-ciangkun menggeleng kepalanya dan tertawa.
“Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Pangeran Tao Seng tidak ada yang membunuh dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang dia masih hidup!”
“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji. di kota raja ini?”
The-ciangkun membelalakkan matanya.
“Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”
“Dimana rumahnya?”
“Rumahnya mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”
Cu In bangkit berdiri.
“Terima kasih atas segala keterangan ini. Aku harus pergi sekarang.”
The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri.
“Ehhh, Cu In, engkau akan pergi kemana? Tinggallah saja di sini dan kalau ada urusan, beritahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”
Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya.
“Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri, tanpa bantun siapa pun.”
“Akan tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”
“Benar, enci Cu In. Atau, kalau engkau tidak mau tinggal di dini saja dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.
“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”
“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau bertanya-tanya tentang Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, kuharap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah, Pangeran Tao Seng seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biarpun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”
“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!”
Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu. Ayah dan anak itu mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Para penjaga yang melihat gadis itu keluar diantar oleh The-ciangkun sendiri, diam saja tidak berani mengganggunya.
**** 31 ****