Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam kearah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh....!"
Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja.
Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada disini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus,
"Biarkan mereka pergi!"
Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak."
Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa....? Bagaimana? Dimana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut siapa?"
"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki.
"Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!"
Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berobah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu.
Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biarpun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.
"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan barangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat.
Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.
Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam kearah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh....!"
Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja.
Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada disini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus,
"Biarkan mereka pergi!"
Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak."
Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa....? Bagaimana? Dimana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut siapa?"
"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki.
"Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!"
Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berobah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu.
Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biarpun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.
"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan barangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat.
Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.
**** 118 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar