Ads

Minggu, 08 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 077

“Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin¬-ni....”

“Sstt, mereka tentu sudah dekat....!”

Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.

Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang.

“Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita.” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar.

Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya.
“Jangan bergerak, Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kau lihat saja, jangan khawatir!”

Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata!

Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.

Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,

“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”

Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang diantara mereka menjawab.

“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada disini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa orang anggauta pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat disini....”

Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

“Tidak ada orang lewat disini, Twa-suhu.”

Kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.

Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi.
“Akan tetapi, Kouwnio. Ada diantara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“

“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian menghina murid Guruku?”

Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwe-sio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka menundukkan muka. Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu, sungguhpun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan wanita ini dalam sendau gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang diantara mereka mulai bersungut-sungut






“Musuh tadi lari kesini!”

“Masa harus membiarkan dia lari?”

“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”

Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.

“Berhenti!” Bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina Guruku! Siapa menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras daripada batu ini?”

Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan.... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!

Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.

Lima orang pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati kepala mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan diantara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.

“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Kemana gerangan larinya buronan kami tadi?”

“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau disini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada disini dan kalau ia lewat disini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”

“Sekali lagi maaf, Kouwnio.” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”

Setelah lima orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri dengan sikap tegang.

“Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu disini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.”

Sambil tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang.

“Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.”

Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.

“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku mendengar percakapan tadi, agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”

Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong.

“Benar dugaanmu, Kongcu.

“Dan tahukah engkau siapa aku?”

Po Leng In menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”

Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian berkata.
“Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya. Sungguhpun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kau lakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”

“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi.... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Beng-kauw itu?”

Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.

“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”

Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu.

Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum, Kiang Liong adalah seorang pemuda tampan putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik!

Dia bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah melakukan hal buruk ini. Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka.

Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!

“Aku tahu, Kongcu karena selama ini aku mengikutimu. Apa kau kira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi diingat bahwa Guruku juga berada disana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?”

Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.

“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”

“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”

“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku? Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kau kehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar