Ads

Sabtu, 17 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 043

Akan tetapi, setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan berhasil turun dari Cheng-liong-san. Ia merasa heran dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di sekitar lereng gunung. Ia memang berhasil melarikan diri dari para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun dari gunung!

Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seorang berpakaian pengemis duduk bersandar batang pohon. Pengemis itu agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu tertidur karena hembusan angin gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah buntalan besar terletak di dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mukanya. Topi lebar bundar yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bunga mawar yang merah segar berikut dua helai daunnya terselip menghias pita topi itu.

Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada pengemis ini, menanyakan jalan turun. Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat yang berkumpul di puncak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di situ. Mungkin sengaja menghadang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.

Kwi Lan sengaja memperlambat jalannya kuda ketika melewati pengemis yang duduk melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan Si Pengemis dan ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu tidak bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya. Kwi Lan lewat terus sampai agak jauh sambil menengok.

Pengemis itu tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan kelelahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat turun dekat pengemis itu. Muka pengemis itu tidak tampak, tertutup topi lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang sudah tidak kuat bekerja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.

“Paman pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau bangun sebentar, aku ingin bertanya....”

Pengemis itu tersentak seperti orang kaget, lalu mengguman dan menggaruk belakang telinganya. Gerakan ini membuat topinya makin menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tampak oleh Kwi Lan hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah topi.

“Mau bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.

“Engkau tentu mengenal jalan di tempat ini, Paman tua, kau tolonglah aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan padaku jalan menuruni lembah gunung ini.”

Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang kuda yang dituntun Kwi Lan. Kemudian ia berkata, acuh tak acuh,

“Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju kira-kira setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar berbentuk kepala burung. Di belakang batu itulah terdapat jalan setapak yang akan membawa orang turun ke bawah.”

Setelah berkata demikian, pengemis itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh pulas lagi.

“Terima kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah tidur.

Huh, pemalas benar, pikir Kwi Lan. Akan tetapi tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika ia mengingat-ingat, terbayanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun dekat markas besar Lu-liang-pai dimana ia bersama Siangkoan Li berpisah.

Di rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus menerus duduk melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semenjak ia datang ke rumah itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu? Melihat topi bututnya mungkin ini orangnya dan kalau betul, benar-benar aneh dan mencurigakan. Bagaimana bisa begitu kebetulan? Tadinya bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san.

Di sana tidur, di sini pun tidur. Kalau pengemis ini begitu malas dan kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini? Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di puncak itu dan tentu masih berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang belum diketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan melarikan kuda ke depan.

Kurang lebih setengah li jauhnya, melihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala burung, ia berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu, tampak olehnya jalan menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan kecil sekali, turunnya harus berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak mungkin dilalui oleh seekor kuda. Kalau begitu pengemis itu tidak bohong, dan tidak mempunyai niat buruk.






Pada saat Kwi Lan hendak menuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan-bentakan keras di sebelah belakang. Ia meloncat keluar lagi dari belakang batu untuk melihat, siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya ketika dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok belasan orang banyaknya!

Hebatnya, pengemis itu masih menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan masih duduk melonjorkan kaki dan bersandar pada pohon, hanya tongkat di tangannya yang bergerak-gerak ke depan menangkis serangan senjata tajam belasan orang itu yang menyerangnya sambil membentak-bentak!

Kwi Lan tertarik sekali. Banyak sekali orang aneh di dunia ini dan agaknya pengemis malas itupun seorang aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari kembali ke tempat pengemis itu dikeroyok. Ternyata kini setelah dekat bahwa belasan orang yang mengeroyok itu adalah pengemis-pengemis pula! Pengemis-pengemis baju bersih yang sudah beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.

“Hayo mengakulah! Engkau dari golongan mana dan mengapa mengacau pertemuan di puncak Cheng-liong-san? Pakaianmu bersih, hal ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami, pengemis-pengemis pakaian bersih. Mengapa kau mengacau pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai mana?”

“Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa artinya? Orang-orang sesat, pergilah dan jangan menggangguku!”

Pengemis itu berkata tak acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan menghadapi belasan batang tongkat, golok, dan pedang itu.

Kwi Lan yang kini sudah berdiri dekat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta kagum sekali. Tongkat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai bukan main. Memang benar bahwa belasan orang pengeroyok itu tidak berapa tinggi ilmu silatnya, namun karena belasan orang maju bersama maka cukup berbahaya. Apalagi kalau diingat bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk dan lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh terguling dengan sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tongkat yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!

Kini pengemis malas itu dengan gerakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun mukanya tetap bersembunyi di balik topi butut. Sambil melintangkan tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para pengemis yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka, lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh bedanya dengan ketika bicara dengan Kwi Lan tadi.

“Berani menjadi pengemis berarti berani menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan jahat, berani mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani mereka yang mampu, berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah begitu, mengapa masih memakai pakaian pengemis? Kalian hanyalah penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia pengemis dan sudah sepatutnya dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau kalian mau jadi pengemis, jadilah pengemis yang baik. Mengapa berlaku seperti pengecut-pengecut yang hina-dina?”

Belasan orang pengemis yang menggeletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang dengan mata melotot. Sebagai jawaban kata-kata itu, dari jauh terdengar bentakan-bentakan dan berbondong-bondong datanglah berlari-lari banyak orang yang bukan lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan kini sudah datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!

Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan kepala memandang ke depan, kemudian ia menoleh kepada Kwi Lan dengan muka masih tersembunyi di balik topi.

“Nona, mengapa engkau kembali? Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan orang-orang jahat itu.”

“Dan engkau sendiri?” Kwi Lan bertanya.

“Aku akan menghadapi mereka. Tongkatku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu.”

“Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau tongkatmu kuat, apa kau kira pedangku kurang tajam? Kaulah yang boleh pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar engkau!” bantah Kwi Lan sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari sarungnya.

Melihat bahwa pedang gadis itu terbuat daripada kayu, pengemis itu tercengang, kentara dari sikapnya yang tiba-tiba tak bergerak. Topinya terangkat sedikit dan dari bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya.

“Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang lihai!”

Percakapan mereka terpaksa dihentikan karena para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat larinya bahkan sudah tiba di depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter. Mereka mengangkat senjata sambil membentak marah.

Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun cepat bukan main telah menggerakkan tangan kanannya ke arah topinya, meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan.... topi itu berpusing dan terbang menyambar mereka yang datang mengancam.

Bagaikan hidup, topi itu terbang keliling dan kembali kepada pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang mengejar paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul robohnya tubuh enam orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!

Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan karena melihat senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena ia maklum bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang pinggirannya lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi.

Yang membuat ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas topinya, maka tampaklah kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua daripadanya! Dan ia sudah menyebutnya paman tua!

Akan tetapi ketika pengemis muda itu sudah mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang tampan tertutup topi, Kwi Lan sadar dari keheranannya. Ia pun tidak mau kalah dan secepat kilat tangan kirinya bergerak melepas jarum-jarum halus. Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar roboh.

“Nona, mari kita pergi. Jumlah mereka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai. Mari!”

Mereka berdua lari cepat dan sesampainya di batu berbentuk kepala burung, mereka lalu menuruni jalan setapak. Para pengejar yang belum roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang muda itu. Mereka berdiri ragu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang lebih banyak sambil menolong teman-teman yang terluka.

Karena Kwi Lan dan pengemis aneh itu menggunakan gin-kang mereka, sebentar saja mereka berhasil menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini jalan berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan baru setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, mereka tidak berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.

“Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...., berbahaya sekali!”

“Kau maksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin Lo-mo? Ah, aku tidak takut! Justeru aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk melihat sampai dimana kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.

Kini pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran. Saking herannya ia sampai lupa menyembunyikan muka seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia dapat melihat wajah pengemis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah, masih muda namun sudah jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan tarikan mukanya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar