Siauw-bin Lo-mo terbelalak memandang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambutnya yang hanya tinggal separuh itu tergantung di depan dada.
“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kau maksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.
“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.”
Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.
“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan benar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”
“Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san.”
Jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.
“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga.
“Memang benar dan akulah orang pertamanya!”
“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, betul?”
Siauw-bin Lo-mo masih tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.
“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kau bilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”
“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”
“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!”
Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur.
Sementara itu, para hwesio jubah merah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.
“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh.
Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat. Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.
Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring.
“Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”
Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan kepada Bouw Lek Couwsu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.
Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya.
Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.
Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.
Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya kalau ia mau dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja.
Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki.
Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika di kaki Gunung Kao-likung-san, rombongan orang Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat membebaskan diri!
Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia melihat munculnya kesempatan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.
Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang diantara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.
Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan berkepandaian tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga.
Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit kesakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang diterangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata rahasianya yang kantungnya kini dipegang seorang diantara para perampok, bersama pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau!
Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi.
Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.
“Engkau hebat sekali, Adik manis!”
Kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.
“Jangan ganggu dia!”
Kwi Lan menyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu serangannya akan mengenai sasaran.
“Desss....!”
Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru,
“Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali....!”
Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat beberapa orang hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.
“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.
“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kau jaga dibelakangku, biar kugendong dia!”
Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.
Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah.
Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
“Tahan, senjata....!”
Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.
“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kau maksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.
“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.”
Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.
“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan benar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”
“Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san.”
Jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.
“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga.
“Memang benar dan akulah orang pertamanya!”
“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, betul?”
Siauw-bin Lo-mo masih tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.
“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kau bilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”
“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”
“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!”
Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur.
Sementara itu, para hwesio jubah merah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.
“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh.
Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat. Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.
Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring.
“Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”
Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan kepada Bouw Lek Couwsu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.
Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya.
Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.
Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.
Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya kalau ia mau dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja.
Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki.
Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika di kaki Gunung Kao-likung-san, rombongan orang Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat membebaskan diri!
Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia melihat munculnya kesempatan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.
Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang diantara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.
Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan berkepandaian tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga.
Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit kesakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang diterangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata rahasianya yang kantungnya kini dipegang seorang diantara para perampok, bersama pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau!
Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi.
Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.
“Engkau hebat sekali, Adik manis!”
Kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.
“Jangan ganggu dia!”
Kwi Lan menyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu serangannya akan mengenai sasaran.
“Desss....!”
Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru,
“Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali....!”
Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat beberapa orang hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.
“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.
“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kau jaga dibelakangku, biar kugendong dia!”
Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.
Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah.
Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
“Tahan, senjata....!”
Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar