Ads

Kamis, 19 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 113

Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.

“Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”

Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoinya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini!

Pada saat yang menegangkan itu, dimana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegangan, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring berwibawa.

“Hemm, apakah yang terjadi disini?”

Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita berpakaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!

Bagaimanakah Kiang Liong bisa muncul pada saat itu dan mengapa pula bersama Puteri Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perjalanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar.

Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di “rebus” dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.

Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.

“Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”,

Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song Goat dan menjura sampai dalam.

“Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”

“Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetiaan! Marilah kita pergi!”

Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.

Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajaran keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata sesuatu, setelah menyambar sepasang pit dan yang-kimnya, ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat.

Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung kekeruhan tanda bahwa hati gadis itu berduka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat menahan kesunyian diantara mereka.

“Nona Song, harap berhenti dulu.”

Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara menghampiri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawanya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar matahari yang sudah naik tinggi.






Mereka duduk berhadapan, diatas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bicara. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipinya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.

“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”

Kiang Liong tersenyum. Makin tertarik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi patah-patah dan...., pemalu! Berdebar jantungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.

“Nona Song, aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.”

Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.

“Bicara tentang apakah, Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Jalan kita bersimpangan....”

“Ah, Song-kouwnio, apakah kau menganggap aku seorang yang demikian rendah dan tidak ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang besar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohon yang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?”

Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia mengangkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar matahari, hangat-hangat menembus jantung gadis itu.

“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, karena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah....“

“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah adanya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan terima kasihku.”

Tiba-tiba Song Goat yang duduk bersandar pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan.

Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan sikap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air matanya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi muka.

Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat telinganya.

“Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia kejam berhati iblis saja yang tega membuatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk membantumu.”

Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan menjebolkan bendungan terakhir sehingga membanjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!

Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedu-sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati. Dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.

Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Seperti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebahkan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membalas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.

“Aiiihhh....“ Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri. “Aiiihhh....”

“Kenapa, Nona?” Kiang Liong bertanya, tersenyum ramah.

Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maafkan aku.... yang lupa diri....“

“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?”

Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban.

Kiang Liong meraih maju dan memegang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata.

“Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?”

Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pasang mata bertemu pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya bergerak dan membalas tekanan Kiang Liong.

Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.... kalau saja.... Song Goat cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, kemudian ia menarik tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.

“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan dimana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”

Dengan muka tunduk Song Goat menjawab lirih.
“Aku.... meninggalkan Ayahku....!”

“Kenapa? Dimana dia?”

Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata.

“Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kongcu, aku.... aku telah dihina dan dikhianati.... tunanganku sendiri.”

Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
“Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?”

Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia telah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada seorang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar