Ads

Senin, 12 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 031

Pada saat itu, Ma Hoan tertawa bergelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung memukul air. Ketika Kwi Lan melihat ke kanan kiri, ia mengerutkan alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah perahu kecil yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga bercat hitam dan setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata golok.

"Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita, akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada dalam cengkeramanku, masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang? Ketua Thian-liong-pang adalah Kakakku, tahukah kau?”

Kwi Lan memandang tajam dan teringatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya adik Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak banyak anak buahnya, tentu kepala bajak sungai dan dia berada dalam bahaya!

"Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!”

Kata Kwi Lan dan sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut dan menerjang, merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu.

Kuda hitam meringkik ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal keluar dari perahu, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat dan tubuhnya melayang ke atas sebuah diantara perahu-perahu kecil yang mengurung perahu besar.

"Tangkap dia, gulingkan perahu!” Ma Hoan berseru, memberi komando kepada anak buahnya.

Kwi Lan mendengar ini menjadi kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggulingkan perahu, dia dan kudanya celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan, tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke atas sebuah perahu kecil terdekat.

Sambil meloncat, ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok di tangan menyambutnya. Terdengar suara keras dan enam buah golok itu terlempar ke dalam air dan seorang diantara mereka malah roboh dengan lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepat-cepat meloncat ke dalam air dengan panik.

Begitu perahu kecil yang diinjaknya itu terus bergoyang-goyang dan miring Kwi Lan sudah mengenjot tubuhnya lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat menawan Ma Hoan. Ia tentu akan celaka. Di darat, ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh orang itu, akan tetapi di air! Melawan seorang diantara mereka saja belum tentu ia menang.

Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan pandai bermain di air. Melihat tubuh gadis perkasa itu berkelebat meloncat ke arah perahunya, ia mengenal bahaya dan.... cepat-cepat ia melempar diri ke dalam air! Dua orang anak buahnya di perahu itu yang tidak keburu terjun, menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di air.

Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke perahu. Namun para bajak itu sudah lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha menggulingkan perahu dimana Kwi Lan berdiri.

Gadis ini tentu saja tidak mau digulingkan ke dalam air. Ia bermain loncat-loncatan dari perahu ke perahu. Akan tetapi karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu berputaran dan hanyut, apalagi karena bajak-bajak menggulingkan semua perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di atas perahu yang terbalik, tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat.

Kuda hitam besar sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar digulingkan. Ketika perahu terbalik yang ia injak itu tiba-tiba menyelam, ia masih dapat meloncat ke atas dan.... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh terbanting ke dalam air yang bergelombang!

Kwi Lan pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah ia terbanting ke air. Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan lumpuh kaki tangannya! Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh. Tubuhnya terasa dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat api unggun dan ternyata ia telah berada di dalam guha besar tadi, menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak tertutup pakaian sama sekali!

Kenyataan ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati dan cepat-cepat ia menutupkan kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau hampir pingsan lagi saking kagetnya. Ia tahu bahwa ia telah tertawan, dan bahwa orang telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya. Kemudian ia mendengar betapa disitu terdapat banyak orang, bahkan ada suara orang berbantahan. Dengan jantung berdebar ketakutan, baru sekali ini Kwi Lan mengenal rasa takut, ia mendengarkan, tanpa membuka matanya.

"Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan sekali lagi kunyatakan bahwa antara Nona itu dan aku tidak ada sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang memalukan ini. Betapapun juga, Kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami, kalau sekarang engkau melakukan perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti akan menodai nama besar Thian-liong-pang?”






"Eh, Siangkoan-kongcu! Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki mengambil seorang wanita yang disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti engkau iri hati dan engkau sendiri suka kepada wanita pengacau itu. Betulkah?”

"Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita mana saja yang disukainya, akan tetapi kalau wanita itu mau. Engkau merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji. Mendiang Ayahku, seorang Ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan apa saja kecuali sikap curang dan pengecut. Kalau kau mengalahkan dia dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk memperlakukan orang yang kau kalahkan sesuka hatimu. Akan tetapi melihat betapa tadi dia dilawan secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh sebagai seorang gagah aku tidak akan mendiamkan saja. Ma-totiang, agar jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kau bebaskan dia!”

"Bocah, berani engkau membuka mulut besar? Siangkoan Li! Kau menganggap kau ini siapa dan aku ini orang macam apa, bisa kau perintah sesukamu? Biarpun mendiang Ayahmu pernah menjadi ketua Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar Sin-seng Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku masih menganggapmu orang sendiri! Akan tetapi jangan kau keterlaluan karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong juga tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan mereka!”

Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah pemuda tampan berambut panjang dan sai-kong yang menawan dirinya. Tiga orang anggauta Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata mereka terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak berpihak kepada Si Pemuda.

Kwi Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan perasaannya yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya penuh hawa amarah yang hebat, sukar baginya untuk mengumpulkan hawa murni.

"Ma-totiang, bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang lain yang menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang. Kita bicara tentang perbuatanmu sekarang. Ma-totiang, engkau adalah seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan. Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedikit banyak mengerti tentang kegagahan. Engkau adalah seorang yang sudah tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memperkosa seorang gadis....?”

"Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa? Lancang kau menuduh orang....”

"Engkau masih berani menyangkal? Melihat keadaan Nona ini...."

"Ha-ha-ha! Memang, dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat memperkosanya. Mungkin anak buah Thian-liong-pang itu mempunyai niat demikian, melihat pandang mata mereka! Ha-ha, aku sama sekali bukan hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia membantu menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia seorang gadis yang memiliki Iwee-kang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah yang sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali kuambil semua kekuatan Im-kang dari tubuhnya....”

"Keji! Aku tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang mencipta dan melatih Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kau lengkapi dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun)...., akan tetapi mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis....?”

"Ha-ha-ha, Siangkoan Li! Kau kira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak perlu, hanya perlu kau ketahui bahwa aku perlu hawa murni dan darah gadis ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci Sumsum). Sudahlah, kau pergi dan jangan menggangguku lagi.”

"Tidak! Kalau engkau lebih dulu membebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan, biar dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan turut campur. Akan tetapi melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam saja!”

"Bagus! Memang anak tidak akan berbeda dengan ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari Thian-liong-pang, engkaupun....”

"Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!” bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut pedangnya.

Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau terluka, mencabut pedangnya dan menyerang pemuda itu. Karena guha itu kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat keluar guha dikejar oleh Ma Hoan.

Segera terjadi pertandingan hebat di luar guha, di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka saling beradu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan kemarahannya dan membebaskan diri daripada totokan.

"Sam-sute, bagaimana baiknya sekarang?” Terdengar seorang diantara tiga anggauta Thian-liong-pang berkata.

Mereka bertiga masih berada di dalam guha itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan mata terbelalak penuh kagum dan gairah.

"Biarkan saja mereka bertempur.” kata suara lain yang parau. "Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu (Ketua), dan Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita boleh campur tangan? Lihat alangkah hebatnya Nona ini, hemm.... selagi mereka bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan bagus ini?”

"Sam-suheng benar!” kata suara ke tiga. “Aku pun selama hidupku belum pernah melihat yang seindah ini. Aku rela nanti dimarahi Ma-totiang atau Siangkoan-kongcu....”

Tiga orang anggauta Thian-liong-pang itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu. Sebetulnya mereka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong, bukan pula orang-orang mata keranjang, sungguhpun mereka juga tak dapat disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi Lan, menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat bentuk tubuh yang demikian menggairahkan, mereka tak dapat lagi menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis nafsunya.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah yang berkeringat dengan mata berkilat-kilat seperti mata binatang kelaparan itu makin mendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut menghadapi ancaman maut sekalipun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan bahwa kini ia terancam malapetaka yang jauh lebih mengerikan daripada maut sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat terkumpul bulat-bulat sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan kakinya masih lemas, lumpuh tak bertenaga.

"Sam-sute, Hok-sute, kalian mundurlah. Aku sebagai Suheng kalian, paling tua dan biarkan aku mendekati dia lebih dulu.”

"Ah, tidak, Suheng! Aku yang mengusulkan lebih dulu!”

"Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!”

Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis itu kini saling berebut! Dari pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka akan saling jotos karena sudah mulai memaki.

Melihat ini, Kwi Lan maklum betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia yang seperti anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar gelisah, perasaannya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan tenaga dan hawa murni di tubuhnya sehingga akhirnya ia menghela napas dan mengeluarkan suara rintihan karena putus harapan.

Tiba-tiba dari luar guha menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali mengenai jalan darah di leher dan pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan darahnya dan.... seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali! Kaki tangannya dapat ia gerakkan dan biarpun masih kesemutan, namun ia segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia sudah menyambar pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut guha.

Dengan jari-jari tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik berbahaya itu, namun dengan amat cepat Kwi Lan mengenakan pakaiannya dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu berkelebat cepat ke arah pintu guha ketika ia melihat tiga orang Thian-liong-pang berusaha lari keluar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar