Akan tetapi ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas. Di antara mereka itu ada yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu.
Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang.
“Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?”
Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!”
Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda, telah membunuh seekor diantara srigala-srigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya....!”
Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari.
Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu.
Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik.
Memperoleh kesempatan selagi gerombolan srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan lari menjauh melainkan kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serombongan srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat.
Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon disitu, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!”
Maya menjadi marah, membalikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg.... kaingggg....!”
Srigala ke dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk. Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam guha kecil kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil!
Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan disitu sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka?
Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengambil keputusan untuk menyusul orang-orang itu.
Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghampiri tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada disana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk....!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat.
“Celaka!”
Serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan “menghabiskan” buah itu! Betapa bodohnya!
Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibatnya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang!
Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap dimana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.
Berpikir demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang menanti di luar guha?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga.
Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan srigala.
Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam.
Lega hatinya dan kini ia dapat mencurahkan perhatiannya kepada kemajuan ginkangnya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya! Dengan dada lapang Maya lari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!
Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat kedudukannya itu terus mendesak ke selatan.
Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehingga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan.
Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang.
“Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?”
Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!”
Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda, telah membunuh seekor diantara srigala-srigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya....!”
Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya semua orang itu berlumba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari.
Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu.
Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik.
Memperoleh kesempatan selagi gerombolan srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan lari menjauh melainkan kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serombongan srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat.
Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon disitu, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!”
Maya menjadi marah, membalikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg.... kaingggg....!”
Srigala ke dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk. Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam guha kecil kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil!
Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan disitu sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka?
Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengambil keputusan untuk menyusul orang-orang itu.
Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghampiri tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada disana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk....!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat.
“Celaka!”
Serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan “menghabiskan” buah itu! Betapa bodohnya!
Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibatnya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang!
Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap dimana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.
Berpikir demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang menanti di luar guha?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga.
Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan srigala.
Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam.
Lega hatinya dan kini ia dapat mencurahkan perhatiannya kepada kemajuan ginkangnya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya! Dengan dada lapang Maya lari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!
Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat kedudukannya itu terus mendesak ke selatan.
Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehingga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar