Ads

Kamis, 19 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 112

“Aihh.... kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan untuk memaksa pemerintah Kerajaan Khitan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”

“Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara besar....“

“Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka terjatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw.”

“Apa....?”

Kwi Lan menekan perasaannya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.

Suma Kiat tertawa puas.
“Benar? Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu.”

Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai seorang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali.

Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bukan urusan main-main. Kalau yang dikatakan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong putera angkat ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang sepenuhnya menonjolkan sikap tidak percaya.

“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan ditawan orang-orang Hsi-hsia?”

Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.

Merah wajah Suma Kiat.
“Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san....“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. “eh, Sumoi...., jangan bilang kepada siapapun juga....“

Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka bergegas keluar, terutama Suma Kiat, mendahului sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.

Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang sebatang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.

“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kau permainkan....“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.

Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa.

Memang lima orang wanita itu patut diberi sedikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan tetetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali.






Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seperguruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar sekali.

Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apalagi mengingat bahwa disitu adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya.

“Jangan heran akan sikapku....!” Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.

“Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”

Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, namun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka.

Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki dan memaki-makinya seperti tadi.

Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panasnya api yang ia kobarkan.

“Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit....“

“Jembel busuk mau mampus!”

Bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan sebuah tusukan ke dada Siang Ki.

“Wuuuuttt....!”

Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu mengelak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.

“Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”

“Enci, mari kita bunuh jembel ini!”

Chi Bwee juga sudah mencabut pedangnya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.

“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?” Siang Ki mengejek terus.

Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pemuda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut!

Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sambil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.

“Siuut-siuut-bret-bret....!”

Terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki.

Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.

Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peristiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang membuat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gunanya berlaku nekat karena takkan dapat menang.

Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu muncul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia berniat mengakhiri perkelahian dan meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marah sekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda Jembel, sebaliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, tentu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke arah Yu Siang Ki.

“Suheng.... jangan....!” Kwi Lan melompat dan mengejar kakak seperguruannya.

Akan tetapi Suma Kiat tidak mempedulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang menghantam dengan hawa amat panas! Kagetlah ia mengenal pukulan ampuh ini. Cepat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.

“Wuuuuttt.... plakkk....!”

Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak menduga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan bertemu Yu Siang Ki merasa betapa serangkum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah pucat!

Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, mengirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.

“Suheng.... mundur kau....!”

Suma Kiat melihat sinar hijau berkelebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak percaya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.

“Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?” bentak Suma Kiat.

Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan mata terbelalak heran. Sungguh diluar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang.... pengemis!

Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang pandang mata suhengnya.

“Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku karena diantara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah membela perempuan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju sehingga terluka pedangku. Pendeknya, siapapun juga tidak boleh mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi Inang pengasuh jembel cilik ini? Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar