Ads

Sabtu, 21 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 116

"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

Seketika wanita itu menjadi serius.
"Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. Mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.

Demikianlah, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

"Hemmm, apakah yang terjadi disini?"

"Kiang-kongcu datang....!"

Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan menimbulkan keributan.

Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apalagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.

Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

"Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!"

Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.

Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang.

"Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata.

"Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"

Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata.

Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.






"Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang diantara mereka berkata,

"Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"

Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!"

Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.

Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki.
"Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawabnya."

Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggungan-jawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!

"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggung-jawabkan perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.

Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah.

"Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku kurang ajar dan ceroboh, membentur Gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"

Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku”, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya.

Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.

Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia menjadi kagum.

"Ada petunjuk apakah, Puteri?"

Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandanannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

"Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi diantara tamu tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."

Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.

Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaliknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

"Orang she Kiang! Apakah karena engkau menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"

Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia, menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan penghinaan hebat!

"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?"

Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata.

"Jangan turut campur!"

Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu! Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis.
"Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar