Ads

Kamis, 05 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 071

“Cukuplah!”

Tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan hampir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata,

“Thai-lek Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”

Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga dan napasnya terengah-engah, mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah semua, tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah menngatur napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.

“Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.

“Heeei!, Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan mengejek. Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melangkah pergi.

“Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil murid kepadaku? Heeei....!”

Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.

Suling Emas berdiri tegak, mengerutkan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepalanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan tidak baik.

“Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa Gurumu)?”

Ia bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya dan kini berdiri di depannya, memandangnya penuh perhatian.

Kekaguman memancar daripada mata gadis itu dan entah bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!

“Dia? Twa-supekku? Ah, hanya menurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek Ngo-sian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku menyebutnya Twa-supekku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu dengan dia?”

Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah.
“Bukankah Gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”

Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan namanya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggauta partai pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerima hajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.

“Eh, bagaimana kau bisa tahu namanya?”

Kini Suling Emas tersenyum di balik saputangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu!

“Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kau panggil Twa-supek!”

Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Gurunya adik Suling Emas? Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, kekasih ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan?

“Harap.... harap kau suka membuka saputangan itu!”






“He? Apa.... mengapa?”

“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan.”

Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.

“Bukankah kau pernah melihat wajahku di Kang-hu?”

“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja.” jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!”

Kata-kata terakhir ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan?

Suling Emas terkejut, akan tetapi segera tersenyum,
“Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau menganggap aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu? Ah, anak nakal jangankan kini mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih murid keponakanku sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari Pak-kek Sian-ong.” ,

Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali peristiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.

“Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”

Suling Emas mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia mengangguk-angguk.

“Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat terhindar dari pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi sayang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat.”

Biarpun mulut Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya memandang penuh teguran.

Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandangnya dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar perasaan.

“Suling Emas.... ada hubungan apakah antara engkau dan.... Ratu Khitan....?”

Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut, kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu. Pertanyaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan daripada tusukan sebuah pedang yang tajam.

“Apa....? Apa.... maksudmu....?”

Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.

“Adakah Ratu Khitan itu dahulu pernah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan langsung dan tajam.

Kalamenjing di leher Suling Emas bergerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Tak kuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah sekali dan suara gadis itu bercampur isak.

“Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau berada disini dan meninggalkan dia?”

Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusaka sehingga Suling Emas melangkah mundur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar berpengaruh, kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu lancang, terlalu kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian Eng sekalipun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!

“Bocah kurang ajar tak tahu kesopanan!” bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?”

Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apalagi pada saat itu setelah kemarahannya bangkit dan semua tenaga sin-kang terkumpul di dadanya. Lawan yang tangguh sekalipun akan tergetar. Gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menudingkan telunjuknya ke hidung sendiri sambil menjawab ketus.

“Huh, mau tahu? Dia adalah Ibu kandungku!”

Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.

Jawaban ini seperti halilintar menyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong dengan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru.

“Heii, tunggu jangan lari....”

Akan tetapi baru saja ia menggerakkan kaki hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua orang Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali,

“Tai-hiap....!”

Suling Emas menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan tentang Lin Lin dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi penjelasan.

Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia membuka saputangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut.

“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Tai-hiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan.” kata Hoan Ti-ciangkun yang berjenggot panjang.

Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu.
“Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin membicarakan hal penting.”

Setelah mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas menceritakan maksud hatinya.

“Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapapun juga. Hanya kepada Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?”

Dua orang panglima itu saling pandang, kemudian mengangguk.
“Kami berjanji.” kata mereka berbareng.

“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?”

Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu, mereka kembali menyatakan setuju.

Lega hati Suling Emas. Ia ingat kembali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini takkan mungkin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar