Ads

Minggu, 08 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 078

Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.

“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti Guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!”

Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biarpun muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.

Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.

“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”

“Betul...., betul...., aku bersumpah....” Po Leng In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.

“Dan kau benar-benar menghendaki aku....?”

Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.

Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari dalam guha yang lebarnya hanya satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia.

Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu. Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah.

Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.

Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini, Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasihnya, yaitu Siang-mou Sin-ni!

Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH).






Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.

“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh Guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Diantara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa Ketua Beng-kauw dan beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”

Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan menjelang pagi ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang lemah.

“Koko...., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa....“ bisiknya sambil merangkul.

Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam guha batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah keluar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.

“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah jangan kau pandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi kepandaian Guruku.”

Kiang Liong mengangguk.
“Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut.”

Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum.

“Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kang-ouw. Engkau tentu tidak pernah mendengar. bahwa Guruku kini telah dan sedang memperdalam ilmu mujijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“

Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras.

“Apa kau bilang? Diculik untuk.... kau maksudkan....?”

“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”

“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!”

Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu.

Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia malapetaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!

Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mujijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni.

Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.

Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki.

I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!

Kiang Liong yang sudah pernah mendengar penuturan suhunya tentang pelbagai ilmu hitam, tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!

**** 078 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar