“Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!”
Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayani gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gembira.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat.
Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah.
Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya.
Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Kemana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang diantara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata,
“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung. Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka....?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?”
Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu. Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering.
“Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”
“Apa kau bilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik.
“Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kau bunuh....!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!”
Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau. Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu.
“Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kau pergunakan untuk menyerangku tadi. Kau lihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya.
Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya.
“Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini.” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat.
“Tak mungkin.” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau....“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku....“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat disini, curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun disini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal,
“Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!”
Kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihaian gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya.
“Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Kemana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri.
“Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?”
Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini.
“Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum.
“Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
“Huh, apa peduliku!”
Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayani gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gembira.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat.
Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah.
Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya.
Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Kemana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang diantara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata,
“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung. Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka....?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?”
Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu. Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering.
“Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”
“Apa kau bilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik.
“Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kau bunuh....!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!”
Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau. Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu.
“Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kau pergunakan untuk menyerangku tadi. Kau lihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya.
Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya.
“Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini.” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat.
“Tak mungkin.” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau....“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku....“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat disini, curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun disini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal,
“Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!”
Kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihaian gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya.
“Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Kemana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri.
“Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?”
Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini.
“Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum.
“Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar