Ads

Rabu, 09 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 014

Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang hanya dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, walaupun air matanya sendiri menetes-netes, kemudian dara itu mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulutnya berbisik lirih sekali.

"Suma-koko...., aku.... aku rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu.... biarlah aku menikmati kebahagiaan sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku.... sebelum aku memasuki neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku.... Koko.... cintailah aku.... aku menyerah, serela-relanya demi Tuhan....!”

"Moi-moi...!" Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.

"Koko....!"

Kim Hwa terengah menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa oleh Suma Hoat. Dengan penuh kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.

Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang dicintanya, yang tak pernah terpisah sekejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin, dan dalam keadaan seperti itu, bagi mereka berdua yang ada hanyalah cinta kasih diantara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia ini kecuali peluapan asmara, apalagikah yang dapat mereka ingat?

Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik, seringkali bahkan dia tanpa sengaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di dalam kamar.

Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan selir-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria yang haus akan cinta. Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak berusia enam belas tahun Suma Hoat sudah mencari-cari dan mengejar-ngejar cinta. Namun, apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati wanita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta nafsu.

Wanita-wanita itu sudah tidak mengenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi berpisah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita! Kini, bertemu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yang harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!

Adapun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun, sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa.

Kalau tidak ingat kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja daripada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya.

Kini, bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nyawanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta kasihnya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan rangsangan nafsu berahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari keputusasaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!






Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi!

Manusia telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan, kebudayaan, agama dan tradisi.

Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan.... gagal! Dalam segala hal, juga dalam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.

Karena itu, sekali lagi, patut dikasihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan bersenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu dimana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa kendali.

Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh kemesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanan membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.

"Koko...."

Terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga mereka.

"Hemmm....?"

Jawaban ini mengandung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang. Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!

"Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku."

Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum.
"Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku."

Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.

"Koko, aku.... aku takut...." Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.

"Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?" Suma Hoat memperkuat pelukannya.

"Kalau sudah sampai di kota raja, aku.... ah, tentu akan dikawinkan...."

"Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!"

Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu.
"Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia maupun di akhirat! Lebih baik aku mati daripada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu."

Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat segera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!

Ketika akhirnya Suma Hoat menurunkan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa sungguhpun hati ayah ini tidak enak karena puterinya menyusul demikian terlambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.

**** 014 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar