Ads

Kamis, 05 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 073

Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupa itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.

Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran.

Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.

Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka bermain yang-kim. Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.

Biarpun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, darimana muncul ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.

Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara.

Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya. Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.

Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga tidak lagi kerajaan ini mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk “menyogok” dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.

Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntungan pribadinya.

Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!

Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat.

Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman.

Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.






Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.

Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam, menarik napas panjang dan berkata.

“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul kemana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu kemana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama Nona tadi?”

“Mutiara Hitam.”

“Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”

“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal!”

Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri.

“Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik....”

Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.

Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakan bangsa berdarah campuran.

Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan.

Tak seorang pun diantara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan barisan itu dan kemana perginya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.

Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia.

Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya.

Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.

Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa.

Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.

Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.

Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan dimana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.

Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga.

Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah.

Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.

Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang diantara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.

“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran disini. Hemm, sungguh kebetulan sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”

“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita.”

Kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar