Ads

Kamis, 19 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 115

Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang diantara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget mendengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.

“Cianbu terlalu memuji....“

Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.

“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.... Suling Emas.....?”

Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Suling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini....!

“Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia.” katanya merendah.

Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun.
“Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu.”

Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.

“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang terhormat?”

Puteri Mimi tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu.

“Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan berkata. “Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.

Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya.

“Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”

“Apa....? Pangeran Talibu tertawan....?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa kemana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.

Kepala pengawal itu menggeleng kepala.
“Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa kemana. Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung....” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, diantara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”

“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.

Kiang Liong tersenyum.
“Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu.”






Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan.

Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.

Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya.

Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?” Kiang Liong bertanya.

“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong).” kata Pangeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu.... hiihh, mengerikan sekali, seperti iblis betina.”

“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia masih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”

Makin keruh wajah Pangeran Kiang.
“Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emas selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”

“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“

“Sudahlah!”

Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar. Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah seringkali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu kemana, apakah berada disini pula?”

Suma Ceng yang biarpun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata.

“Puteri harap kau maafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”

Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.

“Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”

Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung.

"Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia memandang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapapun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba disini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara disini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat.

Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah? Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal disini?"

"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti.... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.... hih, menyeramkan!"

Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.

"Adik Hong kemana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

Ibunya cemberut.
"Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu. Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"

Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah.

"Kenapa tertawa?"

"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya...."

"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.... Mimi ini...."

"Ihhh.... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya, keliru."

Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!

"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar