Ads

Sabtu, 17 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 044

“Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!”

“Tidak seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat. “Bukankah engkau ini pengemis malas yang pernah kulihat duduk dalam warung di lereng Lu-liang-san? Dan mengapa engkau sekarang berada disini? Apakah engkau sengaja mengikuti perjalananku?”

Pengemis itu menggeleng kepala.
“Tidak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di sini karena memang aku hendak menonton pertemuan kaum sesat di sini. Akan tetapi engkau.... justeru pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh, Nona. Kulihat engkau di sana bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam yang menentang para hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang dengan kepandaian seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini aku melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?”

“Jadi tadinya kau kira aku ini seorang tokoh hitam pula?” tanya Kwi Lan sambil memandang marah.

“Begitulah, karena kau datang bersama tokoh Thian-liong-pang dan menentang hwesio-hwesio Lu-liang-pai.”

“Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat.”

“Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar pedang wanita yang sakti.”

“Juga bukan. Aku bukan pendekar wanita dan bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja. Tidak seperti engkau. Engkau tentu seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau memimpin pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”

Pengemis muda itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala.
“Aku juga bukan apa-apa, seperti engkau bahkan tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang Ayahku adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali sebelum aku lahir Ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis. Sebagai seorang pengemis, tentu saja Ayah hanya meninggalkan topi butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat betapa dunia pengemis terancam malapetaka, terpaksa aku harus turun tangan mewakili mendiang Ayah. Karena itulah aku turun gunung dan bertemu dengan engkau di sini.”

“Wah, kalau begitu Ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!”

Pengemis muda itu terkejut.
“Bagaimana kau bisa tahu?”

Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar, tidak ditutup-tutupi dan tidak malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan kecantikan yang asli. Pengemis muda ini sejenak menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan perasaannya.

“Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan seorang pengemis, kau bilang Ayahmu tokoh besar dunia pengemis. Tentu pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat disebut-sebut nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.”

Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, Di samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila?

“Betul sekali dugaanmu. Mendiang Ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia menjura dengan sikap hormat.

Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa,
“Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan? Gerakan tongkatmu tadi hebat luar biasa, biarpun pakaianmu pakaian jembel, namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!”

Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan.
“Engkau she Kam, Nona?”






“Benar, kenapakah?”

“Aih, tidak apa-apa, hanya.... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan....”

“Wah, kau menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau.... Mutiara Hitam.”

“Tapi aku.... bukan sahabat....”

“Hemm, bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau tak mau bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan tubuh hendak pergi.

“Eh...., maaf, bukan begitu maksudku. Aku.... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi.... baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?”

Kwi Lan tertawa!
“Memang aku gampang marah gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?”

“Shemu mengingatkan aku akan seorang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik mendiang Ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”

“Eh, dia she Kam?”

Siang Ki mengangguk.
“Menurut penuturan Ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song, Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaianmu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau puterinya? Ataukah keponakannya?”

Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan dan membanggakan! Akan tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa liar!

“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaimana macamnya Suling Emas.”

“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andaikata engkau benar-benar puterinya, karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum pernah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan bahwa dalam usahaku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku mengetahui siapa orang tuamu?”

Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki Gunung Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.

“Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku.” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata melamun. “Semenjak aku masih bayi, aku dirawat Guruku.”

Yu Siang Ki memandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tuanya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.

“Ah, Gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”

“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian. Ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja.”

Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahukan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!

Yu Siang Ki menarik napas panjang.
“Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan melihat kepandaianmu, tentu Gurumu seorang yang amat pandai.”

Kwi Lan tertawa.
“Yu Siang Ki, engkau belum pernah bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah terlalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar biasa.”

Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian.
“Apa? Engkau pernah berjumpa dengan kedua Locianpwe itu? Mengenal mereka?”

Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hatinya masih mengkal kalau ia teringat kepada dua orang kakek itu, menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li,

“Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!”

“Aiihhh.... Kwi Lan, bagaimana engkau berani....?”

“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepandaian seperti Bu Kek Siansu, tentu mereka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!”

Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama makin mengherankan gadis ini!
“Kau.... kau pernah berjumpa pula dengan.... dengan Bu Kek Siansu?”

Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.

Tanpa disadarinva, Siang Ki memegang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya.

“Benarkah itu, Kwi Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku hanya mendengar namanya seperti dongeng yang diceritakan Ayah!”

“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga goblok!”

Kali ini sepasang mata Siang Ki memandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesuatu yang tak masuk akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kangouw, menyebut nama dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengatakan bahwa Bu Kek Siansu goblok! Ini sudah keterlaluan sekali.

Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh semua pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu dan juga disegani, semua tokoh dunia hitam, dianggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok! Kalau tidak mendengar dengan kedua telinganya sendiri, tak mau Siang Ki mempercayai hal ini.

“Kwi Lan, maukah engkau menceritakan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti itu?”

Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.

Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk.

“Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dikasihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya jika keadaan mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus membangun kembali dan membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kau ceritakan bahwa kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung datangnya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”

“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu banyak bercerita. Sekarang kau ceritakanlah pengalamanmu, tentang Ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar