Ads

Minggu, 08 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 079

Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya!

Akan tetapi justeru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran. Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain.

Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!

Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu. dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya.

Lebih menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat daripada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!

“Ah, tapi dia sudah menghina Ibuku....! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih.... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah ditinggalkannya!”

Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada Si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, kemana perginya Si Berandal itu?

Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu.

Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang diantara mereka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggauta Thian-liong-pang, seorang diantara dua belas Cap-ji-liong!

Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini, pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang menghadangnya!

Dusun itu ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang mereka.

Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa dimana perang selalu mengancam daerah perbatasan semua orang juga wanita-wanita membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang.

Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.

Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng.

Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?






“Ah, peduli amat dengan mereka!”

Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan dimana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada diantara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.

Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,

“Minggir! Heiii, kau.... minggir!”

Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang diantara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya, meloncat bangun.

“Dari mana datangnya dua ekor kerbau....?”

Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang diantara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan.... Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata,

“Hayo, siapa lagi yang berani?”

Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.

“Masih ada lagi?”

Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar. Seorang diantara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

“Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”

Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang diantara mereka yang brewok.

“Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.”

Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik diantara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru agaknya belum lama diturunkan di sungai.

“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin....”

“Apa kau bilang? Kami berani bayar sewanya dan siapapun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”

Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata,

“Baik...., baik.... dan sewanya....“

“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!”

Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah. Mereka melangkah masuk dan.... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.

“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa ijin!” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.

Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang diantara mereka yang brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlongong.

“Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”

“Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya...., Nona, siapakah kau dan mau apa kau disini?”

“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!”

Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.

“Mu.... Mutiara Hitam....?” teriak mereka sambil mencabut golok.

“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya.

Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekaligus.

Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu. Terdengar suara “krekk!” dan sambungan lutut kanan mereka terlepas. Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!

Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya!

Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!

Seketika Kwi Lan dirubung para nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata,

“Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”

Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong.

“Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”

“Tak perlu melayani mereka.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar