Ads

Senin, 12 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 035

“Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali!”

Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin-seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa!

“Gwakong (Kakek Luar), jangan....!” Terdengar Siangkoan Li berseru kaget.

Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatiannya kurang sepenuhnya terhadap datangnya serangan Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya menyilaukan mata.

Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagaikan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki kirinya.

Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat lagi, Sin-seng Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!

“Auhhhh.... hehhh.... kau berani.... berani....?”

Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang terbelenggu!

Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara namun pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.

“Iihhh....!”

Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik lengannya, namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya bercucuran. Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut.

Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menangis!

“Gwakong.... kau tak boleh membunuhnya.... tak boleh....!” Pemuda itu mengeluh berkali-kali.

“Anak keparat, cucu durhaka.... hehhehhh.... berani kau.... huh-huhh.... kubunuh kau....!”

Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah segar!

Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?

“Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka!”






Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu berkata dengan nada sedih.

“Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kau keluarkan obat pemunah jarummu untuk Suhengku. Lekaslah, harap kau sudi melihat mukaku dan menolongnya.”

Kwi Lan melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus kecil obat bubuk dan berkata,

“Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya.”

Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suhengnya.
“Thio-suheng, kau pakailah ini!”

Akan tetapi suhengnya membuang muka dan menghardik.
“Tutup mulutmu, pengkhianat!”

Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya yang masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata.

“Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan celaka dan aku tidak akan mampu menolongmu lagi.”

Kwi Lan mengeluarkan suara mendengus di hidungnya.
“Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu.”

“Nona...., Kwi Lan...., aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!”

“Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini!”

“Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat Ayahmu membalik di dalam kuburnya! Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini!” Sin-seng Losu sudah memaki-maki lagi.

“Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran karena kau menderita celaka.”

Kini Kwi Lan menjadi marah. Dengan pedang di tangan ia membentak,
“Siangkoan Li! Engkau ini pemuda macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap seperti ini, bersetia sampai mati.

Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya, melainkan orang-orangnya yang menyeleweng daripada kegagahan.

Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi untuk kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan!”

Hebat kata-kata ini, apalagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi membela kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak waras!

“Dengar....! Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siang koan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?”

Sambil berlutut Siangkoan Li berkata,
“Tidak, Gwakong, aku tidak berani....! Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. “Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang....!”

“Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!” kata Kwi Lan dengan suara tetap.

“Celaka....! Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya. “Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya.”

Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru.

“Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi....!”

Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru,

“Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama.”

“Hushhh.... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari....!”

Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.

Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan disitu teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.

“Mari kuputuskan belenggu.” kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.

Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya.
“Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri.”

Kwi Lan marah meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li.

“Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain? Kalau kau lakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada mendiang Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kau lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak menyerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga daripada matimu yang seperti kematian seekor kacoa!”

Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang.

“Aku bingung dan ragu-ragu.... agaknya engkau benar.... biarlah akan kutemui kedua orang Suhuku dan minta nasihat mereka....! Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan.... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!

Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kakeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.

“Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kau lakukan ini hanya untuk mengelabuhi aku? Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak kemana?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar