Ads

Kamis, 05 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 072

“Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciang-kun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima Kayabu?”

Kembali dua orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar Kayabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu, kedudukan Suling Emas di mata mereka seperti seorang Pangeran Khitan yang harus mereka hormati. Hanya saja, mereka tidak menyebut pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut demikian.

“Ji-wi Ciangkun.” katanya, “Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana. Sukakah kalian memberi penjelasan kepadaku tentang keadaan ratu kalian? Tentu kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya? Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?”

Dua pasang mata itu berseri gembira.
“Ah, sayang bahwa Taihiap tidak pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini, mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu Pangeran Talibu yang kami hormati dan cinta.”

Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas, jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!

Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biarpun Suling Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan menggunakan saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?

“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa.”

Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang kemudian kembali memandang Suling Emas.

“Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah.... tak pernah menikah!”

Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan. Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga demikian, maka ia juga cepat menyambung.

“Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”






Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha-ha....!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.

Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.

“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan.... siapakah nama puterinya?”

Kini dua orang panglima itu benar-benar heran.
“Puterinya? Puteri siapakah, Tai-hiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”

“Hee....? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”

Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan mulai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan.

Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin?

Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan. Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapapun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.

“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”

Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”

Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu,
“Tentu saja kami suka membantu Tai-hiap.” jawab Hoan Ti Ciang-kun, “akan tetapi...., bagaimana caranya?”

“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”

Dua orang panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”

Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun di dalam hatinya ia merasa heran. Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai lelucon.

Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.

**** 072 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar