Ads

Rabu, 09 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 015

"Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba....!"

Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.

"Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu! Padahal, dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat orang akan nama baik keluarga hamba?"

Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera tunggal adik misannya itu yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut, hendak merampas calon isteri orang lain!

"Hemmm, sungguh tidak benar perbuatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok Khun!"

Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi.... uhhh...."

"Apa lagi?"

Menteri Kam Liong membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya itu.

"Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...."

"Dia kenapa?" Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.

"Dia.... setiap malam.... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya.... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?"

"Apa....!" Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. "Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!"

Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hatinya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.

Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilakukannya. Siapa kira, kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirimnya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan pinangan.

Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio. Akan tetapi, diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang mengunci pintu dan tidak mau makan, hanya menangis saja dalam kamar tertutup.

Ketika Suma Hoat pulang, dia disambut oleh maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan meninju-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur.

“Aku akan lari bersamanya!" Ia berkata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. "Malam ini aku mengajak dia lari minggat! Itulah jalan satu-satunya!"

Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio. Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun dan ditemani pula oleh Ciok Khun.






Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya.

Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma kongcu datang di kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu, mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu.

Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu.

Bangsawan Thio bersama adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguhpun hatinya panas, malu dan marah. Betapapun juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama baiknya pula.

Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan, akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya. Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya!

Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis. Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan.... pembaringan itu kosong!

Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan.... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.

Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit.

"Kekasihku, marilah.... kenapa kau tidak menyambut aku....?"

Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu tergantung, tak bergerak.

"Kim Hwa....!"

Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung!

Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.

"Kim Hwa anakku....!"

Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.

"Suma Hoat....!" Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.

Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu berdongak.
"Kim Hwa....!" Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya."Kim Hwa....! Kekasihku.... Isteriku.... kau.... kau.... aduh, Kim Hwa.... mengapa kau membunuh diri....?"

Suma Hoat menangis, mengguguk diatas dada mayat kekasihnya. Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur.

Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimutinya dan ia berkata lirih,

"Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu...."

Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya,

"Kim Hwa, engkau.... engkau mati....? Ah, mana bisa.... engkau.... aduuhhh.... engkau benar-benar mati? Kim Hwa....!"

Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.

Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.

Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.

"Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri.... tidak! Engkau dibunuh"

Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya meluap.

"Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!"

Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.

"Bressss!"

Tubuh Suma Hoat terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh tangan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis.

Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pekhunya, air matanya bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak.

"Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...."

Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi.

"Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!"

Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk.

"Pek-hu...." Ia terengah-engah."....lebih baik saya mati.... saya... mencinta Kim hwa.... mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai Tuhan pun tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu kami....? Hu-hu-huuukkkk!" Suma Hoat menangis seperti anak kecil, menunduk di depan uwanya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar