Ads

Minggu, 15 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 095

Ruangan itu lebar dan indah. Dindingnya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka duduk menghadapi sebuah meja bundar yang lebar masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir naga.

Kiang Liong tampak tenang, sungguhpun diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.

Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nampak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan.

Adapun Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya, memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.

“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, berarti engkau adalah seorang pemuda bangsawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak mau bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan, Kiang-kongcu, sebagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”

Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
“Apa maksudmu?” tanyanya tenang.

“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cerdik pandai masa belum dapat menduga maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan.”

“Bukan tidak mampu melawan, melainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,”

Kiang Liong membantah sungguhpun diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.

“Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat dengan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu? Kerajaan Sung seringkali dipaksa membayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan sogokan.

Dan untuk memperoleh harta benda sogokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”

“Andaikata benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kau hendaki?”

Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti daripada tugasnya diutus Kaisar, menyelidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia bahkan berhadapan muka dengan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!

“Pinceng harap Kiang-kongcu bijaksana dan dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu. Pinceng menawarkan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari dalam!”

Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di dalam kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia bertanya,

“Dan balas jasaku....?”

“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar seorang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”

Sikap Kiang Liong masih tenang, namun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak. Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu kurang besar, Kongcu?”






Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar.
“Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Seorang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”

“Mengapa tidak? Raja Sung yang sekarang ini bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil menundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagaimana?”

Kiang Liong mengangguk-angguk.
“Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?”

Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsiannya akan hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!

Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya.
“Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”

Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia memandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat “bersahabat” dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!

“Kiang-kongcu, jangan kau kira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan kesenian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil tersebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut.

Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancurkan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selatan kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kau kumpulkan. Dengan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”

Diam-diam Kiang Liong terkejut sekali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi.

Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. Ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali menerima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!

“Hebat! Rencana yang kau atur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu dijalankan, apalagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mudahlah merebut singgasana!” Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepasang matanya berkilat penuh harapan. “Akan tetapi.... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan rencanaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau kelak tidak akan melanggar janjimu tadi?”

Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu tertawa.
“Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki singgasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah kerajaan bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”

Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan.

“Aku menerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak diantara para panglima adalah sahabat baik Ayahku, Pangeran Kiang.”

“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”

Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu seorang pelayan wanita datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup.

“Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan tetapi hamba melaporkan bahwa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan penjaganya kedapatan tewas di kamar tahanan.”

Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena ditendang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya!

Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan belakang. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimaksudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kiranya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!

“Bouw Lek Couwsu.” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau memandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapapun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu.”

Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri.
“Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu menunggu disini.”

Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu lalu meninggalkannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.

Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia melirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah untuk menjaga dan mencegah dia melarikan diri! Ia menghela napas dengan perasaan tegang. Berhasilkah bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya!

Tentang persekutuan dan janjinya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan Kerajaan Sung. Karena andaikata ia berkeras menolak sampai tewas disitu, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi malapetaka hebat?

Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya, mengerahkan sin-kangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang.

Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sin-kang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar