Ads

Kamis, 10 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 017

Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai saputangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan.

Adapun yang wanita berwajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jerih. Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.

Memang tepat sekali dugaan ini karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apabila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak dan membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar.

Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan, wanita itu adalah isterinya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!

Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami (baca cerita MUTIARA HITAM). Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat.

Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup diantara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar selama belasan tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.

Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang yaitu bahwa selama belasan tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucurkan air mata!

Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang aneh dan penuh bahaya, amat sukar dilalui itu.

Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biarpun suami isteri ini merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh. Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.

Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah, mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu.

Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa.

Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.

Demikianlah, ketika mereka mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Ratu Talibu di Khitan, lalu mereka berempat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti dan Pek-kong-to Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khi-kangnya.

“Ji Kun.... ! Yan Hwa....! Hayo cepat kalian menyusul kesini!”






Mutiara Hitam berkata sambil menghela napas panjang.
“Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan berlumba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”

Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda!

“Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlumba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”

Mutiara Hitam mengerutkan keningnya.
“Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan diantara mereka!”

“He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimanapun juga, mana bisa aku menangkan engkau?” Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga.

Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah?

“Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.”

“Tentu saja.... tentu....! Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”

Pada saat itu, tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlumba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut sungguhpun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!

“Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi dimana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang,

Mutiara Hitam tak dapat menahan kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang muridnya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia menangis.

Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isterinya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.

“Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahankan kerajaan sampai titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?”

Mendengar ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi ketika menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram pandang mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.

Tang Hauw Lam memeluk tubuh isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Hemm, tenanglah.... tenang, isteriku. Lihat.... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”

Mutiara Hitam menghentikan tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata,

“Aku harus membalaskan kematian mereka! Si keparat bangsa Yucen!”

“Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, isteriku dan pergunakanlah akal budi dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan jiwa kapendekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”

Teringatlah Mutiara Hitam dan kemarahannya mereda.
“Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.

“Agaknya aku dapat meraba pendirian Ga-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia, apalagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah diserahkan kepada mendiang kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib putera kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mempunyai seorang puteri?”

“Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Go-bi-san!”

Tang Hauw Lam mengangguk-angguk.
“Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya sudah pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Go-bi-san. Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”

Akan tetapi Mutiara Hitam mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu tidak pernah memberitahukan siapa juga dimana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apakah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba disana, sekalian kita menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”

“Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita,”

Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Go-bi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Go-bi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah dimana perang terjadi dan mereka selalu menghindarkan diri dari perang antar suku itu, dimana bangsa Yucen makin lama makin berkembang menjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.

**** 017 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar