Ads

Jumat, 02 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 013

Pada pagi hari yang cerah itu, Kwi Lan berjalan di kaki Bukit Lu-liang-san, menikmati keindahan alam yang mandi cahaya matahari pagi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara orang bertanding di sebelah depan. Hatinya tertarik dan ia mempercepat langkahnya.

Ketika tiba di sebuah belokan, ia melihat dua orang tengah bertanding hebat. Yang seorang bersenjata pedang, yang kedua bersenjata tongkat butut. Di sekeliling tempat pertandingan itu, berdiri pula beberapa orang dengan tegak dan penuh perhatian menonton jalannya pertandingan.

Melihat betapa dua orang yang bertanding, juga mereka yang berdiri menonton, semua berpakaian pengemis, teringatlah Kwi Lan akan peristiwa di hutan iblis pada lima tahun yang lalu. Yang bersenjata tongkat butut adalah seorang kakek pengemis berpakaian butut dan disitu masih ada tiga orang temannya yang kurus-kurus dan tua berdiri menonton.

Adapun lawannya, yang berpedang, adalah seorang pengemis pakaian bersih, sedangkan agaknya empat orang yang berdiri menonton di sebelah kiri adalah teman-temannya, sungguhpun hanya dua diantara mereka yang berpakaian pengemis baju bersih.

Pertandingan itu cukup seru dan dari gerakan mereka tahulah Kwi Lan bahwa mereka yang bertanding itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu bukan anggauta biasa dari perkumpulan mereka, melainkan tokoh-tokoh yang berkedudukan cukup tinggi. Maka ia memandang penuh perhatian sambil mendekati dengan langkah perlahan.

“Ssssttt....!”

Kwi Lan terkejut dan berdongak. Ternyata yang berdesis itu adalah seorang pemuda yang duduk ongkang-ongkang di atas dahan pohon sambil menghadap ke arah pertandingan. Pemuda itu kini menoleh kepadanya dan menaruh telunjuk ke depan mulut.

Melihat wajah pemuda itu yang berseri, tidak hanya mulutnya, bahkan hidung dan matanya ikut tersenyum ramah, sekaligus timbul rasa suka di hati Kwi Lan. Mata pemuda itu bersinar terang dan gembira, jelas tampak bahwa dia seorang periang yang lucu dan juga nakal.

“Kalau mau nonton, disini paling enak, jelas aman dan tidak usah bayar!” bisik pemuda itu dan terkejutlah Kwi Lan.

Pemuda itu hanya berbisik-bisik, akan tetapi suaranya jelas sekali terdengar olehnya, seperti di dekat telinganya. Tahulah ia bahwa pemuda yang periang ini bukan hanya seorang pemuda berandalan biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah menguasai Ilmu Coan-im-pekli (Mengirim Suara Seratus Mil).

Kalau saja pemuda itu tidak memiliki wajah tampan yang begitu jenaka seperti wajah seorang anak kecil yang nakal, tentu Kwi Lan akan ragu-ragu bahkan marah. Namun jelas baginya bahwa pemuda itu nakal dan polos, tidak bermaksud kurang ajar. Hal ini dapat ia lihat dari sinar matanya. Selama setengah tahun merantau dan bertemu banyak laki-laki, Kwi Lan sudah dapat membedakan pandang mata laki-laki yang tertarik akan kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya, pandang mata mengandung berahi yang kurang ajar.

Sengaja Kwi Lan mengerahkan ginkangnya sehingga ketika ujung kedua kakinya menggenjot tanah, tubuhnya melayang naik seperti seekor burung kenari terbang melayang dan hinggap di atas cabang di dekat pemuda itu duduk ongkang-ongkang seperti si pemuda tanpa sedikit pun membuat cabang itu bergoyang.

Akan tetapi Kwi Lan kecelik kalau ia memancing kekaguman pemuda itu, karena si pemuda menoleh kepadanya seperti tidak ada apa-apa saja, seakan-akan gerakannya yang indah dan ringan itu tadi sudah sewajarnya!

Setelah menoleh dan memandang wajah Kwi Lan sejenak, pemuda itu tersenyum lebar, merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan itu, menyodorkannya kepada Kwi Lan. Kiranya tanpa bicara pemuda itu telah menawarkan kacang garing kepada Kwi Lan!

“Enak nonton disini sambil makan kacang,” katanya dengan mata bersinar-sinar. “Gerakan mereka dapat nampak jelas. Hayo bertaruh, siapa yang akan menang antara pengemis bertongkat kurus kering dan pengemis botak berpedang itu? Aku berpegang kepada Si Botak!”

Kwi Lan makin suka kepada pemuda yang sebaya dengannya ini, atau mungkin lebih muda melihat sikapnya yang kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil segenggam kacang, membuka kulit dan memakannya sambil menonton ke arah pertandingan.

“Aku bertaruh pengemis baju butut yang menang,” Kwi Lan berkata setelah menonton sebentar.

Kacang garing itu enak sekali, selain gurih dan wangi tanda kacang tua dan baik, juga agaknya diberi bumbu dan asinnya cukup.






“Belum tentu!” kata Si Pemuda gembira dan kedua kakinya yang ongkang-ongkang itu digerak-gerakkan menendang. “Memang Si Kurus Kering itu lebih lihai ginkangnya, lebih cekatan. Akan tetapi kulihat Si Botak ini banyak tipu muslihatnya. Di gagang pedangnya terdapat alat untuk melepas jarum beracun.”

“Ihhh....! Memang pengemis baju bersih itu golongan hitam dan curang!” Kwi Lan berseru.

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”

“Tahu saja! Kau kira engkau saja yang tahu kelicikan mereka?”

Mereka saling pandang, cemberut karena dengan pertaruhan itu mereka seperti hendak saling memihak. Akan tetapi pemuda itu tersenyum, menyodorkan lagi bungkusan kacangnya.

“Enak kacang ini, bukan? Tentu enak, kacang ini khusus dibuat untuk istana kerajaan!” ia tertawa ha-ha-he-he, lalu melanjutkan, “Akan tetapi, Raja dan para Pangeran belum tentu mempunyai mulut seperti mulutku, maka aku merasa bahwa mulutku tidak terlalu rendah untuk mencicipi kacang untuk istana ini dan kucuri sebagian. He-he-heh!”

Kwi Lan juga tersenyum lebar dan mengambil lagi segenggam. Keduanya kini tidak berkata-kata lagi karena ikut merasa tegang dengan pertandingan yang makin seru itu. Mereka seperti lupa diri, makan kacang sambil menonton ke bawah, persis seperti lagak para penonton permainan sepak bola yang ramai. Mereka seperti dua orang anak nakal yang sudah sejak kecil menjadi kawan bermain.

Memang pertandingan itu makin seru. Tepat seperti yang dikatakan pemuda itu, gerakan pengemis baju butut yang memegang tongkat amat lincah, tubuhnya seringkali mencelat ke atas dan menyambar-nyambar dengan tongkatnya.

Pengemis botak yang berbaju bersih, agaknya kewalahan dan terdesak sehingga ia hanya mampu mengelak dan menangkis, sukar untuk dapat membalas. Namun harus diakui bahwa pertahanan pedangnya cukup kuat sehingga semua terjangan Si Pengemis kurus kering selalu tidak mengenai sasaran. Tiba-tiba pengemis baju kotor itu mengeluarkan seruan keras dan ilmu tongkatnya berubah, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin sempit sehingga mengurung tubuh lawannya.

“Hah, mampus sekarang jagomu!” kata Kwi Lan.

“Heh, belum tentu! Lihat saja....” jawab Si Pemuda.

“Lihat, nah.... kena!”

Berbareng dengan ucapan Kwi Lan yang tentu saja dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas dan bahkan dapat menduga pula perkembangan setiap gerakan, benar saja tongkat pengemis pakaian kotor itu dapat menusuk leher pengemis botak.

Akan tetapi, ketika pengemis botak itu berusaha menangkis dengan sia-sia, tiba-tiba dari gagang pedangnya meluncur sinar hitam dan kakek pengemis kurus kering itupun berseru kesakitan dan roboh bersama-sama lawannya. Kalau lawannya dapat ia tusuk dengan tongkat, tepat mengenai leher, adalah dia sendiri menjadi korban tiga batang jarum beracun yang menyambar keluar dari gagang pedang ketika lawannya menekan alat rahasia di gagang pedang itu. Tiga batang jarum berbisa memasuki perutnya!

Tiga orang pengemis baju kotor yang bertubuh kurus-kurus itu menjadi marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, empat orang lawannya yang tadinya juga menonton, dengan bersorak telah menyerbu dan menerjang mereka bertiga. Tiga orang pengemis ini cepat menggerakkan tongkat melawan pengeroyokan empat orang lawan itu.

Akan tetapi ternyata kepandaian empat orang lawan, terutama yang berpakaian seperti jago silat, bermuka penuh brewok dengan alis tebal, tubuhnya tinggi besar, amatlah lihai. Si Brewok tinggi besar ini menggunakan sepasang pedang dan gerakannya laksana harimau mengamuk.

Tiga orang pengemis baju kotor itu amat kewalahan dan terdesak sambil mundur. Namun mereka melawan terus dengan nekad sambil memaki-maki. Tidak lama pertandingan itu karena tiba-tiba tiga orang pengemis kurus itu berteriak keras dan terjungkal roboh.

Kiranya diam-diam empat orang lawannya itu telah mempergunakan senjata rahasia dan memukul roboh lawannya dengan senjata rahasia ini. Dan agaknya senjata rahasia mereka itu semua memakai racun, buktinya begitu roboh, seperti halnya pengemis pertama, tiga orang kakek baju kotor ini pun tak bergerak lagi, mati seketika!

“Hah-ha-ha, kau kalah bertaruh! Bukankah jembel-jembel busuk pesolek yang menang?” Pemuda di samping Kwi Lan bersorak.

Kwi Lan cemberut, lalu berseru keras ke bawah,
“Jembel-jembel pesolek dan kaki tangannya memang curang! Anak buah Bu-tek Siu-lam mana ada yang tidak curang dan pengecut?”

Teringat peristiwa lima tahun yang lalu, sengaja Kwi Lan menyebut nama itu. Siapa kira, mendengar disebutnya nama ini, Si Pemuda di sampingnya terkejut dan berteriak keras lalu terjungkal ke bawah pohon!

Kwi Lan terkejut dan baru ia tahu bahwa pada saat pemuda itu terjungkal, dari bawah menyambar beberapa macam senjata rahasia itu. Cepat ia menggunakan ujung lengan bajunya mengebut dan.... runtuhlah semua senjata rahasia itu. Dengan muka merah Kwi Lan meloncat berdiri di atas cabang pohon. Ia melihat empat orang itu terbelalak kaget, akan tetapi seorang diantara dua pengemis baju bersih, yang bertubuh pendek dan bermuka bengis, telah mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya kembali menyambitkan senjata rahasia gelang besi yang melayang dan terputar-putar menyambar ke arah perut Kwi Lan.

Gadis ini memuncak kemarahannya. Ia meloncat turun sambil menyampok senjata gelang besi itu ke bawah dan setengah disengaja ia menyampok gelang besi itu ke arah Si Pemuda yang sudah bangun.

“Aduhh!”

Teriak Si Pemuda sambil berloncatan bangun dan mengelus-elus kepalanya, seakan-akan kepalanya terkena hantaman senjata rahasia itu. Akan tetapi jidatnya yang lebar dan kelimis itu tidak terluka, lecet pun tidak.

Kwi Lan tidak pedulikan pemuda itu, lalu melayang ke arah pengemis baju bersih yang menyambut kedatangannya dengan sebuah tusukan pedang! Tampaknya serangan ini tak mungkin dielakkan lagi oleh Kwi Lan yang tubuhnya sedang melayang di udara dan memang gadis ini pun tidak berusaha untuk mengelak. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka melakukan gerakan mendorong dan.... pedang itu terkena dorongan hawa pukulan ini membalik kemudian secepat kilat Kwi Lan menyentil dengan telunjuknya ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang dan.... pedang itu mencelat sambil membalik sehingga menusuk pangkal lengan pengemis pendek itu sendiri sehingga kulit dagingnya terbelah dan tampak tulang lengannya! Sementara itu, entah bagaimana pedangnya telah berpindah ke tangan Kwi Lan yang mempergunakan pedang rampasan untuk menodong!

“Ha-ha-ha-heh-heh!” Si Pemuda itu bersorak sambil mempermain-mainkan gelang besi yang tadi menyambarnya dengan tangan kanan. “Jembel tua bangka pesolek sekarang kehilangan aksinya. Makanya jangan sok aksi. Sudah tua bangka begitu, pura-pura jadi pengemis tapi pakaiannya bersih dan baru, biar kelihatan aksi dan tampan. Wah, ini namanya tua-tua keladi!”

Tentu saja pengemis pendek yang dirobohkan Kwi Lan itu melotot ke arah Si Pemuda dengan kemarahan meluap-luap, akan tetapi juga terheran-heran mengapa senjata rahasianya yang biasanya ampuh bahkan mengandung racun itu kini dipakai main-main oleh Si Pemuda ini.

Pada saat itu, pengemis ke dua yang tubuhnya kurus kecil seperti kucing kelaparan itu menudingkan telunjuknya kepada Kwi Lan sambil membentak, suaranya besar dan parau sungguh berlawanan dengan tubuhnya yang serba kecil kurus.

“Eh, iblis betina dari mana berani menentang Hek-coa Kai-pang dan mengeluarkan ucapan menghina ciangbujin Bu-tek Siu-lam? Apakah sudah bosan hidup?”

Kwi Lan membalikkan tubuhnya, membelakangi pengemis pendek yang terluka untuk menghadapi lawan baru ini. Ia tersenyum manis ketika berkata,

“Kalian ini jembel-jembel busuk, biarpun tidak sama dengan Hek-peng Kai-pang, kiranya sama busuknya, apalagi sama-sama di bawah pimpinan Bu-tek Siu-lam yang biarpun belum pernah kujumpai, tentu busuk pula!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar