Ads

Kamis, 19 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 111

“Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?”

Kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.

“Ihh, yang kau pikirkan dia saja, Moi-moi! Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada penggantinya. Aku mendengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”

“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah namanya, Cici?”

“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“

Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari.

Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam taman di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.

“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”

Tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik dan diantaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya.

Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun diantara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.

“Aha, Sumoi....! Alangkah girang hatiku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!”

Suma Kiat yang memegang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pandang mata penuh nafsu.

“Suheng, kau menjadi makin gila!”

Bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.

“Eh.... eh...., Sumoi...., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku kepadamu? Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa....”

“Bodoh! Tak malukah engkau?”

Bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum dan menahan ketawa.

Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang memang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggodanya dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah.

Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini, melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikapnya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.

“Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan semua pengalamanmu. Oya, biarlah kuperkenalkan kau kepada para tamu.”






Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang memprotes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lantang.

“Para tamu yang terhormat! Perkenankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!”

Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mereka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpaksa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau suhengnya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.

Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk tangan memanggil pelayan, berseru.

“Lekas, hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!”

Bahkan para pelayan diam-diam mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar. Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya datang, tidak tahu akan ketidak senangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.

“Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”

Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.

“Sudah, kalian berlima pergilah!”

Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang diantara Chi Ci-moi itu yang tertua kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus.

“Apa makaudmu....?”

“Maksudku sudah cukup jelas. Menggelindinglah kalian berlima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua dengan Suhengku!”

Lima orang wanita itu tak dapat menahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang diantara murid kepala Ang-lian Bu-koan membentak.

“Orang tidak boleh menghina kami begini saja!”

Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suhengnya, kini pun marah.

“Aku suruh kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perempuan genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!”

Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!

Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar.

Mereka terhindar dari hantaman meja, namun tak dapat menghindarkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka berlepotan kuah dan arak dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam keadaan masih panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan mencak-mencak.

“Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara....!”

Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan suhengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.

Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera berkata suaranya perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan kecerdikan yang mengagetkan hati Kwi Lan.

“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur semua ini. Tahukah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?”

Kwi Lan memandang, matanya terbelalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!

“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”

“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang kesini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kau lihatlah lima orang wanita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami.”

“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.

“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”

“Ahhh....!”

Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak miring ini, mempunyai rencana yang demikian gila? Ia cerdik maka kini ia menahan kemarahannya dan berbisik.

“Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia pura-pura bersungguh-sungguh.

Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya.
“Ketahuilah, Ibu membawa aku kesini. Ini adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng, menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan.” Sampai disini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pangeran! Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.... ha-ha-ha!”

“Hushh.... Suheng, bicaralah yang benar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”

“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengadakan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk mengadakan persekutuan. Kau lihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba.”

“Hemm, kau kira begitu mudah? Disini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”

“Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti perempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap membantu bangsa Hsi-hsia....”

“Bohong....!”

Kwi Lan sendiri menjadi kaget mendengar suaranya yang spontan dan mengandung kemarahan itu. Tanpa disadarinya, ia kini telah menjadi pembela bangsa Khitan! Teringat ini, dan melihat pandang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung.

“Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung. Tak mungkin mereka sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar