Ads

Kamis, 10 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 018

Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra sedang bertanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong.

Gadis cilik ini cepat melarikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengah-engah. Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pengikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas!

Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam. Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani berhenti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.

Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung.

Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi, mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh!

Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan daripada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan menyeramkan!

Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gendut biarpun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan!

Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telanjang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergantungan seperti buah pepaya.

Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari.... batu kerikil biasa!

Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!

Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya, mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa Khitan yang dapat ia tangkap.

“Kejar....! Tangkap....!”

Mereka tertawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang berada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara,

“Kejar dan tangkap!”,

Malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira.

“Ikut.... Ikut....!” Mereka ini juga ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak.

“Kejar! Tangkap!”






Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khitan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main “kucing-tikus”, yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang diantara mereka. Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya menjadi kucing. Permainan anak kecil!

Biarpun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang diantara mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan gin-kangnya.

“Wusss!” Luput! Maya hampir tidak dapat percaya.

Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya sehingga biarpun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain!

Aihh, sungguh tidak kira diantara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat! Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-lakl ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak!

Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki gin-kang istimewa!

Karena disoraki dan ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapapun ia mencoba menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menangkap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannyapun tidak akan lebih daripada seorang anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil daripadanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!

“Lihat ular besar....!”

Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu menubruk wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi lengannya dan berkata,

“Tangkap....!”

Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang diantara tikus-tikus yang dikejar.

Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.

“Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.

Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring.

“Dengarlah kalian! Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”

Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemaskan hati Maya, dan seorang diantara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab,

“Raja Khitan? Kami tidak kenal. Namamu Maya?”

“Benar!” jawab Maya kesal.

Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak,
“Kejar! Tangkap!”

Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti.

“Dengar. Aku mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.”

Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih “cerdik” daripada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata,

“Permainan apa?

“Yang jenderal berada di tengah dan....”

“Apa jenderal?” semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.

“Jenderal.... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”

Ada diantara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya.... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!

“Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.

“Berjongkok....!”

Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.

“Wah, tidak beres!” kata Maya. “Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru berlumba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?”

Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.

“Awas, ya sekarang?”

Maya bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah.

“Ber....“

Baru saja bilang “ber....“ semua orang sudah terpelanting karena berlumba untuk berjongkok.

“....lari....!” Maya melanjutkan perintahnya.

Tentu saja orang-orang yang tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan polah-tingkah mereka itu.

Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggauta keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.

“Pulang? Pulang kemana?” Maya bertanya.

Wanita tua berkalung menggandeng tangannya,
“Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar