Betapapun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari. Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.
Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw.
Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya.
Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, kemanakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan Kao-li-kung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu dimana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw.
Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-li-kung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah.
Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang diantara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itupun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali.
Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh!
Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang sendirian saja.
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat.
Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya.
Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula, mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah.
Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia.
Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik. Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar.
Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Kesini.... masuk ke guha ini....!”
Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia.
Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan wajah wanita itu cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi dimana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt.... belum waktunya bicara.”
Wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong.
“Kongcu, kau sembunyilah disini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni!
Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw.
Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya.
Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, kemanakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan Kao-li-kung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu dimana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw.
Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-li-kung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah.
Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang diantara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itupun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali.
Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh!
Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang sendirian saja.
Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat.
Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya.
Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula, mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah.
Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia.
Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak.
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik. Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar.
Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Kesini.... masuk ke guha ini....!”
Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia.
Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan wajah wanita itu cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi dimana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt.... belum waktunya bicara.”
Wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong.
“Kongcu, kau sembunyilah disini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar