Ads

Jumat, 02 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 012

Akan tetapi, melihat sikap Bi Li dan mendengar bentakan wanita yang berkerudung dan mengaku bernama Kam Sian Eng itu, mereka menjadi lega hati. Jelas bahwa biarpun wanita yang ke dua itu mempunyai suami anggauta Khong-sim Kai-pang, namun si wanita aneh yang sakti itu sama sekali tidak bersahabat dengan Khong-sim Kai-pang. Biarpun tubuh mereka masih kaku dan tak mampu bergerak, namun pengemis yang tertua diantara mereka, yang hidungnya bengkok seperti hidung kukuk beluk berkata merendah,

“Mohon maaf sebanyaknya kepada Cianpwe yang mulia. Karena tidak tahu dan belum mengenal, boanpwe berlima berani mati lancang memasuki wilayah Cianpwe. Hendaknya Ciancwe memaklumi bahwa boanpwe berlima adalah pimpinan perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Garuda Hitam) yang masih berada di bawah lindungan yang mulia Bu-tek Siu-lam! Maka boanpwe berlima mengharap sudilah kiranya Cianpwe melihat muka Ciangbujin (Pemimpin Besar) Bu-tek Siu-lam untuk mengampuni dan membebaskan boanpwe berlima!”

Sian Eng mengerutkan keningnya. Diam-diam ia merasa geli mendengar betapa lima orang kakek itu menyebutnya cianpwe, sebutan bagi tokoh-tokoh tinggi dunia persilatan dan menyebut diri boanpwe, sikap yang amat merendahkan sekali. Akan tetapi ia heran mendengar nama Bu-tek Siu-lam (Laki-laki Tampan Tanpa Tanding). Siapakah itu? Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri sehingga tidak melihat perubahan di dalam dunia kang-ouw, tidak mengenal tokoh-tokoh barunya.

“Siapakah dia yang berjuluk Bu-tek Siu-lam itu?” tanyanya tanpa disengaja karena pertanyaan dalam hati ini terlontar keluar melalui bibirnya.

Lima orang pengemis tua baju bersih itu saling pandang dengan heran dan juga kecewa. Benarkah ada orang di dunia kang-ouw ini yang belum mengenal nama Bu-tek Siu-lam? Dan wanita aneh ini demikian sakti! Tapi mungkin belum memasuki dunia kang-ouw. Karena ini, Si Hidung Bengkok segera berkata, sengaja mengangkat-angkat nama besar Bu-tek Siu-lam untuk menimbulkan kesan mendalam.

“Beliau adalah tokoh tertinggi di dunia kang-ouw yang datang dari dunia barat. Semua perkumpulan pengemis baju bersih berada dibawah perlindungan beliau, dan boanpwe yakin bahwa kelak beliaulah yang akan menjadi pemimpin besar semua kai-pang! Juga dalam pemilihan tokoh-tokoh terbesar untuk memilih jagoan yang Thian-he-te-it (di Seluruh Dunia Nomor Satu) yang akan diadakan di puncak Cheng-liong-san pada malam tahun baru nanti, sudah dapat dipastikan bahwa Ciangbujin Bu-tek Siu-lam yang akan keluar sebagai juara, jagoan diantara segala datuk! Tapi.... eh, kecuali.... kalau Cianpwe ikut pula dalam kejuaraan itu, keadaan akan makin ramai.”

Demikian tambah Si Hidung Bengkok ketika melihat wajah di balik kerudung itu kelihatan tak senang.

“Aku tidak peduli segala macam Bu-tek Siu-lam! Kalian berlima sudah lancang berani menyerangku, berani memandang sebelah mata. Karena itu, kalian baru boleh pergi kalau kalian suka mencongkel keluar sebuah biji mata kalian!”

Lima orang pengemis itu terbelalak, dan muka mereka pucat. Keringat dingin mengalir keluar membasahi jidat dan leher. Sebuah biji mata disuruh cokel keluar? Siapa yang sudi? Sebelah tangan sudah dibuntungkan, kini sebelah mata diminta lagi! Mana ada aturan begini bocengli (kurang ajar)? Wanita aneh ini tidak takut kepada Bu-tek Siu-lam, berarti belum mengenal. Kalau belum kenal, belum tentu wanita ini benar-benar sakti.

Agaknya hanya memiliki Ilmu Tiam-hiat--hoat yang aneh sehingga mereka tadi menjadi korban totokan sebelum dapat bergerak banyak dan sebelum melihat sampai dimana tingkat ilmu kepandaian wanita berkerudung itu. Karena tidak terdapat jalan lain untuk menghindarkan diri daripada ancaman cokel mata, Si Hidung Bengkok lalu berkata, nadanya sengaja dikeluarkan untuk mengejek.

“Sebagai orang-orang kang-ouw kami tahu bahwa hukumnya adalah siapa kuat dia menang dan siapa kalah harus tunduk. Sayang sekali bahwa kami belum merasa dikalahkan, hanya dibuat tidak berdaya oleh serangan gelap. Sebagai tokoh-tokoh Hek-peng Kai-pang, kami mengandalkan keselamatan nyawa kami di ujung pedang. Siapa tahu, sebelum kami sempat mencabut pedang, kami mengalami penghinaan. Kalau sudah tertotok seperti ini, bicara pun kami tak berhak. Seorang kanak-kanak yang masih ingusan sekalipun dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap kami!”

Akal Si Hidung Bengkok ini berhasil baik sekali. Sian Eng menjadi merah mukanya dan sekali tubuhnya bergerak, tampak bayangan putih berkelebat. Ujung lengan bajunya menyambar dan lima orang kakek itu merasa betapa punggung belakang pusar mereka tertotok yang membuat tubuh mereka pulih seperti biasa. Serentak mereka berlima mencabut pedang dan membuat gerakan keliling, mengurung wanita berkerudung itu.

Sian Eng yang berdiri di tengah-tengah dalam keadaan terkurung, hanya memandang tanpa mengubah kedudukan badan dan tanpa menoleh. Hanya sepasang matanya di balik kerudung hitam itu yang melirik ke kanan kiri, kemudian tampak giginya berkilat putih ketika ia berkata,

“Kalian telah bebas. Pedang telah dicabut. Tidak lekas mencokel mata kanan kalian. Tunggu apa lagi?”

Ucapan yang menyakitkan hati ini merupakan komando bagi lima orang kakek pengemis itu untuk menerjang dengan hebat. Sian Eng dalam keadaan terkepung dan lima orang itu melakukan serangan berbareng. Lima buah pedang dengan tusukan dan bacokan kilat mengarah tubuhnya.






Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh dan lima orang pengemis terkejut ketika melihat bayangan putih melesat cepat dari tengah kepungan dan benar saja, ketika mereka melihat, ujung pedang mereka hanya mengenai tempat kosong dan lima buah pedang mereka hampir beradu sendiri dengan kawan. Cepat mereka menengok dan kiranya Sian Eng telah berdiri sambil bertolak pinggang di sebelah kiri sambil tersenyum mengejek.

Pengemis hidung bengkok yang berdiri paling dekat, cepat menerjangnya dengan pedang, diikuti oleh teman-temannya yang kini tidak mengurung lagi. Inilah yang dikehendaki Sian Eng, yaitu agar lima orang pengeroyoknya itu menyerangnya dengan susul menyusul, tidak berbareng seperti tadi.

Begitu pedang Si Hidung Bengkok menyambar, ia menggerakkan lengannya secara aneh. Pedang menusuk datang dan terdengarlah jerit mengerikan disusul robohnya tubuh pengemis hidung bengkok. Sian Eng tidak berhenti sampai disitu saja. Tubuhnya terus bergerak ke depan dan jerit kesakitan susul menyusul sehingga akhirnya empat orang pengemis yang lain juga roboh.

Hanya beberapa puluh detik saja terjadinya. Lima orang pengemis itu sendiri tidak tahu benar apa yang terjadi. Ketika mereka menyerang secara mendadak pedang mereka membalik dan mencokel mata mereka sendiri, mata kanan!

Kini Sian Eng berdiri tegak, memandang lima orang pengemis itu yang merangkak bangun sambil merintih-rintih. Tangan kanan mereka sebatas pergelangan telah buntung. Tadi mereka menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang, siapa kira, secara aneh sekali wanita sakti itu telah membuat pedang mereka membalik dan mencokel keluar biji mata kanan mereka dengan pedang mereka sendiri.

Setelah mereka mampu berdiri, lima orang pengemis tua yang terluka parah itu, berdiri memandang Sian Eng dengan mata sebelah mereka, memandang penuh kemarahan dan kebencian.

“Pergilah kalau tidak ingin mampus!” Sian Eng berkata dingin.

Lima orang pengemis itu ingin sekali menerjang mengadu nyawa. Akan tetapi kini maklumlah mereka bahwa terhadap wanita aneh ini mereka tidak berdaya sama sekali. Si Hidung Bengkok sambil meringis menahan sakit berkata,

“Akan kami laporkan bahwa engkau menantang ciangbujin kami Bu-tek Siu-lam!”

“Boleh! Suruh dia datang kesini, akan kubuntungi kedua tangannya dan kucokel keluar kedua biji matanya!” bentak Sian Eng.

Lima orang itu terkejut. Benar-benar wanita ini sudah gila, berani mengeluarkan kata-kata seperti itu terhadap Bu-tek Siu-lam yang sakti seperti dewa.

“Tunggulah dan kalau memang berani, datanglah kelak di puncak Cheng-liong-san!”

Sian Eng hanya tersenyum dan memandang lima orang itu yang pergi sambil meringis kesakitan. Setelah keadaan menjadi sunyi, barulah Sian Eng menoleh kepada Bi Li dan membentak,

“Apakah engkau hendak pergi pula meninggalkan aku?” Di dalam suaranya terkandung ancaman maut.

Bi Li menggeleng kepala, menyusut air matanya.
“Pergi kemana? Suamiku telah mati....! Tidak, aku tidak akan pergi dari sini, kecuali pergi ke akhirat. Tidak ada lagi yang kuharapkan.”

Mendengar jawaban ini, Sian Eng mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh mendirikan bulu roma. Kwi Lan mengerutkan keningnya, akan tetapi ketika melirik ke arah Bi Li, ia melihat wanita itu memandang kepadanya dan tahulah ia bahwa Bi Li diam-diam amat mengharapkan agar kelak dapat bertemu dengan puteranya yang bernama Hauw Lam. Dan gadis ini, biarpun tidak mendengar kata-kata keluar dari mulut Bi Li, dapat menduga, bahkan berjanji dalam hatinya bahwa kelak ia akan bantu mencari putera yang hilang itu.

Semenjak terjadi peristiwa itu, Kwi Lan belajar makin tekun dan giat karena ia maklum bahwa ilmu kepandaian tinggi merupakan modal terutama baginya untuk kelak mencari orang tuanya dan untuk membantu Bi Li mencari puteranya yang bernama Tang Hauw Lam.

Dan semenjak terjadinya peristiwa itulah nama Kam Sian Eng dikenal di dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang aneh dan luar biasa, serta memiliki ilmu kesaktian yang dahsyat pula. Hal ini menyebabkan semua orang menjauhkan diri dari hutan itu, yang dianggap sebagai hutan iblis dan tak seorang pun berani memasukinya.

Lima tahun kemudian, seorang gadis berusia sembilan belas tahun berjalan seorang diri di kaki Gunung Lu-liang-san, di sebelah barat kota Tai-goan. Gadis remaja ini cantik sekali dan amat manis. Bentuk mukanya lonjong, dagunya meruncing, dengan kulit muka yang halus dan putih seperti susu, dihias warna merah jambu di kedua pipinya, warna merah karena sehat. Mulutnya kecil dengan bibir selalu tersenyum, bibir merah membasah dan segar. Rambutnya agak awut-awutan, tidak disisir rapi, namun menambah keluwesan dan keayuannya.

Tubuhnya sedang dan ramping, agak kurus akan tetapi dengan lekuk-lengkung tubuh yang menonjolkan kewanitaannya. Pakaiannya berwarna merah muda, dengan ikat pinggang merah tua. Sebatang pedang tergantung di pinggangnya dan gagang pedang ini dihias sebuah mutiara yang besar, mutiara berwarna hitam berkilauan.

Gadis jelita ini bukan lain adalah Kam Kwi Lan! Sudah setengah tahun ia merantau meninggalkan hutan iblis. Setengah tahun yang lalu, bibinya, juga gurunya, Kam Sian Eng telah pergi bersama Suma Kiat.

“Aku pergi bersama Suhengmu. Kau tidak boleh ikut, Kwi Lan. Akan tetapi kalau engkau mau pergi merantau, terserah. Engkau sudah cukup dewasa dan kuat untuk menjaga diri.”

Demikian pesan Sian Eng secara singkat. Adapun Suma Kiat tersenyum-senyum, agaknya hendak menggoda sumoinya itu yang tidak boleh ikut pergi! Memang, biarpun usianya sudah dua puluh tahun, Suma Kiat yang kini juga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu kadang-kadang sikapnya seperti kanak-kanak saja!

“Bibi, saya hanya minta agar sebelum Bibi pergi, Bibi suka memberi sedikit keterangan kepadaku.”

Sian Eng tersenyum di balik kerudung hitamnya.
“Keterangan tentang Ayah bundamu, bukan?”

Kwi Lan terkejut dan melirik ke arah Bi Li yang juga berdiri disitu dan yang menjadi kaget pula.

“Hemm, jangan kira bahwa aku tidak tahu akan persekutuan kalian beberapa tahun yang lalu! Enci Bi Li, suamimu telah mati, anakmu hilang. Kalau dia memang anak berbakti, tentu dia akan datang mencarimu kelak. Kwi Lan, kalau kau hendak mencari Ibumu, pergilah ke Khitan. Ibumu adalah adik angkatku, yaitu Ratu Yalina di Khitan. Tentang Ayahmu.... hi-hik, kau tanya saja kepada Ibumu yang manis itu!“

Demikianlah, setelah Sian Eng bersama Suma Kiat pergi, Kwi Lan lalu pergi pula meninggalkan hutan dimana ia hidup selama delapan belas tahun. Ia menasihati Bi Li agar tinggal didalam istana bawah tanah saja, menanti kembalinya mereka dari perantauan. Ia berjanji akan mencari keterangan di dunia luar tentang Tang Hauw Lam.

Dengan kawan pedang pusaka pemberian bibinya, Kwi Lan melakukan perjalanan seorang diri. Tujuan perjalanannya tentu saja ke Khitan di sebelah utara. Akan tetapi ia tidak tergesa-gesa, melakukan perjalanan seenaknya. Hal ini bukan saja karena ia memang hendak menikmati keadaan kota dan dusun yang dilaluinya, juga terutama sekali karena hatinya merasa amat kecewa ketika mendengar keterangan gurunya bahwa dia sebetulnya anak Ratu Khitan! Anak ratu!

Akan tetapi ratunya bangsa Khitan yang dianggap sebagai bangsa yang setengah liar di utara. Dan kalau dia benar anak ratu, mengapa sampai diberikan kepada gurunya? Kalau benar ibunya itu, Ratu Khitan, adalah adik angkat gurunya, tentu dia telah diberikan kepada bibi itu untuk dilatih ilmu silat. Alangkah tega hati ibu kandungnya itu! Berarti tidak sayang kepadanya! Karena pikiran inilah maka Kwi Lan tidak sangat bernafsu untuk bertemu dengan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar